Rahasia keterbatasan dan keberlimpahan rezeki 
adalah sesuatu yang tidak dengan mudah difahami oleh orang-orang. Di satu sisi 
ada janji Allah 
Taala di dalam Alquran 
kepada orang-orang yang beriman bahwa, ”Memadailah Allah bagi dia yang 
bertawakal kepada Allah”.(Q.S. 65:3) dan, ”Ia yang selalu waspada akan tanggung 
jawabnya kepada Allah, untuknya Allah akan menyiapkan jalan keluar dari 
kesulitan-kesulitannya dan memberinya rezeki dari mana yang tidak ia 
duga”(QS.65:2-3). Allah Taala selanjutnya berfirman di dalam Alquran, 
bahwa, “Di langit ada rezeki bagi kamu dan juga apa yang dijanjikan 
kepadamu.”(QS.51:22) dan lagi, bersumpah dengan zat-Nya, Allah menyatakan,”Demi 
Tuhan seluruh langit dan bumi, sesungguhnya Alquran adalah kebenaran sebagaimana 
halnya kebenaran apa yang engkau ucapkan.”(QS.51:23). Demi Rabb langit dan bumi 
bahwa janji ini benar adanya, sebagaimana kalian setelah mengatakan sesuatu 
dengan lidahmu sendiri dan tidak dapat kemudian mengingkarinya, demikian pula 
Allah Taala telah mengucapkan janji semacam itu. Namun, meskipun telah ada 
janji-janji ini, nyatanya banyak orang-orang yang saleh dan mutaki serta 
berpembawaan baik dan mengamalkan Islam 
dengan sebenar-benarnya namun mereka mengalami keterbatasan dalam rezekinya. 
Jika ada untuk malam hari, untuk siang tidak ada. Ada untuk siang untuk malam 
tidak ada.
Ayat Alquran yang lain “wa liman khaafa maqaama 
rabbihi jannataani”(QS.55:46). Memang nampak pemandangan seperti itu terjadi 
tetapi pengalaman membuktikan bahwa masalah-masalah ini tidak dapat dinisbahkan 
kepada Tuhan. Keyakinan kita adalah bahwa janji yang diucapkan oleh Allah bahwa 
Dia sendiri memberi rezeki kepada orang-orang yang bertakwa adalah benar dan 
Allah sendiri menganugerahkan rezeki kepada orang-orang yang bertakwa 
sebagaimana diterangkan di dalam ayat-ayat di atas. Semuanya adalah benar dan 
jika kita mengamati silsilah para Ahlullah (orang-orang yang dekat 
dengan Tuhan), kita akan mengetahui bahwa tidak ada seorang pun dari antara 
mereka pernah terpaksa mati kelaparan. Wujud-wujud suci yang telah diakui 
demikian oleh orang-orang beriman yang menjadi saksi tentang ketakwaan mereka. 
Namun, bukan itu saja, bahwa mereka tidak mati karena kelaparan, mereka tidak 
menderita dari keperihan karena kekurangan rezeki hingga batas yang mengenaskan, 
meskipun mereka tidak memiliki standar kesejahteraan yang memadai.
Rasulullah saw telah menetapkan pola hidup 
miskin, tapi dari kedermawanan beliau dapat difahami bahwa ini adalah 
kecenderungan hati beliau sendiri bukan suatu bentuk hukuman. Dengan kata lain, 
di jalan ini terdapat banyak kesulitan yang harus diatasi seseorang. Ada 
beberapa orang yang nampak bertakwa dan saleh tetapi mereka mengalami  
keterbatasan rezeki. Menyaksikan semua ini, sesorang harus mengatakan bahwa 
janji yang di buat oleh Allah Taala semuanya benar, tetapi elemen kelemahan 
manusia perlu diberitahukan.
Dalam masalah ruhani tidak semua orang memiliki 
kemampuan untuk memahami natijahnya. Beberapa orang pergi ke London  dan 
menyaksikan terdapat begitu banyak kebebasan di sana. Kebiasaan bermabuk-mabukan 
sedemikian rupa menyebar luas sehingga toko-toko yang menjual minuman keras 
membentang sampai tujuh mil. Tidak ada perbedaan berzina dan bukan zina. Apakah 
ini surga? Surga bukan begitu maksudnya. Perhatikanlah, seorang manusia 
mempunyai seorang isteri dan ia mempunyai hubungan pernikahan dengannya. 
Burung-burung dan hewan-hewan juga memiliki hubungan seperti itu. Tetapi Allah 
Taala telah membekali manusia dengan kemampuan untuk meraih kesucian dan 
kebersihan. Manusia yang memiliki kepekaan dan kekuatan, dengannya ia meraih 
kenikmatan yang lebih besar dari hubungan pernikahan dengan pasangannya 
dibandingkan dengan hewan-hewan yang tidak  memiliki indra dan pemahaman serupa 
itu, dan karena itulah, hewan tidak menaruh penghargaan tertentu kepada pasangan 
mereka, seperti anjing misalnya.
Jadi jika manusia dengan segala bekal 
kecakapannya tidak dapat meraih kenikmatan melalui hubungan yang sah malah 
menjalani kehidupan seperti binatang, maka apalagi bedanya antara mereka dengan 
binatang? Tuhan yang menyatakan bahwa surga adalah hanya untuk orang-orang yang 
beriman dan Dia juga menyatakan bahwa kelezatan hakiki dari benda-benda yang 
memberikan kesenangan di dunia ini hanya dapat dinikmati manakala di dalam diri 
manusia ada ketakwaan sejati. Ia yang meninggalkan ketakwaan dan melepaskan 
dirinya dari kaidah halal dan haram, orang semacam itu menjatuhkan derajatnya 
sendiri dan sama seperti derajat hewan-hewan.
Manakala perbuatan-perbuatan tak senonoh 
dilakukan secara terbuka seperti binatang dan tidak ada rasa malu dan sikap 
sopan santun satu sama lain, dan jika seseorang memiliki naluri 
insaniyat, menyaksikan hal ini ia akan bertaubat ribuan kali dari surga 
semacam itu dan dari kesenangan serupa itu dan akan memohon kepada Allah agar 
diselamatkan dari kumpulan orang-orang yang dayus dan rendah semacam itu. 
Beranggapan bahwa kehidupan kelompok orang-orang semacam itu adalah kehidupan 
surgawi adalah benar-benar suatu kebodohan yang melampaui batas.
Pada hakikatnya kunci surga adalah takwa. 
Bagaimana mungkin seseorang yang tidak bertawakal kepada Allah merasakan 
kenikmatan sejati? Kadang-kadang disaksikan bahwa orang-orang yang tidak 
bertawakal kepada Tuhan, uang mereka dicuri, tiba-tiba jadi gagu. Dan 
orang-orang kafir yang disebut-sebut sebagai penghuni surga mereka nekad 
melakukan bunuh diri dalam jumlah yang begitu besar dan hal ini mereka lakukan 
hanya karena persoalan-persoalan yang sepele. Keadaan ini membuktikan betapa 
lemahnya hati dan tidak adanya kekuatan jiwa mereka, sehingga mereka tidak 
memiliki kekuatan untuk menanggung kesedihan. Mereka yang tidak memiliki 
kemampuan untuk memikul kesedihan dan musibah, tidak memiliki sarana untuk 
meraih kesenangan sejati. Baik kita dapat memberi pengertian kepada mereka atau 
tidak, baik mereka dapat memahaminya atau tidak, persoalan yang sebenarnya ialah 
bahwa kenikmatan yang sejati dari benda-benda yang memberikan kepuasan hanya 
dapat dinikmati dengan sebenar-benarnya melalui ketakwaan. Orang yang di dalam 
dirinya ada ketakwaan, hatinya memperoleh ketenangan dan ada kesenangan yang 
abadi (surur). Lihatlah, jika seseorang memiliki hubungan atau 
persahabatan dengan orang lain, betapa bahagia dan tentramnya ia. Tetapi ia yang 
memiliki hubungan dengan Tuhan akan lebih besar kenikmatan yang akan ia rasakan. 
Ia yang tidak memiliki hubungan dengan Tuhan, bagaimana ia bisa berharap? 
Sedangkan pengharapan adalah sesuatu yang darinya dimulai penghidupan 
surgawi.
Begitu banyak terjadi tindakan bunuh diri di 
negeri-negri yang ‘beradab’ ini yang darinya kita dapat menyimpulkan bahwa 
sebenarnya disana tidak ada ketentraman. Pada saat sedikit saja merasa kecewa 
mereka memilih bunuh diri. Tetapi sesorang yang memiliki ketakwaan dan memiliki 
hubungan dengan Tuhan, ia meraih kebahagiaan yang abadi yang dihasilkan oleh 
keimanan.
Segala sesuatu di dunia ini mengalami perubahan 
dan pertukaran. Bermacam-macam musibah menimpa seseorang. Penyakit menyerang, 
kadang-kadang anak seseorang meninggal dunia. Singkatnya, selalu ada semacam 
kedukaan atau kesukaran. Dunia ini adalah tempat kesusahan dan hal-hal ini 
menyebabkan seseorang tidak dapat tidur nyenyak. Semakin meluas hubungan 
seseorang, semakin luas jangkauan kesulitan dan musibah. Sebagaimana lingkaran 
hubungan menjadi luas, kesulitan dan bala musibah ini membuat satu kesedihan 
menjadi lima puluh. Jika seseorang hanya seorang diri, ia akan mengalami 
kesedihan yang lebih sedikit, tetapi, manakala ia memiliki istri, anak-anak, 
orang tua, saudara-saudara laki-laki dan perempuan, dan keluarga yang lain, 
maka, jika  ada sedikit kesulitan, hal itu menjadi persoalan baginya. Menimbang 
keseluruhan hubungan-hubungan ini, seseorang hanya dapat menemukan kebahagiaan 
sejati jika tidak serorangpun dari lingkaran hubungannya ditimpa sakit atau 
menghadapi persoalan atau kesulitan.
Anggapan bahwa harta kekayaan membawa kebahagiaan 
juga tidak benar. Kebahagiaan tidak serta merta datang dengan melimpahnya harta 
kekayaan. Meskipun ada harta benda, jika kesehatan seseorang tidak baik, atau 
misalnya, seseorang menderita gangguan perut, apakah akan merasakan kehidupan 
surgawi? Jadi, dari sini juga difahami bahwa harta kekayaan bukanlah penyebab 
adanya kebahagiaan. Yang benar adalah sesorang yang memiliki hubungan dengan 
Tuhan, dialah yang dalam segala seginya, menikmati suatu kehidupan surgawi. 
Karena Allah Maha Kuasa dan Dia berkuasa untuk menjauhkan seseorang dari segala 
macam bala musibah dan kesulitan. Demikian juga Dia memiliki kekuatan untuk  
melindunginya dari kesulitan akibat adanya persoalan. Bila kesukaran seperti itu 
harus muncul, maka Tuhan menganugerahkan kemampuan untuk menghadapinya dengan 
keberanian dan ketabahan.
Dimensi total yang diperlukan bagi kesejahteraan 
seseorang tidak terletak di tangan raja manapun. Melainkan semuanya ini hanya 
ada di tangan Dia, Raja Diraja, yang menganugerahkan kepada siapa saja yang Dia 
kehendaki. Kadang-kadang disaksikan bahwa ada orang-orang tertentu yang memiliki 
sejumlah besar harta kekayaan tetapi mereka menjadi korban penyakit paru-paru, 
dan bagi mereka hidup menjadi lebih pahit. Jadi, siapa yang dapat mengatasi 
jutaan persoalan yang ada pada diri manusia? Jika ada kesedihan, siapa yang 
dapat menganugerahkan kesabaran kepada seseorang? Hanya Tuhan yang dapat 
memberikannya.
Kesabaran adalah sesuatu yang besar yang tidak 
mengizinkan masuknya penderitaan yang berlebihan meskipun pada saat mengalami 
kesusahan besar dan musibah. Ada orang yang kaya yang pada  masa senang dan 
gembira menjadi sangat sombong dan memuji diri sendiri, tetapi sedikit saja 
datang persoalan mereka merengek-rengek seperti anak kecil. Kita tidak pernah 
mendengar tentang seseorang yang belum pernah mengalami musibah dan keluarganya 
tidak pernah menderita kesedihan. Kehidupan surgawi ini siapa yang dapat 
memilikinya? Hanya seseorang yang hanya atas dirinya Tuhan menganugerahkan. Oleh 
karena itu merupakan suatu kesalahan besar, melihat seseorang memakai pakaian 
‘putih bersih’ dikatakan bahwa orang seperti itu hidup di dalam surga. Jika 
kalian datangi dan tanyakan kepada orang seperti itu, maka betapa banyak bala 
musibah yang mereka ceritakan. Hanya dengan melihat pakaian seseorang, atau 
melihat mereka mengendarai delman atau bermabuk-mabukan dan beranggapan [bahwa 
mereka bahagia dan hidup di surga] adalah tidak benar. Lain daripada itu, suatu 
kehidupan yang penuh dengan kebebasan dengan sendirinya adalah kehidupan neraka. 
Apakah yang melebihi dari hidup di neraka daripada seseorang yang di dalam 
hidupnya tidak ada penghargaan kepada Tuhan dan tidak ada hubungan dengan Tuhan. 
Seekor anjing, bebas memakan bangkai atau ia dapat berlaku buruk ia bebas untuk 
melakukannya), akankah itu menjadi sebuah kehidupan surgawi? Demikian pula, 
seseorang yang memakan bangkai dan melakukan perbuatan buruk, yang tidak 
mengenal perbedaan antara harta yang halal dan yang haram, ini adalah kehidupan 
penuh laknat, apa hubungannya dengan kehidupan surgawi. Adalah benar bahwa 
kehidupan surgawi yaitu suatu keadaan yang di dalamnya keadaan seseorang 
terpelihara dari semua penderitaan tetapi hanya untuk orang-orang yang 
benar-benar bertawakal kepada Tuhan dan dengan demikian sesuai dengan janji yang 
terkandung di dalam ayat “Dan Dia (Allah) memelihara orang yang saleh”(QS. 
7:196).
Mereka berada di dalam perlindungan dan 
pemeliharaan Tuhan. Di sisi lain, seseorang yang jauh dari Tuhan hari-harinya 
dilewati dengan rasa takut dan kekhawatiran. Ia tidak dapat menikmati 
kebahagiaan. Ada seseorang di Sialkot yang biasa menerima suap. Ia biasa berkata 
bahwa apa yang selalu ia lihat semuanya adalah rantai-rantai. Masalahnya adalah 
perbuatan buruk berakhir dengan akibat buruk. Karena alasan inilah ruh tidak 
pernah merasa tentram dengan amal buruk. Jadi, dimana letak kelezatan dalam 
keburukan? Setiap perbuatan amal buruk berbekas di dalam hati dan seseorang 
merasakan beban berat atas dirinya dan ia dipaksa untuk bertanya pada dirinya 
sendiri, ‘betapa ini suatu kebodohan?’ dan akibatnya ia melaknati dirinya 
sendiri. Mereka juga mengalami akhir yang mengerikan.
Singkatnya, hidup tidak lain adalah untuk 
memelihara diri seseorang dari perbuatan buruk. Dan bertawakallah kepada Tuhan, 
sebab ia yang bertawakal kepada Tuhan sebelum musibah menimpanya, Tuhan 
menolongnya pada saat-saat mengalami musibah. Ia yang tidur sebelumnya, pada 
saat datang musibah-musibah ia jadi hancur.
Allah Taala Maha Kaya. Manakala tempat-tempat 
seperti Beecaner menderita kekeringan, orang di sana bertindak sedemikian jauh 
sampai-sampai memakan anak-anak. Hal-hal ini terjadi karena mereka tidak 
menjalani hidup mereka untuk siapapun. Seandainya mereka hidup untuk Allah 
Taala, maka anak-anak tidak harus mengalami nasib seperti itu. Sangat jelas dari 
Hadis dan Alquran Suci demikian juga dari Kitab-Kitab Suci terdahulu bahwa 
kadang-kadang amal buruk orang tua membawa malapetaka bagi anak-anaknya. Ayat 
Alquran, “Dia tidak memperdulikan akibat-akibatnya” (QS. 91:15), merujuk kepada 
hal ini bahwa mereka yang melewatkan hidup dengan ceroboh, Allah Taala juga 
menjadi tidak perduli terhadap mereka. Kalian mengetahui, seseorang pembantu 
yang tidak mengucapkan salam kepada majikannya selama beberapa hari menyebabkan 
majikannya tidak senang. Jadi mengapa Tuhan harus peduli dengan ia yang 
memutuskan hubungan dengan-Nya. Tuhan menyatakan bahwa Dia menghancurkan mereka 
dan tidak perduli terhadap keturunan mereka juga. Dan hal ini dapat difahami 
bahwa manakala seseorang yang mutaki beramal saleh meninggal dunia Tuhan 
memelihara anak keturunannya sebagaimana dapat dilihat di dalam ayat Alquran, 
“Ayah mereka dahulu adalah orang yang saleh.”(QS. 18:82). Karena kebaikan dan 
kesalehan sang ayah ini, Tuhan menjadikan nabi-nabi besar seperti Nabi Musa dan 
Nabi Khidir bekerja keras, untuk memperbaiki dinding yang sekarang menjadi milik 
anak-anaknya. Betapa agungnya derajat yang dimiliki seseorang seperti itu dalam 
pandangan Allah. Allah Taala tidak menceritakan tentang keadaan anak-anaknya 
melainkan bersikap sattar (menutupi kelemahan-kelemahan). Karena hal 
itu akan menodai keagungan orang tua mereka dan juga karena Tuhan menutupi 
keadaan sesungguhnya anak-anak tersebut demi untuk ayah mereka.
Hal yang sama telah disebutkan di dalam 
Kitab-Kitab Suci terdahulu di mana Tuhan menyatakan bahwa Dia memelihara sampai 
tujuh generasi keturunan seseorang yang saleh. Nabi Daud juga telah mengatakan 
bahwa beliau tidak pernah menyaksikan anak-anak seseorang yang bertakwa 
mengemis-ngemis minta makanan.
Singkatnya, kenikmatan sejati adalah rezeki dari 
Allah yang tidak diperoleh oleh mereka yang berada di luar ketaatan 
kepada-Nya.


No comments:
Post a Comment