Monday, 27 August 2012

Kaitan Agama dan Politik?

Apa kaitan agama dan politik?

Yang paling penting untuk memulai hal ini adalah bukannya apa kaitan atau link antara agama dan politik tetapi de-link atau ketidak-terkaitan antara agama dan politik. Banyak kerusakan telah terjadi terhadap politik dikarenakan agama dan banyak kerusakan agama disebabkan oleh politik. Maka hal sebenarnya adalah harus di hentikan sama sekali kaitan antara agama dan politik.

Satu-satunya cara untuk memperbaiki kualitas politik adalah dengan hanya menerima agama dalam hal ajaran moralnya, tidak lebih dari itu. Satu kali anda memperbolehkan dogma ajaran agama memainkan peranan dalam politik maka kedamaian akan dijadikan berantakan, yang tidak mungkin untuk dapat memperbaikinya kembali. Yang orang lihat hanyalah keburukan dari agama yang mendorong adanya kekerasan, kelakuan tidak baik dari orang-orang dengan mengatasnamakan Tuhan yang tidak terbit dari aspek ajaran moral. Tetapi selalu muncul dari dogma ajaran agama, yang sudah kehilangan nilai moralitasnya sebagaimana dibicarakan tadi. Jadi itulah dua prospektis yang untuk ini kita harus mengajarakan moralitas pada politik.
Dan ini bukan hanya terbatas satu negara saja tetapi semua. Tetapi Sayangnya, pada umumnya mereka tersingkir jauh dari dari nilai-nilai moral dimana mereka tidak dapat menghentikannya karena kurang perhatiannya terhadap permasalahan ini dikarenakan hasil kerjanya mafia.

Mafia dari moralitas tidak dapat berjalan bersama-sama. Pada abad dimana mafia berkuasa ini adalah merupakan nama lain dari kapitalisme. Bukan hanya konsentrasi dalam hal kekuasaan tetapi juga dalam kualitas dalam menekan masyarakat tingkat rendahan pada tempatnya yang tepat. Mereka tidak dapat mengangkat kepala mereka karena tuannya itu jauh terlalu besar bagi mereka, Jadi bukan saja dialektikal materialisme yang anda temukan yang secara efektif marx sudah lama sekali melupakannya atau sengaja dengan dihilangkan dari pikiran manusia. Pikiran manusia adalah jauh lebih kuat daripada perubahan ekonomi atau dialektikal materialisme. Dan tidak ada kompetisi sama sekali dalam hal ini yang saya sangat heran ketika saya mempelajari Marx yang saya tahu bahwa ia dengan sengaja melakukannya demikian. Karena jika anda menambahkan kekuatan dari pikiran kepada konservasi dari uang maka bukanlah hanya pekerja yang dirubah menjadi comersial gain daripada orang-orang kaya. Maka kekuatan pikiran harus harus juga diperhitiungkan yang jika anda melakukannya maka bukan hanya ada perang dua arah, tetapi perang segi tiga. Kita punya pikiran yang menjadi kekuatan, pikiran yang menjadi pekerja yang merubah hasil daripada permainan. Jadi pikiranlah yang akhirnya mengontrol. Anda tahu Marx bukan hanya cerdik tetapi juga orang yang licik dan terampil. Ia membangun dialektikal materialismenya dengan idealisme dialektikal dari hegel tetapi iapun menolaknya. Dialektikal materialisme bukan idealisme dialektikal padahal ia tahu benar bahwa tanpa ide yang kuat tidaklah mungkin mengadakan perubahan materialisme di dunia. Jadi ia mengunakan pikirannya untuk menolong idelalisme dialektikal mencapai tujuannya yang ia ingin memimpinnya, dan gagal karena tidak ada moralitas. Cacat yang selalu adalah ialah tujuan akhirnya yang salah. Inilah situsi yang kita lihat di dunia dimana kita harus sangat berhati-hati jangan membiarkan agama memainkan sesuatu peranan dalam politik selain daripada peranan kesadaran manusiawi, universalitas dari orang-orang. Saya sudah memperingatkan dunia bahwa rasionalisme dalam bentuk apapun tidak akan dapat menolongnya. Sayapun sudah mengingatkan seluruh dunia bahwa kebangkitan dogma keagamaan ini adalah merupakan racun yang mematikan, bukan saja untuk orang-orang Islam tetapi juga untuk dunia Kristen. Dimana hal ini muncul maka nilai kemanusiaan akan bertambah rendah, nilai moral tidak akan berarti apa-apa dalam urusan kemanusiaan. Sayangnya itulah permasalahan yang dihadapi dunia dewasa ini, disinilah politik harus dipikirkan. Saya rasa kita dapat melakukannya tetapi tidak ada yang mau mendengar kami karena mereka tidak memiliki cukup bermoral untuk mendengar pada alasan, Benarkah demikian ?
(Siaran MTA tanggal 13 mei 1996, Darsus no 31, 9 Agustus 1996, tanya jawab di Inggris )

No comments:

Post a Comment