Friday, 30 November 2012

DOAKAN KEHANCURAN SESAMA ISLAM?

Dan tiadalah Kami mengutuskan engkau (wahai Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.(21:107)

NABI SAW MENYATUKAN UMAT ISLAM, MENGAJAR UMAT BERKASIH SAYANG SESAMA MANUSIA APATAH LAGI SESAMA ISLAM DAN SALING MENDOAKAN KEBAIKAN SESAMA MANUSIA, APATAH LAGI SESAMA ISLAM. PAS PULA MAKI HAMUN, MENCARUT, DOAKAN KEHANCURAN SESAMA ISLAM HANYA KERANA TAK DAPAT SATU UNDI ATAU TAK SOKONG MEREKA. PAS PULA SUKA MERUSUH HINGGA MENUDUH PLAK NABI PUN BUAT GITU. KAMU PUN TAU APA SEBAB PAS CAKAP MACAM TU KAN? PASAL NAK KUASA LAH TU HEHHEHE.....
INI DIA PEMIMPIN ISLAMIK DARI PAS

DEMONSTRASI SAMBIL MEMAKI HAMUN

WAJIB KE? SALAH SATU RUKUN ISLAM KE?

ADA KE DALAM AJARAN ISLAM?

TAK PUAS HATI LAGI, BAWA KERTAS PEGI RAYU UNDI DENGAN CARA GITU

DAH TERDESAK, INI LAH KONON CARA ISLAM YANG DI BAWA OLEH NABI KONON

TU DIA, SAMPAI NAK DOAKAN KEHANCURAN SESAMA ISLAM PLAK, ISRAEL BUNUH KANAK KANAK, WANITA DAN ORANG TUA BEGITU KEJAM, TAK PULA PAS HIRAUKAN


DALAM FIKIRAN DIA NI, YANG PENTING DAPAT UNDI HEHEHHE... SAYA KATA PADA NIK AZIZ "YER LAH TU...HEHEHH"


SIAPA SOKONG ISRAIL?









“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana.” Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” [Al Maa-idah 52]


KAMU DAPAT AGAK JUGA SIAPA TU. IA PERNAH BERKATA" SAYA AMAT BIMBANG DENGAN KESELAMATAN ISRAIL"



Tuesday, 27 November 2012

PAS PERALATKAN ISLAM?






Allah SWT. berfirman: ”Jadi dengan belas kasih (rahmat) Allah itulah engkau bertindak lemah lembut terhadap mereka. Dan sekiranya engkau kasar dan kejam, niscaya mereka akan bubar dari sekeliling engkau. Maka dari itu, ampunilah mereka dan mohonlah pengampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka mengenai urusan itu. Tetapi jika engaku telah mengambil putusan, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersandar kepada-Nya”. (Q.S. Ali Imran:159)


Islam Sebagai Rahmatan Lil’alamin Telah Dinodai dan Dilecehkan

Bagi kelompok Islam garis keras, ratusan ayat ”rahmat” (belas kasih) Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an tidak tampak di ”mata” mereka. Yang nampak di ”mata” mereka hanyalah tafsir beberapa ayat radikal dan kejam versi Khawarij dan Ektrimis Wahabi, yang mereka pahami secara salah baik dari Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Sungguh sangat tragis dan menyedihkan, walaupun Allah Ta’ala telah memulai Kitab-Nya dengan ayat rahmat: Bismillahirrahmânirrahîm (Dengan menyebut nama Allah, Yang Maha Pemurah dan Maha Belas Kasih) tetapi ”mata” benar-benar telah buta sehingga isyarat Allah yang begitu terang dan jelas sekalipun luput dari pandangan mereka. 

Mereka telah meninggalkan firman Allah Ta’ala: ”Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat (belas kasih) bagi sekalian alam”. (Q.S. Al-Anbiya’:107)

Mereka juga tidak memperdulikan lagi firman Allah: ”Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai pengemban kabar gembira dan pemberi peringatan”. (Q.S.Al- Israk 17:105)

Para pemimpin PAS dan penyokongnya telah melanggar ajaran Islam dan missi Rasulullah SAW sebagai pemberi basy-syiran (kabar gembira) dan nadzîran (pemberi peringatan) belaka, dengan menempatkan diri mereka sebagai jabbâran (yang bertindak sewenang-wenang), qahhâran (pemaksa) hingga mereka merasa tidak bersalah ketika menganiaya orang lain dan berbuat kerusakkan (anarki) atas nama Islam.

Pemimpin PAS dan penyokongnya perilaku anarkis mereka ”tidak mau mengerti” bahwa hamba Allah SWT. yang seberanya adalah sebagaimana yang dikemukakan Allah sendiri:”Adapun hamba-hamba Yang Maha Pemurah ialah mereka yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang bodoh menegur mereka, mereka berkata:’Salâman’/Damai!”. (Q.S. Al-Furqan:63) Mereka sungguh sangat angkuh, gemar menebar kebencian dan huru-hara atas nama Islam.

Telah diramalkan oleh Nabi SAW 

PAS,Taliban, Al-Qaeda dan kelompok fundamentalis Islam telah di”ramal”(nubuwwat)kan Nabi SAW. Beliau bersabda: ”Akan datang atas manusia suatu zaman, ketika itu tidaklah menyisa dari Al-Qur’an melainkan tinggal tulisannya saja, tidak menyisa juga dari Islam melainkan tinggal namanya saja, orang-orang (dengan semangat fanatisme dan emosi) mereka menamai (segala sesuatu atau organisasi mereka) dengan nama Islam (yatasammauna bihi), padahal mereka itu orang-orang yang paling jauh dari Islam (ab’adunnāsi minhu), mesjid-mesjid mereka melimpah (dengan jamaah) padahal (pada hakikatnya) mesjid-mesjid itu kosong dari petunjuk, fuqahā (ahli-ahli fiqih) pada zaman itu sejahat-jahat fuqaha di kolong langit, dari mereka muncul fitnah (huru hara), dan kepada mereka pula (akibat) fitnah itu akan kembali”. (H. R. Hakim dalam tarikhnya dari Ibnu Umar, dan Riwayat Ad-Dailami dari Mu’adz. Kanz ‘al-‘Ummāl, jilid XI, hadits no 31135)

Radikalisme Agama Bisa Menyeret Malaysia Kepada perpecahan

Jika radikalisme agama dan pemaksaan kehendak sebagian kelompok masyarakat terhadap yang lainnya dibiarkan hidup subur, maka tidak mustahil Malaysia akan mengikuti nasib Afghanistan atau Pakistan dimana perang saudara dan kekerasan sektarian biasa terjadi.

Demikian juga usaha-usaha beberapa kelompok Islam untuk menghidupkan Syiah, pendirian negara khilafah, dan penerapan syari’at Islam (secara kaffah (menyeluruh) ‘ala Islam radikal akan berpotensi menimbulkan perpecahan bahkan perang saudara jika saja kerajaan tidak waspada dan tidak konsisten dalam memegang teguh perlembagaan dan undang undang Negara.

Umat Islam semestinya harus mengambil ‘iktibar atas perpecahan dan pertikaian yang pernah terjadi dalam sejarah panjang mereka. Kebiasaan buruk saling sesat menyesatkan, saling mengkafirkan dan merasa pemilik kebenaran tunggal adalah penyakit kronis umat Islam yang harus segera dihapusi dan dibuang jauh-jauh. Dalam hal ini Konperensi Islam Internasional yang diadakan di Arab Saudi pada awal Juni 2008 telah merekomendasikan agar umat Islam mengedepankan dialog dalam penyelesaian masalah luar dan dalam umat beragama dan menghindari jalan kekerasan, karena hanya akan menodai Islam. Alhamdulillah




Saturday, 24 November 2012

Konsep Islam mengenai Keadilan





Berikut ini Beberapa contoh mengenai prinsip-prinsip Islam yang barangkali perlu mendapat  penekanan khusus di dunia dewasa ini. Agama-agama lainnya tidak mengemukaakan pedoman yang komprehensif mengenai pelaksanaan keadilan dan aturan main yang bersih; dan sungguhpun kalau menyebutkan namun menyebutkan dengan perkataan yang hampir-hampir tidak dapat diterapkan kepada zaman kita sekarang ini.

Pada hakikatnya beberapa bagian pengarahan-pengarahan ini tampaknya bertentangan secara langsung dengan intelek dan penalaran pada abad kita ini, dan kita tidak dapat berbuat lain selain mangambil kasimpulan bahwa ajaran-ajaran ini telah menjadi rusak atau tadinya dimaksudkan hanya untuk aplikasi lokal atau bersifat sementara. Karena agama Yahudi menampilkan Tuhan sebagai hanya Tuhan Israel dengan mengucilkan semua yang lain, maka tidaklah mengherankan kalau Judaisme bahkan menanggapi masalah hak-hak asasi manusia tidak sebagaimana  seharusnya.

Adapun agama Yahudi agaknya sema sekali tidak bersahabat bukan hanya terhadap orang Bukan Hindu tetapi juga terhadap orang Hindu sendiri dari kasta bawah, karena mempersempit lebih lanjut jangakuan kasih sayang Tuhan sampai ke atas sebagaian kecil umat manusia. Agama Hindu menetapkan :

“Jika seorang Brahma tidak sanggup membayar utang kepada seorang Sudra, orang-orang sudra itu tidak punya hak menagihnya. Akan tetapi jika seorang Sudra tidak sanggup membayar utang yang dipinjam dari seorang Brahma, orang Sudra itu harus bekerja sebagai kuli untuk orang-orang Brahma sampai saat ia mampu   membayar utangnya secara penuh”.
(Manu Sariti 10:35)

Lagi di dalam agama Yahudi kita tidak bisa menemukan konsep keadilam terhadap musuh, dikatakan:
“Dan bila Tuhan kalian menyerahkan mereka kepada kalian dan kalian mengalahkan mereka maka kalian harus menghancurkan mereka sema sekali. Kalian tidak boleh     mengadakan perjanjian dengan mereka.”
Saya sekarang akan menyebutkan secara sepintas lalu beberapa contoh ajaran Islam berkenaan dengan bidang itu. Alquran memerintahkan dan saya kutip:

“Dan apabila kamu menghakimi diantara manusia handaklah kamu membuat keputusan dengan adil (4:59)

“Jadilah kamu orang-orang yang menjadi penegak keadilan dan jadilah saksi karena Allah, walaupun perkara itu bertentangan dengan dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabat” (4:136)

“Dan janganlah permusuhan suatu kaum mendorong kamu bertindak tidak adil. Berlaku adilllah, itu lebih dekat kepada takwa”. (5:9)

“Dan perangilah di jalam Allah orang-orang yang memerangimu, namun jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui “. (2:191)

“Dan  jika mereka cenderung kepada perdamaian maka cenderung pulalah kalian kepada nya”. (8:62)

Contoh lainnya yang hendak saya sebutkan mengenai keabasahan ajaran -ajaran Islam adalah yang berhubungan dengan balas dendam dan pengampunan. Jika kita membandingkan ajaran-ajran Islam di dalam bidang ini dengan ajaran agama-agama lain, perhatian kita terpaut kepada perintah Perjanjian Lama sebagai berikut:

“Mata akan diganti mata, gigi akan diganti gigi, tangan akan ganti tangan, kaki akan ganti kaki”. (Keluaran 221: 24)

Tak ayal lagi penekanan atas balas dendam yang demikian itu menyebutkan bukan hanya kita dibuat heran, akan tetapi juga membuat hati kita sedih. Namun saya menyebut contoh ini bukan hendak mencerca agama lain tetapi hendak menunjukkan bahwa kalau ini ditinjau berdasarkan prinsip-prinsip Alquran tindakan -tindakan yang drastis serupa itu kadang-kadang dapat juga dibenarkan. Alquran dengan demikian membantu kita dalam memahami ajaran-ajaran agama lainnya yang bertentangan dengan jiwa tenggang rasa dan pengertian, hal demikian juga merupakan ciri khas Islam.

Menurut Alquran balas dendam suatu ketika dibenarkan guna memenuhi kebutuhan khusus dalam satu periode tertentu. Ini diperlukan untuk membesarkan hati kaum Bani Israel untuk membuat mereka bangun dari merebut hak-hak mereka sesudah mereka menjadi korban perbudakan selama periode panjang dan sebagai natijahnya mereka menjadi bangsa penakut lalu berkembang menjadi bangsa yang mengidap kompleks rendah diri. Jelaslah bahwa di dalam situasi yang semacam itu kiranya tidaklah tepat untuk menekankan pada pengampunan, sebab hal demikian pasti membuat kaum Bani Israel lebih tenggelam ke dalam rawa-rawa dan tidak memberikan kepada mereka keyakiann dan keberanian untuk memecahkan belenggu-belenggu perbudakan. Oleh karena itu ajaran ini benar dan tepat pada situasi yang pada waktu itu ada, dan sesunguhnya ajaran itu diberikan oleh Tuhan Yang Maha Bijak.

Pada pihak lain bila kita memperhatikan Kitab Perjanjian Baru, kita dapatkan bahwa bertolak belakang dari kitab yang sebelumnya, yaitu Perjanjian Lama, Perjanjian Baru menekankan pengampunan sampai sejauh batas hingga Perjanjian Baru itu sama sekali menjauhkan kaum Bani Israel dari hak untuk bagaimanapun melampiaskan rasa dendam mereka. Alasan yang sesungguhnya untuk ini ialah dengan mengamalkan ajaran yang sebelumnya sepanjang jangka waktu yang lama, orang-oran Bani Israel telah menjadi tak berhati dan buas, dan ini dapat diobati hanya dengan menangguhkan untuk satu masa tertentu menangguhkan pelampiasan rasa dendam mereka. Itulah sebabnya Jesus memperingarkan kepada mereka:

“Kamu sudah mendengar perkataan demikian: ‘mata didagnti mata dan gigi digan gigi’, tetapi aku ini  berkata kepadamu, ‘Jangan melawan orang jahat, melainkan barang siapa yang menampar pipi kanan berilah kepadanya pipi yang sebelah lagi. Dan jikalau seorang  hendak mendakwa engkau, lalu mengambil bajumu biarlah ia mengambil jubahamu juga” (Matius:38:40)

Islam mempercayai kedua ajaran yang bertentangan itu sebagai komplementer-masing-masing diizinkan sepenuhnya untuk diberlakukan-dan tiap-tiap ajaran itu cocok untuk situasi dan kondisi yang dominan pada masanya masing-masing. Oleh karena itu kedua-duanya tidak bisa mengklaim sebagai ajaran yang universal atau ajaran yang bersifat abadi. Ini sepenuhnya beralasan karena manusia masih berkembang maju sejak tahapan-tahapan awal perkembangannya dan belum lagi menjadi suatu masyarakat yang dapat dianugerahi satu hukum yang bersifat final lagi universal. Kami percaya bahwa Islam adalah hukum (syariat) yang terakhir dan Islam mengemukakan suatu ajaran yang tidak terpengaruh oleh tempat atau waktu, dan kenyataan ini cukup banyak digambarkan dalam ajarannya. Alquran mengatakan:

“Ingatlah bahwa pembalsan terhadap satu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal dengan itu, tetapi barangsiapa memaafkan dan karena itu mendatangkan perbaikan, maka ganjarannya ada pada Allah, Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim”. (42:47)

Dengan demikian Islam menggabungkan kedua hal yang terbaik dari ajaran-ajaran yang sebelumnya, disertai imbuhan yang vital bahwa memaafkan itu dianjurkan, dengan syarat bahwa tindakan itu diperhitungkan akan bisa mengakibatkan peningkatan dalam moral serta perbaikan di dalam diri orang yang bersalah. Jika tidak maka hukuman dipandang perlu, akan tetapi tidak boleh melampaui ambang batas kajahatan yang diperbuatnya. Sesungguhnya penyuluhan ini sepenuhnya sejalan dengan sifat manusia dan layak diamalkan dari ini seperti ketika penyuluhan itu diturunkan empat belas abad yang lalu.

Friday, 16 November 2012

KONSEP KEADILAN ISLAM








Saya kini akan mengutip beberapa contoh prinsip Islam yang penting yang mungkin perlu penekanan-penekanan khusus di dunia hari ini. Perhatian awal ajaran Islam pada persamaan dan keadilan. Agama-agama lain tidak menyajikan pengarahan yang mantap mengenai peraturan keadilan dan persamaan, dan bahkan tidak menyebutkan hal ini sama sekali, yaitu dalam istilah-istilah secara sederhana yang dapat diterapkan pada kita sekarang. Sebenarnya, sebagian dari ajaran-ajaran ini tampak bertentangan secara langsung dengan akal dan perasaan kita masa kini, dan seseorang tidak dapat menyimpulkan kecuali bahwa ajaran-ajaran ini telah rusak atau hanya dimaksudkan untuk tempat dan zaman tertentu. Sebagaimana ajaran Yahudi mengemukakan Tuhan hanya sebagai Tuhan bangsa Israel dengan mengecualikan semua manusia lainnya – maka tak heran, bahwa hal itu bahkan tidak sesuai dengan persoalan pokok Hak Asasi Manusia juga.

Untuk Hindu tampak sepenuhnya bahwa tidak hanya berlawanan dengan non Hindu tapi juga kepada kaum Hindu dari kasta rendah, mempersempit lingkup kasih sayang Tuhan kepada kelompok yang lebih kecil dari umat manusia. Ajaran Hindu menetapkan:

“Jika seorang Brahmana tak dapat mengembalikan pinjaman kepada seseorang dari kasta yang lebih rendah, yang lain tak punya hak menuntut pengembaliannya. Tapi jika seseorang dari kasta yang rendah tak dapat mengembalikan pinjaman yang diambil dari seorang Brahmana, dia akan dipekerjakan sebagai buruh untuk Brahmana itu hingga waktunya dia dapat membayar kembali hutang sepenuhnya.” (Manu Smriti 10:35).

Lagi, dalam ajaran Yahudi kita gagal untuk melacak satu konsep keadilan terhadap seorang musuh. Dikatakan:

“Dan Tuhan, Allah-mu, telah menyerahkan mereka kepadamu, sehingga engkau memukul mereka kalah, maka haruslah kamu menumpas mereka sama sekali. Janganlah engkau mengadakan perjanjian dengan mereka dan janganlah engkau mengasihani mereka“.(Ulangan 7:2)

Saya kini akan, dengan cara perbandingan, mengutip beberapa contoh ajaran Islam dalam bidang yang sama. Al-Qur’an memerintahkan – dan saya kutip:

Dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kalian menetapkannya dengan adil. (QS 4:59).
Jadilah kalian penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun bertentangan dengan diri kalian sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabat kalian. (QS 4:136).
Dan janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Sebab adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS 5:9).
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tapi jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS 2:191).
Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS 8:62).
Contoh lain saya ingin mengutip ajaran-ajaran Islam yang abadi berkenaan dengan pembalasan (hukuman) dan pemaafan (pengampunan). Ketika kita membandingkan ajaran-ajaran Islam dalam lingkup ini dengan apa yang ada pada agama-agama lain, kita seketika didorong oleh perintah Perjanjian Lama:

“Mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki“ (Keluaran 21:24).

Tanpa keraguan, penekanan pada pembalasan tidak hanya menyebabkan keheranan, melainkan juga menyedihkan hati kita. Bagaimanapun, saya mengutip contoh ini bukan untuk mengritik ajaran [agama] lain, tapi untuk menunjukkan bahwa, ketika memandang dengan cahaya prinsip Al-Qur’an, bahkan ukuran-ukuran yang begitu drastis kadang-kadang dibenarkan. Al-Qur’an, dengan demikian membantu kita dalam menyikapi pertentangan ajaran-ajaran dari agama-agama lain dengan jiwa simpati dan pengertian, yang juga merupakan ciri khas Islam yang istimewa. Menurut Al-Qur’an, penghapusan hukuman sepenuhnya hanya diputuskan untuk menghadapi keperluan-keperluan khusus pada masanya. Ini perlu untuk memberi hati kepada Bani Israil untuk membuat mereka berani menuntut hak-hak mereka sesudah mereka tetap menjadi korban dan diperbudak dalam masa yang panjang, dan sebagai hasilnya, menjadi penakut dan berubah menjadi kaum yang rendah diri. Secara nyata, dalam suasana demikian, akan tidak tepat untuk menekankan pemaafan, sebab itu hanya akan menjadikan Bani Israil tenggelam lebih dalam pada keadaan mereka dan tidak memberikan mereka rasa percaya diri dan keberanian untuk memutuskan ikatan belenggu keputus asaan. Ajaran ini, oleh sebab itu, benar dan tepat dalam suasana yang diperlukan, dan sungguh diberikan oleh Tuhan Yang Maha Bijaksana. Sebaliknya, ketika kita renungkan Perjanjian Baru, kita jumpai bahwa ada pertentangan dengan Kitab Suci sebelumnya, ia menekankan pengampunan sampai suatu batas yang secara total menghilangkan hak Bani Israil untuk melakukan pembalasan apa pun juga. Dasar yang sebenarnya untuk hal ini adalah bahwa pengamalan ajaran terdahulu selama rentang masa yang panjang, Bani Israil telah menjadi keras hati dan ganas, dan ini hanya dapat diobati dengan mencabut hingga waktu tertentu hak mereka untuk melakukan pembalasan. Inilah sebabnya Nabi Isa (Yesus) memperingatkan mereka:

“Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. “(Matius 5:38-40).

Islam menetapkan dua ajaran yang saling berlawanan ini sebagai saling melengkapi, masing-masing sesuai untuk keadaan dan suasana zaman yang ditetapkan, dan oleh sebab itu, tidak dapat mendakwakan sebagai universal atau abadi. Dan hal ini sepenuhnya memberikan dalil, karena manusia masih akan berkembang maju melalui tahap-tahap perkembangan terdahulu dan belum menjadi satu kaum yang dapat dibebani satu hukum syariat terakhir dan universal. Kita percaya bahwa Islam adalah syariat terakhir itu dan menyajikan satu ajaran yang tidak dipengaruhi oleh tempat atau waktu yang kenyataannya dilukiskan oleh ajarannya sebagai bahan pertimbangan (renungan). Al-Qur’an mengatakan:

“Dan balasan suatu kejahatan adalah hukuman yang setimpal, tetapi barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik [kepada orang yang berbuat jahat] maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS:42:41).

Maka Islam menggabungkan unsur-unsur terbaik kedua ajaran terdahulu, dengan tambahan penting bahwa pemaafan (pengampunan) diberikan jika menghasilkan suatu perubahan dan perbaikan orang yang bersalah itu, sehingga menjadi tujuan yang benar. Jika tidak, maka hukuman perlu dilakukan, tapi tidak melebihi batas kesalahan [yang dia lakukan]. Sesungguhnya, petunjuk ini sepenuhnya sesuai dengan fitrat manusia dan dapat diamalkan hari ini seperti juga ketika diwahyukan empat belas abad yang lampau.

Petunjuk-Petunjuk Dalam Masalah Politik







Persoalan besar internasional lainnya yang kita hadapi hari ini adalah penetapan bentuk pemerintahan yang diberikan untuk satu kawasan atau Negara. Di sini, juga, prinsip-prinsip petunjuk Islam adalah begitu berkaitan, berbobot dan luwes (tidak kaku) sehingga kebenaran dan pengamalannya sendiri menjadi bukti nyata. Tak seorang pun dapat mengingkari bahwa satu bentuk pemerintahan tertentu dipertimbangkan sesuai atau tak sesuai hanya apabila diterapkan keadaan-keadaan tertentu, adalah khayalan untuk memikirkan bahwa satu sistem politik tertentu dapat memenuhi keperluan-keperluan setiap kaum untuk segala zaman. Inilah sebabnya mengapa Islam tidak mengkhususkan satu bentuk pemerintahan tertentu. Ia tidak menyajikan bentuk demokrasi atau sosialis, tidak pula mengusulkan kerajaan atau diktator. Bahkan memperluas cara-cara pemerintahan yang berdiri, Islam menerangkan prinsip pelaksanaan urusan-urusan politik dan pemerintahan dengan cara yang khas, dan menentukan syarat bahwa, tak masalah apa pun bentuknya, tanggung jawab pemerintah akan selalu diwajibkan dengan [bertindak] secara adil dan wajar, dengan simpati; selalu memenuhi dan menjunjung hak-hak asasi manusia. Maka, Al-Qur’an dari pada menekankan bagian pertama definisi demokrasi yang diterima secara umum, yakni,

“pemerintahan oleh rakyat:, Islam menekankan bahwa, apa pun bentuk pemerintahan, ia wajib dalam semua kejadian adalah: untuk rakyat.”

Maka apabila demokrasi disebutkan di antara bentuk-bentuk pemerintahan yang sungguh-sungguh menekankan kualitasnya. Ditekankan bahwa itu hendaknya tidak merupakan satu demokrasi palsu, tapi seharusnya bahwa orang-orang yang dipilih [jadi] pemimpin mereka adalah orang-orang yang mampu, berniat dengan segala kejujuran untuk memilih hanya mereka yang benar-benar layak dan mampu bertugas. Hal ini telah dijadikan prasyarat untuk pemilihan satu jabatan oleh Al-Qur’an. Dikatakan:

“Sesungguhnya, Allah memerintahkan kalian untuk menyerahkan amanat kepada yang berhak menerimanya dan ketika kalian memutuskan di antara manusia maka putuskanlah dengan adil.” (QS:4:59).

Dan kemudian, apa pun hasil pemerintahan yang mungkin berdiri, ia berkewajiban untuk memerintah dengan adil, tanpa membeda-bedakan ras, warna kulit, atau keturunan.

Kini saya akan menyimpulkan secara singkat aturan-aturan yang berasal dari dasar-dasar yang diberikan dalam Al-qur’an mengenai sistem pemerintahan:

Suatu pemerintahan terikat kewajiban untuk melindungi kehormatan, kehidupan dan harta benda rakyatnya.(1)
Seorang penguasa wajib bertindak dengan adil, di antara pribadi-pribadi dan di antara masyarakat (2)
Masalah-masalah kaum hendaknya ditetapkan dengan musyawarah.(3)
Pemerintah wajib mengatur untuk memenuhi keperluan-keperluan pokok manusia: katakanlah, menyediakan makanan, pakaian dan tempat tinggal.(4)
Masyarakat hendaklah disediakan lingkungan yang aman dan damai, serta kehidupan, harta dan kehormatan mereka dilindungi.(5)
Sistem ekonomi hendaknya seimbang dan teratur.5)
Pelayanan kesehatan hendaknya ditetapkan.5)
Hendaklah ada kebebasan agama sepenuhnya.(6)
Kaum yang ditaklukkan wajib diperlakukan dengan adil.(7)
Tawanan perang hendaklah diperlakukan dengan cinta kasih.(8)
Perjanjian dan persetujuan wajib dihormati.(9)
Perjanjian-perjanjian berat sebelah tidak boleh dipaksakan atas pihak yang lemah.9)
Warga-warga Muslim diwajibkan taat kepada pemerintah yang berkuasa. Satu-satunya kekecualian untuk aturan ini adalah pada perkara dimana pemerintah secara nyata menentang dan mencegah pengamalan kewajiban agama.(10)
Jika timbul perbedaan dengan penguasa, maka hal ini harus dikembalikan dengan berpedoman pada prinsip yang ditetapkan Al-Qur’an dan Nabi Suci (s.a.w.). Tak seorang pun akan diarahkan dengan niat pribadi.(11)
Masyarakat digalakkan untuk membantu penguasa dengan menyokong rancangan-rancangan yang bertujuan untuk meningkatkan kebaikan dan kesejahteraan umum. Adalah terlarang untuk melancarkan apa yang disebut gerakan non-koperasi.(12) Sama halnya, pemerintah juga diwajibkan untuk membantu dalam tindakan-tindakan yang bermanfaat, apakah secara perorangan atau kelompok, dan jangan menghalangi usaha-usaha semacam itu.
Suatu Negara dilarang melakukan tindakan agresi terhadap Negara lain: pengadaan persenjataan diizinkan hanya untuk mempertahankan diri.(13)

Kesempurnaan sistem petunjuk dalam Al-Qur’an







Pada tempat lain juga telah difirmankan:

“Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan yang nyata mengenai petunjuk dan pemisahkan yang hak dari yang batil”. (S.2 Al-Baqarah:186).
Berarti Al-Qur’an memiliki tiga karakteristik. Pertama, Kitab ini membimbing manusia kepada pengetahuan tentang keimanan yang telah menghilang. Kedua, Kitab ini mengemukakan rincian dari pengetahuan tersebut secara detil. Ketiga, Kitab ini mengemukakan firman tegas tentang hal-hal berkaitan dengan mana telah muncul perselisihan paham, sehingga dengan demikian menjadi pembeda di antara yang hak dan yang batil.



Berkaitan dengan sifat komprehensifitas daripada Al-Qur’an, dinyatakan dalam sebuah ayat bahwa:
“Segala sesuatu telah Kami terangkan dengan keterangan yang terperinci”. (S.17 Bani Israil:13).
Makna dari ayat ini ialah semua pengetahuan tentang keimanan telah dijelaskan secara rinci di dalam Al-Qur’an dan Kitab ini memberikan sarana dan mengajarkan bahwa pengetahuan luhur demikian akan membimbing manusia tidak saja ke arah kemajuan parsial tetapi justru kepada perkembangan yang sempurna.
Begitu juga dinyatakan:

“Telah Kami turunkan kepada engkau kitab itu untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk dan rahmat dan kabar suka bagi orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah”. (S.16 An-Nahl:90).
Makna ayat ini untuk mengemukakan bahwa Kitab tersebut diwahyukan agar setiap kebenaran agama menjadi jelas dan kejelasan tersebut bisa menjadi pedoman dan rahmat bagi mereka yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Kemudian juga difirmankan:

“Inilah suatu kitab yang telah Kami turunkan kepada engkau, supaya engkau dapat mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya”. (S.14 Ibrahim:2).
Bererti bahwa Al-Qur’an dapat mengikis semua bentuk keraguan yang telah menyelinap ke dalam pikiran manusia sehingga memunculkan pandangan-pandangan yang salah, serta mengarunia¬kan Nur dari pemahaman yang sempurna. Dengan kata lain, Kitab ini memberikan semua wawasan dan kebenaran yang dibutuhkan manusia guna berpaling ke arah Tuhan mereka dan beriman kepada-Nya.
Pada tempat lain dinyatakan:

“Ini bukanlah suatu hal yang telah dibuat-buat, melainkan suatu penyempurnaan apa yang telah ada sebelumnya dan penjelasan terperinci untuk segala sesuatu, dan suatu petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (S.12 Yusuf:112).
Berarti bahwa Al-Qur’an bukanlah suatu buku yang bisa dikarang oleh seorang manusia. Tanda-tanda kebenarannya nyata sekali karena Kitab ini telah menegakkan kebenaran dari Kitab-kitab sebelumnya, dengan pengertian bahwa nubuatan-nubuatan yang terkandung di dalam Kitab-kitab sebelumnya berkaitan dengan Al-Qur’an telah menjadi kenyataan dengan diwahyukannya Kitab ini. Begitu pula Al-Qur’an telah memberikan argumentasi yang mendukung aqidah-aqidah hakiki yang sebelumnya tidak dikemukakan dalam Kitab-kitab terdahulu dan dengan demikian telah menjadikan aqidah tersebut menjadi sempurna. Dengan cara ini Al-Qur’an telah meneguhkan kebenaran Kitab-kitab terdahulu dan dengan demikian telah menegakkan kebenarannya sendiri. Bahwa Kitab ini berisi semua kebenaran dari agama-agama lainnya, juga menjadi tanda kebenaran dirinya. Semua hal itu menjadi tanda kebenarannya karena tidak ada manusia yang pengetahuannya demikian komprehensif sehingga menguasai semua kebenaran agama dan mutiara kebenaran tanpa ada yang terlewatkan.
Dalam ayat-ayat tersebut di atas Allah yang Maha Kuasa secara tegas menyatakan bahwa Al-Qur’an secara komprehensif telah merangkum semua kebenaran dan hal ini menjadi argumentasi yang kuat untuk menopang kebenarannya. Sudah lewat ratusan tahun sejak pernyataan dari Al-Qur’an itu dan sampai sekarang tidak ada dari Brahmo Samaj atau pun yang lainnya yang berani menyangkalnya. Rasanya menjadi jelas bahwa mereka dengan tidak memberikan kebenaran baru yang mungkin terlewat oleh Al-Qur’an, tentulah mereka itu seperti orang-orang tidak waras yang mengemukakan sesuatu tanpa realitas yang mendukung. Hal ini menjadi bukti kuat bahwa mereka itu sebenarnya memang tidak mencari kebenaran sebagaimana seorang muttaqi tetapi hanya untuk memuaskan nafsu jahat mereka dalam mencari jalan untuk membebaskan diri dari Firman Tuhan dan dari Tuhan sendiri.
Guna memperoleh kebebasan demikian, mereka telah berpaling dari Kitab Tuhan yang hakiki dimana kebenarannya lebih cemerlang daripada matahari sekalipun. Mereka tidak mau membicarakan hal-hal itu dalam semangat orang terpelajar, tidak juga mereka mau mendengarkan suara pihak lain. Mereka seharusnya diingatkan, kapan pernah seorang manusia mampu mengajukan suatu kebenaran keagamaan yang bertentangan dengan Al-Qur’an yang tidak ada jawabannya di dalam Kitab ini. Selama lebih dari 1300 tahun sudah Kitab Suci Al-Qur’an menyatakan bahwa semua kebenaran keagamaan telah dirangkum di dalamnya. Alangkah jahatnya orang yang tanpa menguji Kitab yang demikian luhur lalu mengatakannya sebagai berkekurangan. Betapa angkuhnya mereka karena tidak mau mengakui kebenaran pernyataan Al-Qur’an tetapi juga tidak mampu membantahnya. Sebenarnya walau bibir mereka terkadang mengucapkan nama Tuhan, namun hati mereka berisi segala kekotoran duniawi. Bila mereka memulai diskusi keagamaan, mereka selalu tidak mau melanjutkannya sampai selesai karena takut kebenaran akan mengemuka.
Mereka seenak hatinya sendiri menyatakan bahwa Kitab ini berkekurangan padahal Allah s.w.t. telah berfirman:

“Hari ini telah Kusempurnakan agamamu bagi manfaatmu dan telah Kulengkapkan nikmat-Ku atasmu dan telah Kusukai bagimu Islam sebagai agama”. (S.5 Al-Maidah:4).
Apakah kalian tidak takut kepada Tuhan? Apakah kalian akan terus saja berkelakukan seperti ini? Apakah kalian pikir bahwa mulut kalian tidak akan dilaknat Tuhan nanti? Jika kalian pikir bahwa kalian telah menemukan kebenaran luhur setelah penelitian dan kerja keras kalian, lalu menyatakan bahwa hal itu terlewatkan oleh Al-Qur’an, kami undang kalian untuk datang menyerahkannya kepada kami, dan kami nanti akan berikan bukti dari Al-Qur’an bahwa semuanya sudah terangkum di dalamnya. (B.A., sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 1, hal. 223-227, London, 1984).

Monday, 12 November 2012

CARA BERDO'A DI WAKTU SHOLAT











Allah Ta'ala mengajarkan di dalam Al Fatihah: Ihdinash Shirothol Mustaqiim, Shirotholladziina an'amta 'alaihim ghoiril maghdhubi 'alaihim wa ladholliin.

Tunjukilah kami pada jalan yang lurus yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang Engkau murkai dan bukan pula mereka yang sesat.
Dalam ayat ini ada 3 hal: 
1. Memasukkan seluruh manusia dalam do'a
2. Memasukkan seluruh umat muslim dalam do'a
3. Memasukkan seluruh yang ikut sholat dalam do'a

Dengan cara mempunyai niat seperti ini telah memasukkan dalam do'a semua manusia, inilah yang dikehendaki Allah SWT. Dikarenakan sebelumnya Dia telah menulis nama-Nya dengan Robbul 'aalamiin (Tuhan sekalian alam) yang didalamnya termasuk para binatang. 
Kemudian Dia menamai diri-Nya dengan Rohman (Maha Pemurah). Nama ini mendorong orang-orang mukmin untuk mengasihi.

Sesudah itu Dia mengajarkan orang-orang mukmin dengan Rohiim (Maha Penyayang).Kemudian Dia menamai diri-Nya dengan Maaliki Yaumid Diin (Yang Memiliki Hari Pembalasan). Nama ini (Rohiim) untuk mendorong Jemaat (Jama'ah Muslim) masa sekarang (Jemaat Ahmadiyah) untuk menjadi Pengasih karena Yaumid Diin merupakan hari dimana Jemaat ini hadir dihadapan Tuhan, maka dengan panjang lebar makna dari Ihdinash Shirothol Mustaqiim dijelaskan. Jadi dengan karinah ini jelas bahwa dalam do'a ini telah mencakup mengasihi seluruh umat manusia. Inilah dasar Islam yang menyatakan bahwa seluruh umat Islam dalam keadaan selamat.

SHOLAT ADALAH JIMAT UMAT MANUSIA

Dalam 5 waktu mendapatkan kesempatan untuk berdo'a. Setidaknya diantara do'a yang dipanjatkan ada yang dikabulkan, oleh karena itu hendaknya apabila melaksanakan sholat dengan sesempurna mungkin dan saya sangat senang atas hal ini yakni sholat adalah jimat/ pelindung bagi manusia.

Friday, 9 November 2012

THE PHILOSOPHY OF PUNISHMENTS IN ISLAM(Hudud)

DR. IFTIKHAR AHMAD AYAZ, O.B.E






 The world today presents a horrific scenario of crime, violence, killing and a determined attempt to destroy the very pillars of social order which sustain peace, tolerance, harmony and human dignity. The lives of millions around the world have been ruined and they are going through an unbearable syndrome of traumatic suffering and ruthless devastation. The evil deployment of modern technology has given rise to a global institution of a  criminal order which is the most critical challenge of the world today.

The world is dearly searching for ways to combat, control and check the raging storm of crime, and that makes it all the more pertinent to present this subject, the Philosophy of Punishments in Islam.

The translation of the verse of the Holy Quran which I have just recited is: 
“These are the limits set by Allah, so approach them not. Thus, does Allah make His 
commandments clear to men so that they may become secure against evil.” (2:187) 

According to Muslim perception, Islam  is not only a religion but also a civilization and social order based upon revealed principles. Islam stands out distinctly among the religions of the world in that its punishment and retribution laws are applied under exclusive rules and regulations, dealing with matters related to obligations to Allah and obligations to human kind.

Under no circumstances has man the right to punish anyone for non-compliance with the obligations to Allah. So as a result of this distinction, Islam totally liberated man’s obligations to worship from human intervention and interference.


God Almighty considers to be His right to punish as He so wishes the offenders who associate something with Him, apostasy, blasphemy, opposing Him and His Messenger, maligning Him and His Messenger and obstructing His Messenger in his prayer and in his mission. Because of the severity and perfidy of these offences, God Almighty does not transfer the right of dispensing justice to such offenders to anyone - not even to His  most beloved of Prophets. Instead, He tells the Holy Prophet, ‘forgive them and turn
away from them’.


It is because God Almighty considers the offences to be so grave that no punishment in this world can do justice to the severity of the offences. God Almighty has prepared an abasing punishment for such people in the Hereafter as God Almighty says in the Holy Quran:


“On the Day of Resurrection, He will disgrace them; they will enter the gates of Hell to 
abide therein. Evil, indeed is the abode of the proud.” (16:27,29)


Before I embark upon the philosophy of punishments in Islam within the domain of human intervention,  it may be useful to briefly state the contemporary thought on this subject. Theories of punishment can be divided into two general philosophies: utilitarian and retributive. The utilitarian theory of punishment seeks to punish offenders to discourage, or “deter”, future wrongdoing. The retributive theory seeks to punish offenders because they deserve to be punished.


Under the deterrent philosophy, punishment should prevent other people from committing criminal acts. The punishment serves as an example to the rest of the society, and it puts others on notice that criminal behaviour will not be tolerated and will be punished.


The other major rationale for punishment is denunciation. Under the denunciation theory, punishment should be an expression of societal condemnation.


For our guidance, Allah Almighty has revealed in the Holy Quran a complete code of life - a law to govern all dimensions of human life. This in Islam is known as ‘Sharia’.


For the sources of ‘Sharia‘, we then have the Holy Quran, which is the very word of God. Supplementary to it, we have Hadith, which are traditions of the Holy Prophet of Islam - the records of his actions and his sayings, from which we must derive help in arriving at legal decisions. If, in the unlikely event, there is nothing either in the Holy Quran or in the Hadith to answer the particular question before us, we have to follow the dictates of reason in accordance with certain definitive principles.

Explaining this, the H.M.G.Ahmad says:


“In the Holy Quran the directives about civil, criminal and revenue matters fall into two categories. One category of those directives is aimed at detailing punishment for specific crimes. The second category is of directives which lay down procedures to be followed in time of court trial for other offences, so that the offence and punishment fit each other in the best possible manner. In such directives, rigid punishment is not mentioned for a specific offence. The Holy Quran lays down guiding rules according to which later interpreters of law are to carry out administration of law whenever new situations arise and for that, the Holy Quran provides a guiding principle:  


‘And the recompense of an injury is an injury the like thereof.’ (42:40) 
                                                                                              (Kitabul Bariyya, page 87)


With an understanding of the nature and source of Islamic law, we should know the definition of crimes and their categories under Islamic law. The Holy Quran provides specific punishments for only four offences, that is, adultery, slandering, murder and theft.


These offences appear to have been selected to indicate that life, family institution, property, honour and social order have to be protected.


The Muslim legislators and jurists have defined crime as going against or beyond the commands and prohibitions laid down in the Holy Quran. In other words, crossing the ‘hadd’ which is Arabic for the limits or the bounds fixed by God. All such crimes, since they are violations of the rules made by God Almighty, are considered crimes against religion.

A cursory glance is enough to realise the horrific, extensive and extremely profound impact these crimes have upon society and as a result of not taking appropriate measures to check and prevent them, society is ruined and destroyed.


In fact, these are the four crimes which have dominated society and are responsible for most of the suffering and misery that is witnessed in the world today.



In Islamic law, offences are divided into two major groups:  Firstly, crimes for which ‘Hadd’ punishments ordained by God are given.
Secondly, other crimes such as homicide, assault and damage to property etcetera, punishments for which include retaliation, expiation and disciplinary action.


However, Islam also provides guidelines on how to determine criminal liability.  For example, all acts are judged by their motives and intentions. (Bukhari).


The Holy Quran uses the word ‘kasab’ for commission of crime, which implies a deliberate effort. If there is no intention to violate or exceed the limits then there is no criminal liability and the act is pardonable.
Any act carried out in ignorance and without adequate knowledge deserves pardon.

God Almighty says in The Holy Quran:


“Verily, Allah accepts the repentance of only those who do evil in ignorance and then repent soon after. These are they to whom Allah turns with mercy; and Allah is AllKnowing, Wise.” (4 :17)


Hadrat Ayesha (ra) narrates that the Holy Prophet (Peace and blessings of Allah be upon him) said: Try as far as possible to save a Muslim from punishment. If there can be a way to save him, then think of settling the matter. For the Imam to make a mistake in forgiving and acquitting is better than making a mistake in giving punishment (Tirmidhi Abwab AlHudood). 


God Almighty has also stated that nobody shall be punished for the act of another and punishments laid out in Islam are proportionate to the crime.


In The Holy Quran God says:

“ Whoso does a good deed shall have ten times as much; but he who does an evil deed, 
shall have only a like reward; and they shall not be wronged.” (6:160)


Hadrat Ibn Abbas (ra) narrates that the Holy Prophet (Peace and blessings of Allah be upon him) said: stop the enforcement of ‘hudood’ (limits) because of doubts. That is, do not make haste in issuing a ‘hadd’ punishment to anyone. Rather, if there is a possibility of doubt, make it a base for pardon.

That makes it abundantly clear that punishments in Islam are not for revenge, but reformation, and must not exceed the extent of the offence.


To prevent crime, Islam aims at eliminating the conditions that produce it.  It seeks to remove the very root-cause of all crime by working a complete moral reformation in man. It blocks all approaches to crime. The phrase used in the Holy Qur’an is, do not go near the evil; do not go near the limits of Allah.


Thus Islam’s highest priority is building and sustaining a virtuous society with excellent morals, and that indeed is the philosophy of punishments in Islam.

Chastity as moral virtue holds a very high place in the code of Islamic laws that govern relations between sexes. Islam views with extreme disapprobation the slightest breach of these laws. It is Islam’s very great sensitiveness about chastity that is reflected in the punishment prescribed for adultery or fornication.


God Almighty says in The Holy Quran:

“And go not nigh unto adultery; surely, it is a manifest indecency and evil way.” (17:32) 

The unimaginable suffering and malignancy that arises out of the disorder and tumult from the act of adultery makes a long catalogue. The unrestrained and wrong means of reproduction causes immense trauma and unrest with both social and psychological disarray, which is not generally the case as a result of other crimes. Today, in the world, the ruin of families on a large scale, the weakening of family connections, and the
growing lack of loyalty and trust in relationships; the growing pandemic of divorces and the sense of being rejected; moreover the spread of horrific venereal diseases such as AIDS, can be blamed on this one offence of adultery.

 Islam regards adultery as one of the most heinous of all social crimes and looks upon chastity of a man or a woman as one of his or her most precious possessions. For the establishment of the kingdom of God, Islam strongly condemns this most deadly of all social crimes which if not checked and suppressed, can bring about total disintegration and destruction of society. The Holy Quran seeks to close all those avenues through which this evil can find its way among a people and severely punishes the act of adultery and condemns the guilty parties as social pariahs.


As far as the nature of punishment is concerned the Holy Quran says:

 ‘The adulteress and the adulterer (or the fornicatoress and the fornicator), flog each one of them with a hundred stripes.’ (24:2)


Flogging and not stoning to death is therefore the punishment prescribed by Islam for adultery or fornication. Nowhere in the Holy Quran has stoning to death been laid down as punishment of adultery and for that matter for any other crime, however serious. The misconception seems to be due to a few cases recorded in the hadith when married persons guilty of adultery were stoned to death by the order of the Holy Prophet. One of these few cases was that of a Jew and a Jewess who were stoned to death in accordance with the Mosaic law. (Bukhari). 


It was invariably the Holy Prophet’s (peace be upon him)  practice that he  abided by the law of the Torah in deciding cases until a new Commandment was revealed to him.

It is mentioned in St. John Chapter 8, V:4-5 of the Bible and I quote:  

‘they say unto him, Master, this woman was taken in adultery, in the very act. Now Moses in the law commanded us, that such should be  stoned’.


The misconception has persisted among certain schools of Muslim religious thought that flogging is punishment for unmarried persons only and that punishments for married adulterer and adulteress is stoning to death.

In principle and sensibly in accordance with this directive, Jesus (Peace be upon him) must be followed faithfully to this day. It is however, another matter that it is not adhered to. In the light of this explanation, we witness an interesting scenario in this age, where the Jewish and Christian States, against their religious teachings, do not stone the adulterers to death, but some Muslim States in contrast to the teaching of
the Holy Quran, impose the punishment of stoning to death for adultery.


There is another outstanding difference between the punishments imposed by Islam and by other religions. It is that the harsher the punishment imposed by Islam, in the same tone, it imposes vigorous preventive measures to be taken to save people from committing that offence and at the same time very strict rules for the conviction of an offender so that no innocent is convicted. In the case of adultery, the strict condition
of four witnesses who actually watched the act is to ensure  that there is absolutely not an iota of doubt in the allegation.

Moreover, the integrity and the credibility of the witnesses is of utmost importance, not only that the witnesses have a track record of being truthful but they should have a reputation of being civilized and respectable. All these measures are to guarantee that no one innocent of crime is victimized. Not only that, the Islamic laws pertaining to witnesses are so tough that there is no example of it in any other witness rules and regulations in the world.


Hadrat Ayesha (ra) narrates that the Holy Prophet (Peace and blessings of Allah be upon him) said: the witness of a man or a woman who is guilty of breach of trust is invalid and also that of the man and the woman who have received ‘hadd’ punishment and also the one who is malicious and who has been a false witness on record and the one who is dependent upon those for whom he is standing as a witness and a person who could be alleged to be a relative or an heir of the one he is giving witness for. (Tirmidhi Kital Ashahadat).

What a wonderful teaching for safeguarding the honour of the innocent and protecting the integrity and purity of the society in stark contradiction to the so-called Islamic States where witnesses and justice are a commercial commodity.


The other social evil, second to adultery in heinousness, which eats into the vitals of human society, is the slandering of innocent people. Islam also views with extreme disfavour this social evil which has become so common in the so-called civilized modern society, and severely punishes the accusers.

God Almighty says:

‘And those who calumniate chaste women but bring not four witnesses -  flog them with eighty stripes and never admit their evidence thereafter, and it is they that are transgressors.’ (24:4) 

Here, the Holy Quran mentions three forms of punishment in an ascending order which are to be meted out to a slanderer.


Firstly, the physical punishment of scourging. Then, disgrace of being branded as a perjurer and a liar which invalidates his or her evidence, and the spiritual stigma of being adjudged as a transgressor.

In case the accuser cannot produce the necessary evidence in support of his charge, the charge would be considered as false and the accuser would render himself liable to the prescribed punishment. Whatever the facts of the case, the woman with whom adultery is alleged to have been committed will be held innocent as long as the required evidence is not produced. The law, in fact, is intended to suppress with a strong hand the offence of slandering and scandal-mongering. The commandment contained in the Holy Quran covers both  men and women without any distinction.


The third offence set out in the Holy Quran is murder. Allah says;

‘O ye who believe, equittable retaliation in the matter of the slain is prescribed for you. The free man for the free man, and the slave for the slave and the female for the female. But if one is granted any remission by one’s brother, then pursuing the matter for the realisation of the blood money shall be done with fairness and the murderer shall pay him the blood money in a handsome manner. This is an alleviation from your Lord and a mercy and whoso transgresses thereafter, for him there shall be a grievous punishment.’ (2:178).


The verse makes no distinction between different classes of persons in connection with the law of retaliation. The punishment applies to all offenders who might be guilty of murder, no matter of what rank or station in life or of what religion. Any person, irrespective of his cast or creed and irrespective of his station, must be put to death for the murder of any other person unless pardoned by the relatives of the victim and unless the
pardon has the sanction of the authorities.

This verse comprises a very important principle of civil law, that is, equality of man and necessity of awarding proportionate punishment to all offenders without distinction. Unless an offender is forgiven by the relatives of his victim under circumstances that are expected to lead to improvement and betterment of conditions, punishment for the slain as prescribed is obligatory. The authorities responsible for law and order are bound to punish the offender according to the requirements of law, having no right to pardon him of their own accord. On the other hand, the heirs of the murdered person are not entitled to take the law into their own hands and inflict the punishment on the guilty person themselves.

So Islam simultaneously retains the punishment of death for murder but in some cases without depriving anyone of their right an exceptional form of punishment has also been created. This exceptional form is also based on profound wisdom; It is possible that the heirs of the murdered victim may be entirely dependant upon the person murdered for their subsistence. In such a situation capital punishment cannot fulfil a practical basic need of the family’s welfare. Thus, for making provision of claiming ransom in lieu of capital punishment, Islam offers a practical choice to the grieved family.  Basically, Islam structures a society which is founded on the spirit of true fraternity where the blood of a Muslim is unlawful upon another Muslim.  


What a beautiful teaching imbued with the love of Allah and humanity condoning purity of heart and mind and emphasising the fact that in Islam punishment is a forceful positive power of rectification and reformation for the sustenance of a pure God loving society.

The fourth offence that is mentioned is stealing.

The punishment prescribed for theft may again to some appear to be too severe. However, as I just mentioned, punishment if it is to be deterrent and effect change, has to be exemplary. God Almighty says in the Holy Quran:

“And as for the man who steals and the woman who steals, cut off their hands in retribution of their offence as an exemplary punishment from Allah. And Allah is Mighty, Wise.”  (5 :38)

 It is better to be severe to one and save a thousand than to be indulgent to all and ruin many. He certainly is a good surgeon who does not hesitate to amputate a rotten limb to save the whole body.


However, to understand the philosophy of this punishment, it would be helpful to comprehend the background of the society which Islam envisages to establish. A knowledge of the financial guarantee which an Islamic economic system provides to every citizen of the country is also necessary.

As far as the structure of society is concerned, Islam builds it on simple living, truth, righteousness and abstinence from absurdities of life and senseless customs. Islam establishes a society which is pure of such frolics and has the least causes which could be held responsible to tempt someone to steal. These are the aspects of the society which irrespective of religion or belief are to be observed by every subject of an Islamic State. As far as Muslims are concerned, there is emphasis on worship and purity of heart and
sight, and the moral teaching provides details regarding obligations to humans.

 In the light of all that, if the residents of a country are truly Muslims, the thought of stealing should be unimaginable. However, it is sad that in the real situation, such a scenario is difficult to present.

The Muslim States have sadly become the hubs and breeding grounds of evil crime, fraud and falsehood, leave alone theft and robbery.

In these circumstances, there can be no better punishment than the one imposed by Islam, that is, the punishment of cutting the hands. Such a punishment becomes a warning indicator and a deterrent for others.

Moreover, this punishment has a very powerful effective force for the prevention of stealing.

In the early history of Islam, there were extreme rare cases of cutting the hands because the punishment prescribed was deterrent and was put in force; Consequently, there were hardly any thieves. But when one was caught, he was dealt with scrupulously and the punishment enforced rigidly. The Holy Prophet (Peace and blessings of Allah be upon him) strictly forbade allowance of any concession or favour in the matter of ‘hadd’ punishments without any distinction.

We are told in a hadith, narrated by Hadrat Ayesha (ra), that a woman from a noble family once committed theft. The Quraish were very embarrassed and disturbed by the incident. They sent Osama bin Zaid to the Holy Prophet to seek forgiveness for the woman. Hudur (Peace be upon him) was deeply offended and said, ‘How dare you intercede in the matter of limits fixed by Allah?’ Hudur stood up and addressed: ‘People 
before you were destroyed because when a prominent and influential person committed theft he was not apprehended and when an ordinary person committed theft he was given the severest punishment! By God, if the daughter of Muhammad (Peace be upon him) committed theft, I shall cut her hands and not allow any concession at all!’ (Muslim Kitab AlHudood Ba’ab Qata Assariq). 


For the punishment of cutting the hands of a thief, Islam has also laid down limits on conditions such as that the stolen goods should not be edible on which the sustenance of life depends or pilfering or lifting. For such offences some other form of befitting punishment is meted out.  

The philosophy of punishments in Islam indicates that Islam provides punishment only as a last resort and the purpose behind is reform brought about through a blending of human values and  justice tempered with mercy. Encouraging forgiveness where it is likely to reform and improve things, providing severe punishment where there is clear disregard and exceeding the limit of law.

  The H.M.G.Ahmad says:

“Again there is apprehension that justice and mercy cannot both coexist in the entity of God because justice demands punishment while mercy calls for forgiveness. This is a trap in which the short sighted Christians are caught because of lack of judgement. They do not realise that God’s justice is a kind of mercy! It is entirely for the good of human beings. For instance, if God Almighty issues an order about a murderer from the point of view of His justice that such a criminal should die, it does not benefit God in any way. He issues such an order so that mankind should not put an end to itself by killing one another.

So it is God’s mercy towards mankind. God has promulgated such ‘human rights’ for social peace to prevail and that one group of humans must not oppress another group and create turmoil in the world. So all the rights and punishments which are there concerning property, life and reputation are in fact mercy towards mankind.” (Kitabul Bariyya, page 73).


It would be proper to conclude this presentation drawing attention that the four crimes which the Holy Quran has chosen and imposed ‘Hadd’ that is limits, on them are the ones which at present are the cause of unremitting and consuming anxiety for humanity.  Today, it is only the pristine pure Islam represented by the Ahmadi Community which offers the solution to all human anxieties. The Islamic system of punishments has the power to uproot crime and create an amazing atmosphere of peace and security.

















Wednesday, 7 November 2012

The Concept of Brotherhood in Islam

It is often stated that “Religions are the cause of many of today's problem all vying against each other to proclaim they are the only universal religion for mankind.  They do not bring about peace and unity but hate and disunity!”
Many of today's problems derive from the fact that the world in which we live is rapidly becoming one world. With modern technology, communication and transport, mankind is no longer isolated from each other; instead mankind out of necessity must learn to live close together in intimate contact with each other. In other words, they must become a true brotherhood. This requires many adjustments.
First of all mankind needs some sort of rules of conduct to help them interact with each other. Since all mankind desires peace, then the only real way to achieve that is through religion.  Religion is not the cause of many of today's problems; it is the misuse of religion.

What is Religion?

Religion is a divine system of beliefs, acts of worship, and rules of conduct to enable human beings to achieve nearness to Allah and to lead a peaceful life.

But a faith, if it is to fulfil man's needs of today, must, therefore, transcend tribal, national, racial and cultural limits, and must speak to men at a universal level; This is achieved by Islam. The Holy Quran opens with the verse:-
All praise belongs to Allah, Lord of all the worlds. (Ch. 1: verse2)
This presents the reader with a unified concept of humanity and of the universe. The message of Islam is not confined to any section of mankind; instead it embraces the whole of mankind and the entire universe.  As the Holy Quran relates
Say; 'O mankind! truly 1 am a Messenger to you all from Allah to Whom belongs the Kingdom of the heavens and the earth. There is no God, but He. He gives life and He causes death...” (Ch. 7: verse159)
The advent of the Holy Prophet (may peace and blessings of Allah be upon him) is described in the Holy Quran as:
a mercy for all peoples.(Ch. 21: verse108)
Furthermore, Islam proclaims to be for the universal brotherhood of man.
"And hold fast, all together, by the rope of Allah and be not divided; and remember the favour of Allah which He bestowed upon you when you were enemies and He united your hearts in love, so that by His grace you became as brothers; and you were on the brink of a pit off re and He saved you from it. Thus does Allah explain to you His commandments that you may be guided."” (Ch. 3: verse 104)
Islam recognises mankind's diversity of colour, race, language etc. The Holy Quran relates:
“And among His signs are the creation of the heavens and earth, and the diversity of your tongues and colours. In that surely are Signs for those who possess knowledge.(Ch. 30: verse 23)
But it proclaims that the standard that we should judge one another, should be that same standard that God judges us by; not by the position, wealth or colour but by the purity and righteousness of a person's life.  The Holy Quran relates:
"O, mankind, We have created you from a male and a female; and We have made you into tribes and sub-tribes that you may recognise one another. Verily, the most honourable among you, in the sight of Allah, is he who is most righteous among you Surely Allah is All-Knowing, All-Aware."(Ch 49:14)
Islam makes no distinction or privilege, whether pertaining to colour, race or caste or derived from family, rank, or wealth.  Instead it makes all mankind one great brotherhood, and exhorts all of us to seek and win the pleasure of God through the righteousness and beneficence of our conduct towards each other.

Thursday, 1 November 2012

Tafsir Surah Al-Fatihah Bag.I






Surah ke ; 1, AL-FAATIHAH, Surah ini diturunkan : Sebelum Hijrah, jumlah ayatnya : 7 dengan basmallah dan jumlah rukuknya : 1
Tempat dan Waktu Diturunkan, Seperti diriwayatkan oleh banyak ahli ilmu hadits, seluruh Surah ini diwahyukan di Makkah dan sejak awal menjadi bagian shalat orang-orang Islam. Surah ini disebut dalam ayat Al Qur’aan, “Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada engkau tujuh ayat yang selalu diulang-ulang, dan Al Qur’aan yang agung”(15:88). Ayat itu menurut pengakuan para ahli, telah diwahyukan di Makkah. Menurut beberapa riwayat, Surah ini diwahyukan pula untuk kedua kalinya di Madinah. Tetapi, waktunya Surah ini untuk pertama kali turun, dapat ditempatkan pada masa permulaan sekali kenabian Rasulullah saw.


Nama-nama Surah dan Artinya
Nama terkenal untuk Surah pendek ini ialah Faatihatul Kitaab (Surah Pembukaan Al Kitaab), diriwayatkan bersumber pada beberapa ahli ilmu hadits yang dapat dipercaya (Tirmidzi dan Muslim). Kemudian, nama itu disingkat menjadi Surah Al Faatihah atau Al Faatihah saja. Surah ini dikenal dengan beberapa nama dan sepuluh nama berikut ini lebih sah, , ialah Al Faatihah, Ash Shalaah, Al Hamd, Ummul Qur’aan, Al Qur’aanul ‘Azhiim As Sab‘ul Matsaanii, Ummul Kitaab, Asy Syifaa, Ar Ruqyah, dan Al Kanz. Nama-nama ini menerangkan betapa luasnya isi Surah ini.
Nama Faatihatul Kitaab (Surah Pembukaan Al Kitaab) berarti bahwa, karena Surah itu telah diletakkan pada permulaan, ia merupakan kunci pembuka seluruh pokok masalah Alqur’aan. Ash Shalaah berarti bahwa Al Faatihah merupakan do’a yang lengkap lagi sempurna dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari shalat Islam yang sudah melembaga. Al Hamd (Puji-pujian) berarti bahwa Surah ini menjelaskan tujuan agung kejadian manusia dan mengajarkan bahwa hubungan Tuhan dengan manusia adalah hubungan berdasarkan kemurahan dan kasih sayang. Ummul Qur’aan (ibu Al Qur’aan) berarti bahwa Surah ini merupakan intisari seluruh Al Qur’aan, yang dengan ringkas mengemukakan semua pengetahuan yang menyangkut perkembangan akhlak dan kerohanian manusia.
Al Qur’aanul ‘Azhiim (Al Qur’aan Agung) berarti bahwa meski pun Surah ini terkenal sebagai Ummul Kitaab dan Ummul Qur’aan, namun tetap merupakan bagian Kitab Suci itu dan bukan seperti anggapan-salah sementara orang, bahwa ia terpisah darinya. As Sab‘ul Matsaanii (Tujuh Ayat yang sering diulang) berarti, ketujuh ayat pendek Surah ini, sungguh-sungguh memenuhi segala keperluan rohani manusia. Nama itu berarti pula bahwa, Surah ini harus diulang dalam tiap-tiap rakaat shalat. Ummul Kitaab (Ibu Kitab) berarti bahwa do’a dalam surah ini, menjadi sebab diwahyukannya ajaran Al Qur’aan. Asy Syifaa (Penyembuh) berarti bahwa Surah ini, memberi pengobatan terhadap segala keraguan dan syak yang biasa timbul dalam hati manusia.
Ar Ruqyah (Jimat atau Mantera) berarti bahwa, Surah ini bukan hanya do’a untuk menghindarkan penyakit, tetapi juga memberi perlindungan terhadap syaitan dan pengikut-pengikutnya, dan menguatkan hati manusia untuk melawan mereka. Al Kanz (Khazanah) mengandung arti bahwa Surah ini suatu khazanah ilmu yang tiada habis-habisnya.

Kekerasan sebahagian ajaran islam?





masih ingatkah demonstrasi Bersih? Nik Aziz kata perbuatan demonstrasi itu adalah halal, tapi malangnya demonstrasi itu berakhir dengan keganasan dan membawa kerosakan yang mengakibatkan kerugian dan kecederaan. 

Melibatkan diri dalam demonstrasi itu adakah terdapat dalam ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi SAW? cuba renungilah Hadis dan ayat suci di bawah ini


"sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang berbuat kerosakan." (28:77)


Nabi Muhammad SAW membawa ajaran Islam dengan pesan damai bagi umat manusia, serta cinta kasih untuk sesama. Beliau SAW bersabda:

اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِه وَيَدِه

Seorang muslim adalah orang yang membawa keselamatan/kedamaian bagi orang-orang muslim (umat) lain dari perkataannya dan perbuatannya”
(H.R. Bukhari & Muslim, Terj. Riadhus Shalihin p. 197).

jadi fikirkanlah, adakah perbuatan seperti demonstrasi yang berakhir keganasan   adalah pengikut Nabi SAW?