Friday, 16 November 2012
KONSEP KEADILAN ISLAM
Saya kini akan mengutip beberapa contoh prinsip Islam yang penting yang mungkin perlu penekanan-penekanan khusus di dunia hari ini. Perhatian awal ajaran Islam pada persamaan dan keadilan. Agama-agama lain tidak menyajikan pengarahan yang mantap mengenai peraturan keadilan dan persamaan, dan bahkan tidak menyebutkan hal ini sama sekali, yaitu dalam istilah-istilah secara sederhana yang dapat diterapkan pada kita sekarang. Sebenarnya, sebagian dari ajaran-ajaran ini tampak bertentangan secara langsung dengan akal dan perasaan kita masa kini, dan seseorang tidak dapat menyimpulkan kecuali bahwa ajaran-ajaran ini telah rusak atau hanya dimaksudkan untuk tempat dan zaman tertentu. Sebagaimana ajaran Yahudi mengemukakan Tuhan hanya sebagai Tuhan bangsa Israel dengan mengecualikan semua manusia lainnya – maka tak heran, bahwa hal itu bahkan tidak sesuai dengan persoalan pokok Hak Asasi Manusia juga.
Untuk Hindu tampak sepenuhnya bahwa tidak hanya berlawanan dengan non Hindu tapi juga kepada kaum Hindu dari kasta rendah, mempersempit lingkup kasih sayang Tuhan kepada kelompok yang lebih kecil dari umat manusia. Ajaran Hindu menetapkan:
“Jika seorang Brahmana tak dapat mengembalikan pinjaman kepada seseorang dari kasta yang lebih rendah, yang lain tak punya hak menuntut pengembaliannya. Tapi jika seseorang dari kasta yang rendah tak dapat mengembalikan pinjaman yang diambil dari seorang Brahmana, dia akan dipekerjakan sebagai buruh untuk Brahmana itu hingga waktunya dia dapat membayar kembali hutang sepenuhnya.” (Manu Smriti 10:35).
Lagi, dalam ajaran Yahudi kita gagal untuk melacak satu konsep keadilan terhadap seorang musuh. Dikatakan:
“Dan Tuhan, Allah-mu, telah menyerahkan mereka kepadamu, sehingga engkau memukul mereka kalah, maka haruslah kamu menumpas mereka sama sekali. Janganlah engkau mengadakan perjanjian dengan mereka dan janganlah engkau mengasihani mereka“.(Ulangan 7:2)
Saya kini akan, dengan cara perbandingan, mengutip beberapa contoh ajaran Islam dalam bidang yang sama. Al-Qur’an memerintahkan – dan saya kutip:
Dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kalian menetapkannya dengan adil. (QS 4:59).
Jadilah kalian penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun bertentangan dengan diri kalian sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabat kalian. (QS 4:136).
Dan janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Sebab adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS 5:9).
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tapi jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS 2:191).
Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS 8:62).
Contoh lain saya ingin mengutip ajaran-ajaran Islam yang abadi berkenaan dengan pembalasan (hukuman) dan pemaafan (pengampunan). Ketika kita membandingkan ajaran-ajaran Islam dalam lingkup ini dengan apa yang ada pada agama-agama lain, kita seketika didorong oleh perintah Perjanjian Lama:
“Mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki“ (Keluaran 21:24).
Tanpa keraguan, penekanan pada pembalasan tidak hanya menyebabkan keheranan, melainkan juga menyedihkan hati kita. Bagaimanapun, saya mengutip contoh ini bukan untuk mengritik ajaran [agama] lain, tapi untuk menunjukkan bahwa, ketika memandang dengan cahaya prinsip Al-Qur’an, bahkan ukuran-ukuran yang begitu drastis kadang-kadang dibenarkan. Al-Qur’an, dengan demikian membantu kita dalam menyikapi pertentangan ajaran-ajaran dari agama-agama lain dengan jiwa simpati dan pengertian, yang juga merupakan ciri khas Islam yang istimewa. Menurut Al-Qur’an, penghapusan hukuman sepenuhnya hanya diputuskan untuk menghadapi keperluan-keperluan khusus pada masanya. Ini perlu untuk memberi hati kepada Bani Israil untuk membuat mereka berani menuntut hak-hak mereka sesudah mereka tetap menjadi korban dan diperbudak dalam masa yang panjang, dan sebagai hasilnya, menjadi penakut dan berubah menjadi kaum yang rendah diri. Secara nyata, dalam suasana demikian, akan tidak tepat untuk menekankan pemaafan, sebab itu hanya akan menjadikan Bani Israil tenggelam lebih dalam pada keadaan mereka dan tidak memberikan mereka rasa percaya diri dan keberanian untuk memutuskan ikatan belenggu keputus asaan. Ajaran ini, oleh sebab itu, benar dan tepat dalam suasana yang diperlukan, dan sungguh diberikan oleh Tuhan Yang Maha Bijaksana. Sebaliknya, ketika kita renungkan Perjanjian Baru, kita jumpai bahwa ada pertentangan dengan Kitab Suci sebelumnya, ia menekankan pengampunan sampai suatu batas yang secara total menghilangkan hak Bani Israil untuk melakukan pembalasan apa pun juga. Dasar yang sebenarnya untuk hal ini adalah bahwa pengamalan ajaran terdahulu selama rentang masa yang panjang, Bani Israil telah menjadi keras hati dan ganas, dan ini hanya dapat diobati dengan mencabut hingga waktu tertentu hak mereka untuk melakukan pembalasan. Inilah sebabnya Nabi Isa (Yesus) memperingatkan mereka:
“Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. “(Matius 5:38-40).
Islam menetapkan dua ajaran yang saling berlawanan ini sebagai saling melengkapi, masing-masing sesuai untuk keadaan dan suasana zaman yang ditetapkan, dan oleh sebab itu, tidak dapat mendakwakan sebagai universal atau abadi. Dan hal ini sepenuhnya memberikan dalil, karena manusia masih akan berkembang maju melalui tahap-tahap perkembangan terdahulu dan belum menjadi satu kaum yang dapat dibebani satu hukum syariat terakhir dan universal. Kita percaya bahwa Islam adalah syariat terakhir itu dan menyajikan satu ajaran yang tidak dipengaruhi oleh tempat atau waktu yang kenyataannya dilukiskan oleh ajarannya sebagai bahan pertimbangan (renungan). Al-Qur’an mengatakan:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah hukuman yang setimpal, tetapi barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik [kepada orang yang berbuat jahat] maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS:42:41).
Maka Islam menggabungkan unsur-unsur terbaik kedua ajaran terdahulu, dengan tambahan penting bahwa pemaafan (pengampunan) diberikan jika menghasilkan suatu perubahan dan perbaikan orang yang bersalah itu, sehingga menjadi tujuan yang benar. Jika tidak, maka hukuman perlu dilakukan, tapi tidak melebihi batas kesalahan [yang dia lakukan]. Sesungguhnya, petunjuk ini sepenuhnya sesuai dengan fitrat manusia dan dapat diamalkan hari ini seperti juga ketika diwahyukan empat belas abad yang lampau.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment