Monday, 31 December 2012
Kebebasan Beragama: Hak asasi setiap Manusia
Dasar dari semua hak asasi manusia
Dewasa ini kita sering dan banyak membicarakan hak-hak asasi manusia. Hak asasi manusia yang paling penting, yang tanpa itu semua hak lainnya tiada artinya, ialah kemerdekaan kepercayaan (berkeyakinan) dan hati sanubari. Perhatikanlah apa yang dikatakan oleh Al-Qur’an Suci dan dua tiga contoh yang diperlihatkan oleh Rasulullah saw.
Al-Qur’an Suci menerangkan: “La ikraaha fi-d-din, qad tabayana-r-rusydu mina-l-ghayyi”.
Artinya, Tiada paksaan dalam agama; sesungguhnya jalan yang lurus telah dibedakan dari kesesatan” (2:257).
Maksudnya, telah dinyatakan, bahwa manusia dengan mempergunakan akal anugerah Tuhan mampu memperbedakan kesesatan dari petunjuk; maka oleh karena itu sama sekali tidak perlu untuk mengadakan paksaan dalam urusan agama. Jadi segala macam paksaan dalam urusan agama itu sia-sia, sebab tiada suatu kekerasan pun yang dapat memaksa seseorang untuk beriman. Mungkin dalam keadaan tertentu ada orang yang dapat dipaksa untuk mengatakan, bahwa ia percaya, padahal dalam hatinya ia tidak percaya, tetapi tiada seorang pun yang dapat dipaksa untuk beriman. Hati sanubari itu tidak dapat dipaksa.
Paksaan tidak dapat dipakai
“Wa lau syaa rabbuka laamana man fi-l-ardhi kulluhum jami’a; afaanta tukrihu-n-naasa hatta yakunu mu’minin”. Artinya : “Dan bila Tuhanmu menghendaki, manusia di bumi semuanya tentu akan beriman. Apakah kini engkau akan memberati dirimu sehingga mereka menjadi orang-orang yang beriman”? (10:100).
Hal itu menetapkan suatu pokok penting, bahwa jika Tuhan, Yang berkuasa atas hati dan alam pikiran manusia, tidak memaksakan kehendak-Nya agar manusia beriman, tetapi telah membiarkannya bebas dalam memilih, maka apakah engkau ya Rasulullah, atau orang lain mempunyai prakasa sendiri untuk memaksa orang untuk beriman? Hal ini berarti, bahwa paksaan itu adalah usaha yang sia-sia belaka.
“Wa quli-l-haqqu min rabbikum; faman syaa fal-yu’min, wa man syaa fa-l-yakfur”. Artinya :
“Dan katakanlah : Ini kebenaran dari Tuhanmu; maka siapa mau beriman, berimanlah, dan siapa mau, kafirlah. (18: 30).
Semua muslim harus bertabligh
Amanat harus disampaikan, sebab tabligh itu kewajiban Rasulullah saw. dan oleh karena itu adalah kewajiban kaum Muslimin juga untuk menyampaikan “amanat suci” itu seluas-luasnya. Untuk itu pun kita ditunjuki: “Ud’u ila sabiili rabbika bi-l-hikmati wal mau’izati-l-hasanati wa jadilhum billati hiya ahsan; inna rabbaka huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi wa huwa a’lamu bi-l-muhtadin”. Artinya “Panggilah kepada jalan Tuhanmu dengan kebijkasanaan dan anjuran yang baik dan bermujadalahlah dengan mereka secara baik. Sesungguhnya Tuhanmu tahu benar siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia mengetahui mereka yang memperoleh petunjuk” (16:126).
Seperti telah saya katakan tadi, peperangan dipaksakan kepada Rasulullah saw. dalam beberapa tahun dari masa kenabian beliau sesudah beliau berhijrah ke Medinah. Masa itu penuh dengan gerakan-gerakan permusuhan dan pertempuran serta segala macam perlampauan batas dan pelanggaran dari pihak lawan. Dan pada kejadian-kejadian itu mungkin ada orang dari pihak lawan, yang mencahari perlindungan pada Rasulullah saw. Kepada beliau dikatakan : “Wa in ahadun minal musyrikiinastajaaraka, faajirhu hatta yasma’a kalaama-l-laahi; tsumma ablighhu ma’manahu dzalaalika biannahum qaumun la ya’lamun” : Artinya “Dan bila ada orang dari kaum musyrik mencahari perlindungan pada kamu, lindungilah dia sehingga ia dapat mendengar kalamullah; kemudian antarkanlah dia ketempat yang aman baginya; hal itu disebabkan mereka itu orang-orang yang tidak berpengetahuan” (9:6).
Dalam keadaan demikian ada kesempatan untuk usaha memaksa si pelarian itu untuk beriman atau mengadakan tekanan atasnya. tetapi petunjuk yang diberikan adalah : “Jika salah seorang musyrik mencahari perlindungan padamu, lindungilah dia sehingga ia dapat mendengar Kalamullah” dan perhatikan kelanjutannya, “Kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya, sebab mereka itu orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan”. Yang diizinkan paling jauh ialah “menyampaikan kalamullah kepadanya”. Kewajiban sesudah itu ialah mengantarkannya ketempat yang aman baginya!
Sekarang, seperti yang saya janjikan, akan saya sampaikan dua tiga contoh tentang pelaksanaan petunjuk itu.
Agama adalah soal hati nurani
Abu Jahal adalah musuh Rasulullah saw. yang paling gigih di Mekkah dan ia telah berbuat aniaya terhadap beliau dengan berbagai cara. (Pada pertempuran pertama di Badar ia gugur). Anaknya — Ikramah — yang telah dibesarkan dalam suasana permusuhan demikian, adalah prajurit ulung dan kemudian menjadi panglima yang termasyhur. Atas usahanya, kemenangan dapat diraih dan direbut dari tangan angkatan bersenjata Muslim pada Pertempuran Uhud yang terkenal itu, sehingga keadaan berubah dan hampir-hampir menjadi kekalahan mutlak bagi pasukan-pasukan Muslim. Pada waktu kemudian, ketika Mekkah terpaksa membuka pintu-pintu gerbangnya untuk menerima Rasulullah saw. maka pada saat itu Ikramah yang didorong oleh rasa cemas dan putus-asa, bahwa baginya di Mekkah sudah tiada hari depan yang memberi harapan lagi, telah berangkat meninggalkan kota yang sangat dicintainya itu dan menuju ke pantai laut dengan niat meninggalkan Mekkah dan naik perahu menuju luar negeri, mungkin ke Abyssinia.
Istrinya menghadap Rasulullah saw. dan menerangkan niat suaminya itu dan menanyakan, apakah Ikramah, yang sangat mencintai mekkah, dapat memperoleh jaminan keselamatan baginya, jika ia kembali dan diizinkan menetap dengan aman damai sebagai warga-kota yang tetap berpegang kepada kepercayaan agama nenek-moyangnya. Rasulullah saw. bersabda, “Memang demikian, di daerah yang ada dalam kekuasaanku ada keamanan dan perlindungan bagi setiap orang yang menjadi penghuninya”. “Tetapi ia sangat keras kepala, ya Rasulullah, dan tidak mau melepaskan kepercayaanya yang lama”. Rasulullah saw. bersabda, “Agama adalah urusan hati sanubari dan aku tidak diizinkan melakukan paksaan untuk memasukkan siapapun ke dalam agama Islam. Ia bebas tinggal di Mekkah dan beribadah menurut kepercayaannya”. Wanita itu minta diri dan pergi ke pantai untuk menyusul suaminya dan menyampaikan pernyataan tegas tiada paksaan dalam Islam, yang diberikan Rasulullah saw. sendiri. Ikramah menjawab, “Aku tidak percaya”. Istrinya berkata lagi, “Engkau dapat menghadap Rasulullah dan menanyakan sendiri tentang kebenaran berita yang kubawa”. Maka Ikramah datang menghadap dan bertanya kepada Rasulullah saw., “Apakah benar berita yang disampaikan kepadaku, bahwa aku dapat hidup dengan aman tentram di Mekkah dan tetap berpegang kepada kepercayaan dan agamaku sendiri?” Rasulullah saw. menjawab, bahwa berita itu memang benar. Atas jawaban itu iman masuk ke dalam hati Ikramah dan dengan sepenuh hati dinyatakannya: “Asyhadu alla ilaaha illa-l-lah waasyhadu anna muhammada-r-rasulullah”.
Islam tidak disiarkan dengan pedang
Peristiwa kedua terjadi di luar Medinah. Rasulullah saw. beserta para sahabat ada dalam perjalanan pulang dari suatu perjalanan jauh dan dalam terik matahari lepas tengah hari. Seluruh rombongan mengambil istirahat dalam keteduhan pepohonan. Rasulullah saw. menggantungkan pedang beliau pada dahan pohon dan berbaring di bawah pohon itu.
Ketika beliau sudah tidur, ada orang yang diam-diam mengikuti rombongan itu datang mengendap-endap mendekati beliau. Pedang beliau diambilnya dan dengan tiba-tiba datang menyergap sambil memegang pedang terhunus itu. Rasulullah saw. tersentak bangun dan segera mengetahui, bahwa beliau ada dalam keadaan yang sangat berbahaya. Orang itu berkata, “Siapa sekarang yang dapat menyelamatkanmu?” Dengan tenang Rasulullah saw. menjawab, “ALLAH”. Sungguh-sungguh keteguhan keimanan kepada Tuhan yang tiada taranya. Ketika beliau mengatakan “Allah” orang itu terkesiap dan pedang pun jatuh dari tangannya. Rasulullah saw. bangkit, meraih pedang beliau dan bersabda, “Siapa sekarang yang dapat menolong?” Dengan gemetar orang itu menjawab, “Tiada seorangpun”.
Sementara itu orang-orang di sekitar itu telah berkumpul. Rasulullah saw. menceriterakan apa yang telah terjadi. Beliau kemudian bertanya, apakah orang ini mau membaca “kalimah syahadat”, yang dijawab orang itu dengan, “Tidak, tetapi aku berjanji tidak akan mengangkat senjata lagi terhadap tuan”. Rasulullah saw. membebaskan orang itu. Padahal itu adalah kesempatan baik, orang itu atas perbuatannya layak dihukum mati. Ia dapat memperlakukan dengan segala macam paksaan. Ia diberi kesempatan untuk masuk Islam dan menyelamatkan diri, tetapi ia telah menolaknya. Meskipun demikian Rasulullah saw. memberikan ampun dan ia pulang kembali kepada kaumnya dengan tidak kurang sesuatu apa pun, tanpa gangguan, bebas dan merdeka.
Penulis: Sir Muhammad Zafrullah Khan
Penterjemah: Sukri Barmawi
KATAKOMBE DAN GUA KAUM KRISTEN
Dalam Kitab Suci Al-Qur’an Surah Al-Kahfi, ada uraian mengenai Ashabul Kahfi (penghuni gua); orang-orang yang dizalimi karena iman mereka kepada Tuhan dan oleh sebab itu mencari perlindungan dalam gua-gua. Ini adalah kaum Kristen yang asalnya bertauhid, dengan hubungan mereka yang lebih dekat dengan Yahudi dari pada dengan sesama mereka masa kini.
Sunday, 30 December 2012
SURAH MUNAFIKUN AYAT 1-4
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (wahai Muhammad), mereka berkata: Kami mengakui bahawa sesungguhnya engkau sebenar-benarnya Rasul Allah dan Allah sememangnya mengetahui bahawa engkau ialah RasulNya, serta Allah menyaksikan bahawa sesungguhnya pengakuan mereka adalah dusta.
Mereka menjadikan sumpahnya (atau akuannya) sebagai perisai (untuk menyelamatkan dirinya dan harta bendanya daripada dibunuh atau dirampas), lalu mereka menghalang (dirinya dan orang lain) dari menurut jalan Allah. Sesungguhnya amatlah buruk apa yang mereka telah kerjakan.
(Perbuatan buruk) yang demikian kerana mereka mengaku beriman (di hadapan orang-orang Islam) kemudian mereka tetap kafir sesama sendiri, maka dengan sebab itu dimeteraikan atas hati mereka; lalu mereka tidak dapat memahami (yang mana benar dan yang mana salah).
Dan apabila engkau melihat mereka, engkau tertarik hati oleh tubuh badan mereka (dan kelakuannya) dan apabila mereka berkata-kata, engkau juga (tertarik hati) mendengar tutur katanya (kerana manis dan petah sekalipun kosong). (Dalam pada itu) mereka adalah seperti batang-batang kayu yang tersandar (tidak terpakai kerana tidak ada padanya kekuatan yang dikehendaki). Mereka (kerana merasai bersalah, sentiasa dalam keadaan cemas sehingga) menyangka tiap-tiap jeritan (atau riuh rendah yang mereka dengar) adalah untuk membahayakan mereka. Mereka itulah musuh yang sebenar-benarnya maka berjaga-jagalah engkau terhadap mereka. Semoga Allah membinasa dan menyingkirkan mereka dari rahmatNya. (Pelik sungguh!) Bagaimana mereka dipalingkan (oleh hawa nafsunya dari kebenaran)? surah munafikun 63: 1-4)
KETENTUAN MENGKAFIRKAN ORANG Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Bangsa Indonesia sedang dihadapkan dengan permasalahan konflik atas nama agama, fenomena saling
tuduh dalam laku keagamaan dengan istilah yang sensitif dan memancing api
kemarahan muslim awam. Sehingga dengan bertindak dalam prosentase emosi lebih
tinggi tanpa menyentuh sisi keilmuan secara mendalam, maka terjadilah saling
tuduh, atau senantiasa menuduh disusul dengan kezaliman fisik, mental dan
lainnya. Isu sensitif dengan istilah kafir, sesat, murtad menjadi buah bibir
dalam kalangan muslim umum. Berdasar pemukiran itu semua, saya berusaha
menampilkan dalam blig ini nasehat dari seorang Mujaddid salaf mengenai hal itu.
Inilah nasehat beliau rh: "Memvonis kafir ada dua macam: At-Takfir al-Muthlaq
(umum): Yaitu memvonis kafir terhadap perkataan atau perbuatan atau keyakinan
yang bertentangan dengan ushulul Islam (prinsip dasar Islam). At-Takfir
al-Mu'ayyan : Yaitu memvonis kafir terhadap individu tertentu karena dia
melakukan suatu perkara yang bertentangan dengan Islam setelah syarat-syarat
vonis kafir terhadapnya terpenuhi dan tidak ada mawani' (penghalang) untuk vonis
tersebut. Ada dua syarat untuk menta'yin (memvonis) kafir:
Syarat Pertama: Individu tertentu (orang yang divonis kafir) tersebut mengucapkan suatu ucapan yang dapat memvonisnya kafir dan dia memang bermaksud demikian Syarat ini perlu, sebab terkadang sebagian lafazh mengandung banyak arti dan barangkali saja orang tersebut tidak memaksudkan arti yang memvonisnya kafir itu, atau dia mengucapkan suatu ucapan yang memang dapat memvonis kafir terhadapnya namun dia tidak bermaksud demikian. Diantara contohnya: firman Allah Ta'ala: artinya: ".... janganlah kamu katakan (Muhammad): 'Raa'ina'.." (Al-Baqarah: 104)
Syarat Pertama: Individu tertentu (orang yang divonis kafir) tersebut mengucapkan suatu ucapan yang dapat memvonisnya kafir dan dia memang bermaksud demikian Syarat ini perlu, sebab terkadang sebagian lafazh mengandung banyak arti dan barangkali saja orang tersebut tidak memaksudkan arti yang memvonisnya kafir itu, atau dia mengucapkan suatu ucapan yang memang dapat memvonis kafir terhadapnya namun dia tidak bermaksud demikian. Diantara contohnya: firman Allah Ta'ala: artinya: ".... janganlah kamu katakan (Muhammad): 'Raa'ina'.." (Al-Baqarah: 104)
Ucapan tersebut sering
dilontarkan oleh orang-orang Yahudi untuk menyakiti hati Nabi Shallallaahu
'alaihi wa sallam , sedangkan kaum Muslimin ketika mengucapkan ungkapan tersebut
sama sekali tidak bermaksud demikian, namun begitu Allah tetap melarang mereka
mengucapkannya tetapi tidak memvonis kafir terhadap mereka saat mereka
mengucapkannya. Arti dari raa'ina di kalangan orang-orang Yahudi menunjukkan
makna ketololan (bahasa Ibrani). Kaidah yang berlaku dalam hal ini: "Konsekuensi
dari suatu ucapan (yang dapat memvonis kafir) tidak dapat dijadikan pegangan
untuk memvonis kafir kecuali bila orang yang divonis kafir tersebut (
al-Mu'ayyan) komitmen dengan ucapan itu". Syarat Kedua: Tegaknya hujjah Diantara
dalil-dalilnya adalah sebagai berikut: Firman Allah: "Dan tidaklah Kami mengazab
(suatu kaum) hingga Kami utus (kepada mereka) seorang Rasul". (al-Isra': 15),
dan firman Allah : "Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (al-Mulk: 11) Syaikhul Islam, Ibnu
Taimiyah Rahimahullaah berkata: "Tidak seorangpun yang berhak memvonis kafir
terhadap siapa pun dari kaum Muslimin meskipun dia bersalah dan keliru hingga
dijelaskan kepadanya dengan hujjah yang kuat dan jelas. Orang yang telah mantap
keislamannya secara yakin, maka hal itu tidak bisa dihapus oleh keraguan
terhadapnya bahkan tidak akan hapus kecuali telah dijelaskan kepadanya hujjah
yang
ii
memuaskan dan tidak ada lagi syubhat yang berkaitan dengannya". (Lihat: Al-Fataawa, XII, hal. 466). Firman Allah: "maka berilah peringatan jika peringatan itu bermanfaat". Al-Hasan al-Bashri berkata (berkaitan dengan makna ayat tersebut): "sebagai peringatan bagi seorang Mukmin dan hujjah atas orang kafir". (lihat: Tafsir al-Qurthubi, XX/20). Dalam ayat tersebut kata "an-Naf'u" (manfaat) dipaparkan secara mutlak, yakni tanpa ada kaitan dengan sesuatu. Firman Allah: "orang yang takut (kepada azab Allah) akan mengingatnya/ menjadikannya sebagai pelajaran dan orang yang sengsara akan menjauhinya". Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah Rahimahullaah berkata: "Tidak tersisa satupun dari fauj (rombongan manusia) yang masuk neraka kecuali mereka dahulunya telah didatangi oleh seorang nadzir (seorang Nabi/Rasul yang memberikan peringatan kepada mereka); jadi, orang yang tidak didatangi oleh nadzir tersebut maka dia tidak masuk neraka".
Mawaani' (Hal-Hal yang mencegah dan menghalangi) dalam memvonis kafir terhadap orang per-orang/individu tertentu Pertama; Faktor Kesalahan Kesalahan dalam masalah-masalah 'ilmiyyah (teoritis) atau masalah 'amaliyah (praktis) yang terjadi merupakan kesalahan yang terampuni selama belum dijelaskan hujjah (yang jelas dan kuat) kepada pelakunya. Hal ini dapat terjadi terhadap dua kelompok manusia: Kelompok Pertama, Seorang Mujtahid yang salah dalam memberikan vonis hukum terhadap suatu masalah. Syaikhul Islam berkata: "Seorang Mujtahid yang salah mendapatkan satu pahala sebab maksudnya adalah untuk mencari kebenaran sesuai dengan ke-mampuannya. Jadi, dia tidak memberikan suatu vonis hukum kecuali berdasarkan dalil…". (Lihat: al-Fataawa, XX/30-31). Allah berfirman: "Wahai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah". Kelompok kedua; yaitu seorang yang tidak memberikan komentar hukum apa pun terhadap suatu masalah (abstain) Maksudnya adalah orang yang tidak mampu untuk menemukan hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut sehingga membuat dia tidak memberikan vonis hukum, baik menafikan atau menetapkan. Jadi, tidak boleh memvonis kafir terhadap orang seperti ini seba-gaimana tidak bolehnya memvonis kafir terhadap seorang Mujtahid yang salah. Diantara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
1. Ayat terakhir surat al-Baqarah: "Allah tidak akan membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya..." (al-Baqarah: 286)
2. Firman Allah Ta'ala: "dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu…". (al-Ahzaab; 5)
iii
3. Hadits dari Nabi n bahwasanya beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah telah meletakkan (tidak menjadikan sebagai beban/taklif sehingga divonis dengan suatu hukum-red) dari umatku; kesalahan, kelupaan dan hal yang dilakukan karena dipaksa".
4. Bahwa Allah memerintahkan agar bertakwa kepadaNya sesuai dengan kemampuan dalam firmanNya: "maka bertakwalah kalian sesuai dengan kemampuan kalian".
5. Al-Ijma': Syaikhul Islam berkata: "Para shahabat dan seluruh imam kaum Muslimin telah bersepakat secara ijma' bahwa tidak semua orang yang menge-mukakan suatu pendapat yang salah, maka orang tersebut kemudian divonis kafir karenanya meskipun dia menyelisihi as-Sunnah. Jadi, memvonis kafir terhadap setiap orang yang bersalah bertentangan dengan ijma' ". (lihat: Majmu' al-Fataawa: VII/685)
6. Qiyas al-Awla (analogi prioritas): hal ini lantaran seorang Mujtahid yang bersalah lebih utama untuk diterima 'uzurnya ketimbang seorang Jahil yang tidak mencari ilmu (syar'i) . Syaikhul Islam berkata: "tidak diragukan lagi bahwa kesalahan dalam ilmu yang diperlukan kajian secara mendetail di dalamnya adalah dimaafkan bagi umat ini, sebab bila tidak demikian niscaya mayoritas orang-orang utama di kalangan umat ini akan binasa". (lihat: Majmu' al-Fataawa, 20/165-166).
Syaikhul Islam berkata lagi : "Meskipun Ulama Salaf berbeda pendapat dalam banyak masalah namun tak seorangpun dari mereka yang bersaksi atas kekufuran, kefasikan bahkan kemaksiatan yang diperbuat oleh sebagian yang lainnya". Kedua; Faktor Kebodohan/ketidak-tahuan
Kebodohan/ketidaktahuan merupakan salah satu maani' (penghalang) dalam memvonis kafir terhadap orang per-orang sebab keimanan seseorang erat hubungannya dengan pengetahuan (ilmu) sedangkan mengetahui sesuatu yang diimani merupakan syarat dari ke-imanan kepadanya (sesuatu tersebut). Firman Allah Ta'ala: "…Dan tidaklah Kami mengazab (suatu kaum) hingga Kami mengutus kepada mereka seorang Rasul". (al-Isra': 15) Bahwa ketidaktahuan tentang sebagian masalah aqidah terjadi juga terhadap sebagian shahabat, meskipun demikian Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak memvonis kafir mereka bahkan tidak memvonis mereka berdosa atas perbuatan tersebut. Hadits: "seorang laki-laki telah berbuat boros terhadap dirinya, lalu tatkala maut menjemputnya dia berwasiat kepada anak-anaknya seraya berucap: 'bila aku mati maka bakarlah aku, tumbuklah (abunya) dan taburkanlah dibawah deru angin laut…". (HR. Muslim). Dalam beralasan dengan kebodohan/ketidaktahuan tersebut perlu diperhatikan perbedaan kondisi , tempat dan waktu mereka dilihat dari sisi signifikasi tersebar atau tidaknya pengetahuan tentang hal tersebut. Begitu juga, perlu diperhatikan jenis sunnah
iv
Rasul yang diingkari oleh si Jahil; apakah termasuk jenis yang sudah diketahui oleh umum secara luas alias tak seorangpun yang tidak mengetahuinya?. Ketiga; Faktor Kelemahan/Ketidak-mampuan Seseorang tidak akan dibebani syara' bila tidak mampu, Allah berfir-man: "Allah tidak akan membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan kemampuan-nya". Syaikhul Islam berkata: "barangsiapa yang meninggalkan sebagian keimanan yang wajib (diketahui olehnya) disebabkan ketidak mampuannya; baik hal itu karena dia tidak mendapatkan pengetahuan/ilmu tentang hal tersebut, seperti risalah tersebut belum sampai kepadanya atau ketidakmampuannya untuk melakukan hal itu maka dia tidak diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya dan hal itu bagi dirinya bukan merupakan keimanan dan ajaran agama yang wajib atasnya meskipun pada prinsipnya hal itu adalah bagian dari keimanan dan ajaran agama. Kedudukan mereka dalam hal ini seperti kedudukan orang yang sakit, orang yang dalam keadaan takut, orang yang sedang haidh dan seluruh ahlul a'dzaar (orang-orang yang memiliki 'udzur syar'i) yang tidak mampu menyempurnakan shalat dimana shalat yang mereka lakukan adalah shah. Contohnya: Kisah tentang kondisi salah seorang yang beriman dari keluarga Fir'aun yang hidup di tengah-tengah kaum Fir'aun dan isteri Fir'aun sendiri. Demikian pula dengan kisah nabi Yusuf ash-Shiddiq p dengan penduduk Mesir yang masih kafir se-hingga beliau tidak dapat menjalankan seluruh apa yang diketahuinya dari Dienul Islam. Keempat, Faktor Pemaksaan
1. Adanya pemaksaan merupakan salah satu mawaani' pemvonisan kafir terhadap orang per-orang; hal ini didukung oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam serta perkataan ulama Salaf.
2. Maksud pemaksaan tersebut adalah sesuatu yang dapat mengakibat-kan terjadinya pembunuhan, pemukulan, penahanan atau perampasan terhadap harta yang amat diperlukan oleh korban (orang yang dipaksa).
Diantaranya adalah firman Allah Ta'ala: "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)." (An-Nahl: 106). Ini merupakan Maani' yang mu'tabar (yang dijadikan acuan) oleh ulama Salaf ; sebagaimana diriwayatkan dari al-Hasan bahwa dia berkata: "at-Taqiyyah (berlindung dibalik kekufuran sedangkan hati tetap tenang beriman-red) berlaku hingga Hari Kiamat". Sedangkan melakukan perbuatan-perbuatan kekufuran atau mengucapkan perkataan kufur demi untuk mendapatkan kedudukan atau harta tidak dianggap sebagai suatu pemaksaan." (Disarikan dari Majalah al-furqan oleh Abu Shofiyyah )
ii
memuaskan dan tidak ada lagi syubhat yang berkaitan dengannya". (Lihat: Al-Fataawa, XII, hal. 466). Firman Allah: "maka berilah peringatan jika peringatan itu bermanfaat". Al-Hasan al-Bashri berkata (berkaitan dengan makna ayat tersebut): "sebagai peringatan bagi seorang Mukmin dan hujjah atas orang kafir". (lihat: Tafsir al-Qurthubi, XX/20). Dalam ayat tersebut kata "an-Naf'u" (manfaat) dipaparkan secara mutlak, yakni tanpa ada kaitan dengan sesuatu. Firman Allah: "orang yang takut (kepada azab Allah) akan mengingatnya/ menjadikannya sebagai pelajaran dan orang yang sengsara akan menjauhinya". Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah Rahimahullaah berkata: "Tidak tersisa satupun dari fauj (rombongan manusia) yang masuk neraka kecuali mereka dahulunya telah didatangi oleh seorang nadzir (seorang Nabi/Rasul yang memberikan peringatan kepada mereka); jadi, orang yang tidak didatangi oleh nadzir tersebut maka dia tidak masuk neraka".
Mawaani' (Hal-Hal yang mencegah dan menghalangi) dalam memvonis kafir terhadap orang per-orang/individu tertentu Pertama; Faktor Kesalahan Kesalahan dalam masalah-masalah 'ilmiyyah (teoritis) atau masalah 'amaliyah (praktis) yang terjadi merupakan kesalahan yang terampuni selama belum dijelaskan hujjah (yang jelas dan kuat) kepada pelakunya. Hal ini dapat terjadi terhadap dua kelompok manusia: Kelompok Pertama, Seorang Mujtahid yang salah dalam memberikan vonis hukum terhadap suatu masalah. Syaikhul Islam berkata: "Seorang Mujtahid yang salah mendapatkan satu pahala sebab maksudnya adalah untuk mencari kebenaran sesuai dengan ke-mampuannya. Jadi, dia tidak memberikan suatu vonis hukum kecuali berdasarkan dalil…". (Lihat: al-Fataawa, XX/30-31). Allah berfirman: "Wahai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah". Kelompok kedua; yaitu seorang yang tidak memberikan komentar hukum apa pun terhadap suatu masalah (abstain) Maksudnya adalah orang yang tidak mampu untuk menemukan hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut sehingga membuat dia tidak memberikan vonis hukum, baik menafikan atau menetapkan. Jadi, tidak boleh memvonis kafir terhadap orang seperti ini seba-gaimana tidak bolehnya memvonis kafir terhadap seorang Mujtahid yang salah. Diantara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
1. Ayat terakhir surat al-Baqarah: "Allah tidak akan membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya..." (al-Baqarah: 286)
2. Firman Allah Ta'ala: "dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu…". (al-Ahzaab; 5)
iii
3. Hadits dari Nabi n bahwasanya beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah telah meletakkan (tidak menjadikan sebagai beban/taklif sehingga divonis dengan suatu hukum-red) dari umatku; kesalahan, kelupaan dan hal yang dilakukan karena dipaksa".
4. Bahwa Allah memerintahkan agar bertakwa kepadaNya sesuai dengan kemampuan dalam firmanNya: "maka bertakwalah kalian sesuai dengan kemampuan kalian".
5. Al-Ijma': Syaikhul Islam berkata: "Para shahabat dan seluruh imam kaum Muslimin telah bersepakat secara ijma' bahwa tidak semua orang yang menge-mukakan suatu pendapat yang salah, maka orang tersebut kemudian divonis kafir karenanya meskipun dia menyelisihi as-Sunnah. Jadi, memvonis kafir terhadap setiap orang yang bersalah bertentangan dengan ijma' ". (lihat: Majmu' al-Fataawa: VII/685)
6. Qiyas al-Awla (analogi prioritas): hal ini lantaran seorang Mujtahid yang bersalah lebih utama untuk diterima 'uzurnya ketimbang seorang Jahil yang tidak mencari ilmu (syar'i) . Syaikhul Islam berkata: "tidak diragukan lagi bahwa kesalahan dalam ilmu yang diperlukan kajian secara mendetail di dalamnya adalah dimaafkan bagi umat ini, sebab bila tidak demikian niscaya mayoritas orang-orang utama di kalangan umat ini akan binasa". (lihat: Majmu' al-Fataawa, 20/165-166).
Syaikhul Islam berkata lagi : "Meskipun Ulama Salaf berbeda pendapat dalam banyak masalah namun tak seorangpun dari mereka yang bersaksi atas kekufuran, kefasikan bahkan kemaksiatan yang diperbuat oleh sebagian yang lainnya". Kedua; Faktor Kebodohan/ketidak-tahuan
Kebodohan/ketidaktahuan merupakan salah satu maani' (penghalang) dalam memvonis kafir terhadap orang per-orang sebab keimanan seseorang erat hubungannya dengan pengetahuan (ilmu) sedangkan mengetahui sesuatu yang diimani merupakan syarat dari ke-imanan kepadanya (sesuatu tersebut). Firman Allah Ta'ala: "…Dan tidaklah Kami mengazab (suatu kaum) hingga Kami mengutus kepada mereka seorang Rasul". (al-Isra': 15) Bahwa ketidaktahuan tentang sebagian masalah aqidah terjadi juga terhadap sebagian shahabat, meskipun demikian Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak memvonis kafir mereka bahkan tidak memvonis mereka berdosa atas perbuatan tersebut. Hadits: "seorang laki-laki telah berbuat boros terhadap dirinya, lalu tatkala maut menjemputnya dia berwasiat kepada anak-anaknya seraya berucap: 'bila aku mati maka bakarlah aku, tumbuklah (abunya) dan taburkanlah dibawah deru angin laut…". (HR. Muslim). Dalam beralasan dengan kebodohan/ketidaktahuan tersebut perlu diperhatikan perbedaan kondisi , tempat dan waktu mereka dilihat dari sisi signifikasi tersebar atau tidaknya pengetahuan tentang hal tersebut. Begitu juga, perlu diperhatikan jenis sunnah
iv
Rasul yang diingkari oleh si Jahil; apakah termasuk jenis yang sudah diketahui oleh umum secara luas alias tak seorangpun yang tidak mengetahuinya?. Ketiga; Faktor Kelemahan/Ketidak-mampuan Seseorang tidak akan dibebani syara' bila tidak mampu, Allah berfir-man: "Allah tidak akan membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan kemampuan-nya". Syaikhul Islam berkata: "barangsiapa yang meninggalkan sebagian keimanan yang wajib (diketahui olehnya) disebabkan ketidak mampuannya; baik hal itu karena dia tidak mendapatkan pengetahuan/ilmu tentang hal tersebut, seperti risalah tersebut belum sampai kepadanya atau ketidakmampuannya untuk melakukan hal itu maka dia tidak diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya dan hal itu bagi dirinya bukan merupakan keimanan dan ajaran agama yang wajib atasnya meskipun pada prinsipnya hal itu adalah bagian dari keimanan dan ajaran agama. Kedudukan mereka dalam hal ini seperti kedudukan orang yang sakit, orang yang dalam keadaan takut, orang yang sedang haidh dan seluruh ahlul a'dzaar (orang-orang yang memiliki 'udzur syar'i) yang tidak mampu menyempurnakan shalat dimana shalat yang mereka lakukan adalah shah. Contohnya: Kisah tentang kondisi salah seorang yang beriman dari keluarga Fir'aun yang hidup di tengah-tengah kaum Fir'aun dan isteri Fir'aun sendiri. Demikian pula dengan kisah nabi Yusuf ash-Shiddiq p dengan penduduk Mesir yang masih kafir se-hingga beliau tidak dapat menjalankan seluruh apa yang diketahuinya dari Dienul Islam. Keempat, Faktor Pemaksaan
1. Adanya pemaksaan merupakan salah satu mawaani' pemvonisan kafir terhadap orang per-orang; hal ini didukung oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam serta perkataan ulama Salaf.
2. Maksud pemaksaan tersebut adalah sesuatu yang dapat mengakibat-kan terjadinya pembunuhan, pemukulan, penahanan atau perampasan terhadap harta yang amat diperlukan oleh korban (orang yang dipaksa).
Diantaranya adalah firman Allah Ta'ala: "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)." (An-Nahl: 106). Ini merupakan Maani' yang mu'tabar (yang dijadikan acuan) oleh ulama Salaf ; sebagaimana diriwayatkan dari al-Hasan bahwa dia berkata: "at-Taqiyyah (berlindung dibalik kekufuran sedangkan hati tetap tenang beriman-red) berlaku hingga Hari Kiamat". Sedangkan melakukan perbuatan-perbuatan kekufuran atau mengucapkan perkataan kufur demi untuk mendapatkan kedudukan atau harta tidak dianggap sebagai suatu pemaksaan." (Disarikan dari Majalah al-furqan oleh Abu Shofiyyah )
Monday, 24 December 2012
ISLAM MODERATE
Kriteria Islam dan non-Islam,
(Menuju Toleransi dan Inklusivisme)
Oleh :Ahmad Badrudduja
Sejarah Islam sejak dulu sarat dengan kafir-mengkairkan, sesat-menyesatkan.
Kalau kita telaah buku-buku tentang perkembangan sekte dalam Islam, akan
kelihatan sekali bagaimana kronisnya "penyakit" sesat-menyesatkan ini dalam
sejarah Islam.
Contoh yang sangat baik adalah buku karya Abd al-Qahir al-Baghdadi (w. 1037)yang mengarang buku al-Farq Bain al-Firaq (Perbedaan antara Sekte-Sekte) .
Sebagai juru bicara dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah, al-Baghdadi mencoba merumuskan ciri-ciri sekte Sunni yang "selamat". Kelompok lain yang tak memiliki ciri-ciri itu dia sesatkan atau kafirkan. Ciri-ciri yang dikemukakan oleh al-Baghdadi begitu banyak sehingga saya mempunyai kesan bahwa apa yang diuraikan sebetulnya hanya membenarkan sektenya sendiri, yaitu sekte Asyariyyah. Dia berpandangan bahwa siapapun yang memahami akidah Islam tanpa melalui metode sekte Asy'ariyah, maka orang ia sesat atau bisa juga kafir.
Sebagian besar ciri-ciri yang dikemukakan oleh al-Baghdadi untuk menengarai
kelompok Ahlussunnah wal Jamaah bersifat ijtihadiyah, artinya hasil pemikiran sendiri. Sebagian dari ciri-ciri itu sama sekali tak ada sandarannya dalam Quran atau sunnah sendiri.
Sebagai contoh kecil saja: salah satu ciri kelompok Ahlussunnah wal Jamaah yang
selamat dan masuk sorga adalah percaya bahwa watak dasar bumi itu diam; ia hanya
bergerak karena ada faktor eksternal seperti gempa. Menurut al-Baghdadi, seluruh
ulama Ahlussunnah sepakat (ijma') mengenai hal ini.
Contoh lain: ciri Ahlussunnah adalah percaya bahwa aksiden ('aradl) adalah
sesuatu yang bersifat baru (hadith) yang selalu berlangsung dan terjadi pada
benda berjasad (ajsad). Al-Baghdadi mengkafirkan mereka yang percaya bahwa
aksiden adalah sesuatu yang secara potensial dan inheren (=teori kumun yang
dikenal dalam pandangan sebagian sekte Mu'tazilah) terdapat dalam benda. Dengan
kata lain, mereka yang tak mempercayai teori aksiden dan esensi seperti dikenal
oleh para teolog Asy'ariyah adalah kafir, menurut al-Baghdadi. Ini tentu sangat
aneh. Bagaimana mungkin teori ciptaan kalangan Asyariyah ini dijadikan sebagai
ciri sekte yang selamat dan masuk sorga, serta menjadi kriteria untuk menentukan
apakah seseorang Islam atau kafir.
Yang ingin membaca keterangan lebih detil ciri-ciri sekte Ahlussunnah wal Jamaah
menurut al-Baghdadi, silah membaca bab kelima dari karyanya yang terkenal,
al-Farq Bain al-Firaq. Sebagaimana kita tahu, al-Baghdadi adalah ulama besar
yang sangat penting kedudukannya dalam sejarah perkembangan pemikiran kalam atau
teologi dalam Islam. Bukunya yang sudah saya sebut tadi itu masih menjadi
rujukan banyak kalangan Sunni hingga sekarang.
Dalam pandangan saya, ciri-ciri sebagaimana dikemukakan oleh al-Baghdadi itu
hanyalah mencerminakan pertentangan teologis yang ada pada zamannya. Menurut
saya, ciri-ciri itu malah membuat pertentangan makin meruncing, sebab
al-Baghadadi menjadikan paham Asyariyah sebagai kriteria untuk menentukan
keislaman dan kafirnya seseorang. Yang di luar sekte itu dianggap tidak masuk
dalam kategori Ahlussunnah wal Jamaah dan kerena sesat atau bisa juga kafir.
Hal ini terulang kembali saat ini. Beberapa waktu lalu, MUI membuat 10 kriteria
untuk menentukan apakah suatu kelompok bisa disebut sesat atau tidak. Yang
menarik, bahasa yang dipakai oleh MUI adalah kata "sesat", bukan kata kafir.
Tetapi jika kita telaah kebijakan MUI di lapangan, ternyata apa yang disebut
sebagai sesat itu bisa juga berarti kafir. Inilah sepuluh kriteria itu:
Mengingkari rukun iman dan rukun Islam
Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Alquran
dan as-sunah),
Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran
Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran
Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir
Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam
Melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul
Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir
Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah
Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar'i
Sebagian kriteria ini bisa disepakati, tetapi sebagian yang lain masih terbuka
untuk diskusi atau dipersoalkan. Misalnya kriteria nomor 3: meyakini turunnya
wahyu setelah Quran. Kriteria ini jelas sama sekali ambigu. Sudah saya katakan
dalam tulisan saya yang lalu bahwa tak ada dalil sharih yang mengatakan bahwa
wahyu berhenti total setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Kriteria ini hanyalah
ijtihad MUI sendiri. Dengan kata lain, belum tentu kriteria yang dibuat MUI itu
adalah kriteria untuk menentukan suatu golongan benar-benar sesat di mata Allah
SWT. Paling jauh sesat menurut MUI saja. Persis seperti kriteria Ahlussunnah wal
Jamaah yang dibuat oleh Imam al-Baghdadi di atas.
Menurut saya, sudah saatnya umat Islam membuat kriteria tentang Islam dan
non-Islam yang selonggar mungkin sehingga menghindarkan sama sekali sikap
sesat-menyesatkan, kafir-mengkafirkan yang membuat umat Islam terpecah-pecah dan
mengalami permusuhan internal yang sama sekali tak perlu.
Menurut saya, kriteria seorang Muslim adalah sederhana. Saya mengusulkan agar
kita kembali pada hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari sahabat Umar. Kata Umar,
aku mendengar Rasul bersabda, "Islam didasarkan pada lima hal, bersaksi tak ada
tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah hambaNya dan utusanNya, menegakkan
salat, mengeluarkan zakat, pergi haji menuju rumah (Allah), dan berpuasa pada
bulan Ramadan.
Hadis ini termuat dalam rangkaian hadis empat puluh yang yang dikumpulkan oleh
Imam Nawawi, dikenal dengan "Al-Arba'in al-Nawawiyyah" , hadis nomor 3.
Hadis inilah yang menurut saya paling simpel dijadikan kriteria untuk menentukan
apakah seseorang Muslim atau tidak. Dengan kriteria yang longgar dan inklusif
ini, kita terhindar dari sikap kafir-mengkafirkan yang menggerogoti perpaduan
umat Islam saat ini.
Berdasarkan kriteria itu, banyak kelompok yang selama ini dianggap sesat,
sebetulnya tidaklah sesat atau kafir.
Inna ikhtilaf al-mukhtalifin fi al-haqq la yujibu ikhtilaf al-haqq fi nafsihi
Kebenaran tak menjadi banyak hanya karena orang-orang berbeda pendapat
-- Ibn al-Sid al-Batalyawsi (w. Valencia 1127 M)
Saturday, 22 December 2012
Serba sedikit ciri-ciri seorang muslim
masjid di Berlin, German
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. QS. Al-Imran (3) ayat 110
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. QS.An-Nisa (4) ayat 29.
"Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali
tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam."QS.Al- Maidah ( 5) ayat 28.
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah
Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”. QS. An-Nisaa (4) ayat 93.
“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar,
dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya)”, QS.Al-Furqon (25) ayat 68.
Saudaraku, ketika saya menerima pesan singkat yang isinya pada intinya menghalalkan terjadinya peledakan Hotel Marriott dan Ritz Carlton, sungguh saya sangat sedih, dan
bertanya tanya, betulkah yang mengirim pesan singkat pada saya adalah seorang muslim.
Setahu saya (maaf Ilmu Agama saya masih sangat minim, karena saya belajar Islam setelah saya berumah tangga dan sudah memiliki dua orang anak) dan tidak satupun agama yang mengajarkan pada pemeluknya untuk mengajarkan perbuatan tercela, terlebih
ajaran Islam, justru ajaran Islamlah yang paling menentang perbuatan tercela tersebut, seperti membunuh, merusak dan bahkan bunuh diri, tidak satupun ayat dalam Al-Qur’an yang membenarkan kita melakukan perbuatan tercela yang mencelakakan orang lain, atau mencelakan diri sendiri, bahkan Islam mengajarkan kita agar berakhlaq mulia, sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah SAW, sebagaimana tertuang dalam QS dan Ayat ayat tersebut diatas, bahkan kita seluruh kaum muslimin diajarkan :
Agar umat Islam memiliki sifat Kritis dan teliti.
QS. Al-Hujurat (49) ayat 6. yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
“Suatu hari Rasullah berkata kepada Asyaj Abdul Qais:”Sesungguhnya ada dua perkara di dalam dirimu yang disukai Allah, yaitu kritis dan ketelitian” (HR. Muslim).
Agar umat Islam bersikap Lembut dan Pemaaf.
QS. Al-Imran (3) ayat 159. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya”.
“Rasulullah bersabda:”Barangsiapa meninggalkan sikap lembut, maka ia telah meninggalkan kebaikan semuanya”. (HR. Muslim).
Agar umat Islam berlaku Jujur
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”. QS.Al-Muthafifin (83) ayat 1-3
”sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, kebaikan mengantarkan kepasa surga, dan seorang akan berbuat jujur sehingga ia dijuluki orang jujur”. (HR.Bukhari Muslim).
Agar umat Islam bersikap Sabar.
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. QS. Al-Baqarah (2) ayat 153.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”, QS. Al-Baqarah (2) ayat 155
“Barangsiapa bersabar maka Allah akan bersabar untuknya, tidak ada pemberian Allah yang lebih kepada hambaNya kecuali kesabaran” (HR. Bukhari Muslim).
Agar Umat Islam Tawadlu’ atau rendah hati
QS.Lukman (31) ayat 18. “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”.
”Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar aku bertawadlu’, sehingga tidak ada orang merasa sombong dan lebih tinggi dari lainnya dan tidak ada orang menghianati lainnya” (HR. Muslim).
“Tidak ada orang yang bertawadlu kepada Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya” (HR. Muslim).
Agar umat Islam Amanah
QS.Al-Anfal (8) ayat 27. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”.
”Tanda-tanda orang munafik ada tiga, ketika bicara bohong, ketika janji mengingkari dan ketika dipercayai menghianati”. (HR. Bukhari Muslim).
Agar Umat Islam Memiliki rasa Malu yang tinggi
”Rasa malu itu selalu mendatangkan kebaikan” (HR. Bukhari Muslim)
“Malu itu bagian dari iman” (HR. Bukhari Muslim).
Agar umat Islam berkata manis dan muka yang ramah
”Takutkan kalian dari neraka walaupun dengan sebutir kurma, kalau tidak bisa maka bisa dengan perkataan yang manis” (HR. Bukhari Muslim).
”Kalimat yang baik merupakan sedekah” (HR. Bukhari Muslim).
Agar umat Islam Berbakti kepada kedua orang tua dan handai taulan
QS.An-Nisa (4) ayat 36. "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan- Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri",
Ibnu Mas’ud bertanya kepada Rasulullah s.a.w.;” Apa perbuatan yang paling disukai Allah?
Jawab
Rasulullah:”Sholat di waktunya”,
Ibnu Mas’ud:”Lalu apa?”
Jawab Rasulullah:”Berbuat baik kepada kedua orang tua” (HR. Bukhari Muslim).
Agar Umat Islam Memperbanyak hubungan Silaturrahim atau berhubungan dengan halayak luas
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. QS. An-Nisa (4) ayat 1.
“Barangsiapa ingin diluaskan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia bersilaturrahmi”. (HR. Bukhari).
Dasar baik ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits diatas jelaslah bahwa agama Islam, agama yang
Rahmatan Lil’alamiin, serta masih banyak lagi ajaran ajaran Agama Islam yang mangarahkan serta membuat pemeluk agama Islam yang mengajarkan umatnya agar berbudi luhur, bukan mengajarkan untuk berprilaku yang menyimpang serta pengrusakan baik Akhlak, mental serta prilaku penyimpangan lainya.
Sistem Politik
Kedamaian Politik
Menurut H.M.T.Ahmad r.a., kedamaian politis adalah hal yang penting ditelaah, baik di tingkat nasional mau pun internasional. Sejauh menyangkut politik nasional, yang menjadi masalah pokok adalah sistem politik mana yang baik bagi manusia. Kita juga perlu menelaah apakah kegagalan sistem politik dan cacat ikutannya yang menjadi penyebab kesengsaraan dan kemarahan rakyat, ataukah ada sebab lainnya. Apakah sistemnya yang harus disalahkan atau mereka yang mengendalikannya? Apakah mungkin kepemimpinan politis tak bermoral, egoist, rakus dan korup yang mencapai jenjang kekuasaan melalui cara-cara demokratis itu memang baik dan bermanfaat bagi masyarakat dibanding sistem kediktatoran lunak? Agar dapat menegakkan dan menjamin kedamaian internasional, Islam dapat memberikan tuntunan bagi para politisi kontemporer. Islam sangat menekankan moralitas mutlak di semua aspek kegiatan manusia, tidak terkecuali di bidang politik.
Jangan Langsung Mencerca Sistem Politik Mana Pun
Kita awali dengan hasil observasi bahwa dalam Islam tidak ada ditentukan suatu sistem politik sebagai sistem yang paling baik dibanding yang lainnya. Memang benar bahwa Al-Quran mengemukakan sistem demokratis dimana para pemimpin dipilih oleh rakyat, namun ini tidak merupakan satu-satunya sistem yang direkomendasikan Islam. Juga tidak menjadi prerogatif dari suatu agama universal untuk memilih suatu bentuk sistem pemerintahan tanpa memperhatikan bahwa sulit menetapkan satu sistem tunggal yang dapat berlaku bagi semua daerah dan masyarakat di dunia. Demokrasi sendiri di negara yang paling maju pun belum mencapai tingkat penerapan sebagaimana visi politis para demokrat. Dengan bangkitnya kapitalisme dan pengembangan teknologi yang demikian maju di negeri-negeri kapitalis, pemilihan umum yang benar-benar demokratis belum dapat dilakukan di mana-mana. Tambahkan ke dalamnya masalah maraknya korupsi, munculnya kelompok Mafia dan kelompok penekan lainnya. Kita dapat menyimpulkan bahwa sistem demokrasi tidak berjalan aman bahkan di negeri yang katanya paling demokratis. Lalu bagaimana mungkin sistem ini cocok bagi Dunia Ketiga, seperti di Malaysia? Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa demokrasi Barat dapat berlaku di Afrika, Asia dan Amerika Latin atau negeri-negeri yang katanya negara Islam, sama saja dengan membuat pernyataan hampa dan tidak benar. Sepengetahuan beliau, ajaran Islam tidak pernah menolak suatu sistem politik apa pun di dunia dan Islam menyerahkannya kepada pilihan umat serta tradisi yang secara historis berlaku di tiap negeri. Yang ditekankan Islam bukanlah bentuk pemerintahannya, tetapi bagaimana pemerintah melaksanakan tugas-tugasnya. Sepanjang suatu sistem peraturan sejalan dengan idealisme Islam dalam pelaksanaan amanat kepada rakyat, berbagai sistem pemerintahan seperti feodalisme, monarki, demokrasi dan lain-lain dapat saja diakomodasikan dalam Islam.
Sistem Kerajaan
Sistem kerajaan atau monarki disebut beberapa kali dalam Al-Quran tanpa menyalahkannya sebagai suatu lembaga. Seorang nabi Israil mengingatkan kaum Tholut:
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Berkata nabi mereka kepada mereka: ‘Sesungguhnya Alloh telah mengangkat Tholut menjadi raja bagimu.’ Berkata mereka:‘Bagaimana ia akan berdaulat atas kami padahal kami lebih berhak berdaulat daripadanya dan ia tidak diberi berlimpah-limpah harta?’ Berkata ia: ‘ Sesungguhnya Alloh telah memilihmya berdaulat atasmu dan melebihkannya dengan keluasan ilmu dan kekuatan badan.’ Dan Alloh memberikan kedaulatan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Alloh Mahaluas pemberian-Nya, Maha Mengetahui. (Al-Baqoroh, 2: 248)
Monarki juga diungkit dalam pengertian lebih luas sebagai mereka yang jadi raja-raja:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَءَاتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ
Ingatlah tatkala Musa berkata kepada kaumnya: ‘Hai kaumku, ingatlah nikmat Alloh atasmu ketika Dia menjadikan nabi-nabi diantaramu dan menjadikan kamu raja-raja dan Dia memberikan kepadamu apa yang tidak diberikan kepada kaum lain di antara bangsa-bangsa.’ ( Al-Maidah, 5: 21)
Kerajaan yang diciptakan atau diperluas melalui penaklukan secara umum tidak disukai sebagaimana dikemukakan dalam ayat tentang Ratu Sheba ketika mengingatkan para penasihatnya:
قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ
Berkatalah ia, ratu itu: ‘Sesungguhnya raja-raja apabila mereka memasuki suatu negeri, mereka merusaknya dan penduduknya yang termulia mereka jadikan orang-orang paling hina. Dan demikianlah selalu mereka kerjakan.’ (An-Naml, 27: 35)
Raja-raja dapat bertabiat baik atau pun buruk, sama saja seperti perdana menteri atau presiden yang dipilih secara demokratis. Tetapi Al-Quran menyitir suatu kategori raja-raja yang memang ditunjuk oleh Alloh. Mereka adalah jenis bukan saja sebagai raja seperti dalam pemahaman Yahudi dan Kristen tetapi juga sebagai Rosul menurut Al-Quran sebagai contohnya Raja Sulaiman as. Hal ini menggambarkan bahwa kadang-kadang fungsi kenabian dan kerajaan dapat diemban oleh satu orang dan ia adalah raja yang ditunjuk langsung oleh Alloh. Dalam Al-Quran juga ada disebut bentuk kerajaan lain yang mendapat mandatnya dari seorang Rosul. Ayat berikut ini menggambarkan kenyataan tersebut:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Alloh dan taatlah kepada Rosul-Nya dan kepada orang-orang yang memegang kekuasaan di antaramu. Dan jika kamu berselisih mengenai sesuatu maka kembalikanlah hal itu kepada Alloh dan Rosul-Nya, jika kamu memang beriman kepada Alloh dan Hari Kemudian. Hal demikian itu paling baik dan paling bagus akibatnya. (An-Nisa, 4: 60)
Beliau mengemukakan ayat ini tidak saja untuk menggambarkan kategori bentuk kerajaan tetapi juga guna menekankan bahwa menurut Al-Quran kadang-kadang sistem demokrasi tidak selalu menjadi pilihan paling benar. Dalam sistem demokrasi dapat saja terjadi mayoritas rakyat tidak dapat menemukan nilai-nilai pokok dari kepemimpinan seorang dan akan memprotes jika yang bersangkutan dipaksakan dipilih sebagai pemimpin mereka. Berdasarkan semua kriteria politis, penunjukannya akan dianggap sebagai diktatorial. Mungkin untuk kepentingan publik yang bersangkutan memang baik tetapi opini umum tidak dapat menerimanya. Kelemahan inheren dari pemilihan secara demokratis adalah kenyataan bahwa rakyat melakukan pilihannya berdasarkan kesan-kesan impresi permukaan dan kinerja terakhir dari si calon, sedangkan nilai-nilai kepemimpinan sehat yang seharusnya ada malah sulit diketahui. Kita dapat melihat bahwa dalam sejarah umat yang dicintai Alloh, ada saat-saat dimana keselamatan politis mereka membutuhkan bantuan intervensi samawi. Pada saat demikian, Alloh sendiri yang menentukan pemilihan raja atau pemimpin. Dari sini jangan disimpulkan bahwa semua raja dan pemimpin umat adalah pilihan Alloh. Kesalah-fahaman seperti inilah yang umum terjadi dalam sistem pemerintahan abad menengah umat Kristen dan pandangan seperti ini tidak dianut Al-Quran. Contohnya ketika Raja Richard mengeluh:
Bahkan semua air laut yang menggelora pun tidak dapat mencuci minyak urap dari seorang raja yang diurapi. (Shakespeare)
disambung bahagian ke 2 akan datang
Saturday, 15 December 2012
ULAMA, Siapakah yang disebut Ulama dalam Alqur-aan?
Ilmu Ilahi itu tidak hanya berarti logika atau filsafat melainkan ilmu sejati adalah yang dianugerahkan Allah swt semata-mata melalui karunia-Nya. Dan ilmu itu adalah sarana ma’rifat Allah swt dan menciptakan hosyyat Ilahi. Sebagaimana Allah swt berfirman: Diantara hamba-hamba-Nya yang paling takut kepada Allah adalah para ‘ulama, tetapi jika dengan ilmu itu tidak memberikan kemajuan dalam hosyyat Ilahi maka ingatlah bahwa ilmu yang begitu itu bukan sarana ma’rifat Allah swt., karena banyak orang bermulut kotor suka memaki selain berdusta. Apakah para ulama yang bermulut kotor mencaci maki kepada orang yang mendakwakan sebagai Imam Zamanyang diikuti dan dihomati oleh puluhan bahkan ratusan juta pengikutnya, dan mencaci-maki Jema’ah Muslim-nya seperti di Pakistan dan di berbagai tempat lainnya, di mana dibeberapa Mesjid dalam khutbah mereka yang mengaku ulama itu dari mulutnya keluar banyak kata-kata kotor caci-makiannya. Apakah mereka ini ‘ulama’ yang didalam hati mereka mempunyai hosyyat Ilahi?
Friday, 14 December 2012
Berbuatlah ADIL, Tuhan akan menolong kamu
Bismillahirrahmanirrahiim
Hendaklah Berlaku Adil dan Berbuatlah dengan Berimbang dan Adil - Yang berarti Dekat pada Taqwa; Allah Taala pun akan memberkati kehidupan Saudara, keluarga dan Istri serta Anak-anak Saudara; dan juga untuk Kesejahteraan Rakyat keseluruhannya.
Nasihat penting kepada Pemimpin Negara dan Pemimpin Keluarga. Agar maqbullah doa Saudara dan dikabulkan-Nya doa-doa orang yang berdoa dan yang mendoakan Saudara.
Wa laqad taqrabuu maal yatiimi illaa bil latii hiya ahsanu hatta yablugha asyuddahuu wa auful kaila wal miizaana bil qisthi laa nukallifu nafsan illa wus'ahaa wa idzaa qultum fa'diluu wa lau dzaa qurbaa wa bi'ahdillaahi aufuu dzaalikum washshaakum bihii la'allakum tadzakkaruun (Al An'aam, 6:153).
"Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang terbaik sampai ia mencapai kedewasaannya. Dan penuhilah ukuran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memberi beban kepada suatu jiwa kecuali menurut kemampuannya. Dan apabila kamu berkata, hendaklah berlaku adil walaupun itu berkaitan dengan seorang kerabat; dan sempurnakanlah janji dengan Allah. Demikianlah Dia, Allah telah memerintahkan kepada kamu perihal itu supaya kamu mendapat nasihat".
Ya yyuhal ladziina aamanuu kuunuu qawwaamiinal lillaahi syuhadaa-a bil qisthi wa laa jajrimannakum syana-aanu qaimin 'alaa alaa ta'diluu huwa aqrabu lit taqwaa inal laaha khabirun bi maa ta'maluun (Al-Ma'idah, 5:9).
Hai orang-orang yang beriman, hendklah kamu berdiri teguh karena Allah, menjadi saksi dengan adil; adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Seungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.
Tentang keharusan berbuat dan berlaku adil ini bacalah juga firman Tuhan lainnya:
An-Nisaa, 4:59, ...... apabila kamu menghakimi di antara manusia, hendaklah kamu memutuskannya dengan adil .......
An Nahl, 16:91 ...... Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebaikan dan memberi kepada kaum kerabat, dan melarang .......
Shad, 38:27, Hai Daud, ....... hakimilah di antara manusia dengan adil .......
Asy-Syuura, 42:16, ....... aku diperintahkan untuk berbuat adil di antara kamu .......
Dengan janji ganjaran ari pada-Nya:
Wa 'adallaahul ladziinaaamanuu wa 'amilush shaalihaati lahum maghfiratuw wa ajrun 'azhiim (Al Maa'idah, 5:9).
Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka ada ampunan dan ganjaran yang besar.
Jadi bilamana orang tuanya (dan termasuk mertuanya juga) sudah banyak-banyak berdoa dan mendoakan bagi anak-anaknya tetapi masih dirasakan belum maqbul juga, belum dikabulkan sepenuhnya oleh Allah Yang Maha Kuasa, maka bisa jadi orang yang didoakannya itu belum dapat berlaku adil, belum dapat berbuat adil kepada seluruh keluarga dan kerabatnya. Padahal dengan suatu pernikahan itu, ini contohnya, maka mereka sekarang berada dalam satu keluarga yang lebih besar; ibunya sekarang menjadi dua, bapaknya pun dua, kakak-kakak dan adiknya menjadi dobble, sehingga yang harus diperhatikannya itu bertambah banyak, dan keadilan atau perimbangan itulah yang harus diperhatikan, walaupun tidak harus persis sama, satu dengan satu, atau dua dengan dua - tetapi berimbanglah sedapat mungkinnya -. Perbuatan semacam begitulah yang dikatakan sebagai dekat kepada takwa, dekat kepada Allah Taala dan takut kepada Tuhan, sehingga Allah pun akan ridha kepadanya, kepada keluarganya, dan insya Allah akan terkabullah doa-doa dan keinginannya, serta doa-doa dan keinginan yang baik dari orang tua yang mendoakannya itu.
Bilamana seorang suami itu adalah Pemimpin dalam satu keluarga kecil, maka demikian pulalah seharusnya para Pemimpin sebuah Negara, yang harus dapat berbuat adil dan menjaga keadilan di antara rakyatnya, sehingga kesejahteraan itu akan dapat dinikmati oleh segenap rakyat dan bangsa.
Syarat lain untuk maqbulnya doa ialah bahwa baik orang yang berdoa dan juga orang yang didoakannya itu, harus menghindarkan diri dari sifat yang tidak diridhai Tuhan, seperti perasaan curiga dan buruk sangka, perasaan iri hati, greedy, rasa dipilih kasih, seperti umpamanya terhadap apa yang dimiliki oleh otang tuanya. Sifat-sifat demikian dapat juga menjadi penyebab belum terkabulnya doa-doanya, dan doa-doa dari orang yang mendoakannya.
Ada satu contoh nyata ilustrasi dari satu keluarga dekat kami; suami-istri keduanya merupakan keluarga pengusaha menengah - interpreneur, istrinya Islamy tulen, suaminya hanya 10-15% Islamy (seperti jarang shalat dll), yang dapat dikatakan suksesjuga. Anak-anaknya 4 perempuan dan 2 laki-laki, yang merupakan keponakan kami, semuanya dididik dan dibina dan dibantu menyadi pengusaha, tetapi tidak disuruh mengejar gelar sarjana. Akhirnya mereka semua menikah dan juga semuanya tidak mendapatkan pasangan yang sarjana penuh.
Yang membuat saya keheranan ialah bahwa selama ibu-bapaknya itu masih hidup, mereka, anak-anak dan menantunya itu, dalam usaha dan perusahaannya tidak begitu sukses, bahkan boleh dikatakan banyak babak-belurnya. Saya yakin, bahwa ibunya yang mukhlis itu tentu sudah banyak mendoakan dan membantu anak-anaknya itu, tetapi sebegitulah keadaannya.
Namun setelah ibunya tiada (tahun 1997), kemudian setelah bapaknya juga menyusul (tahun 2001), eh tahu-tahu hampir semua anak-anak ini maju pesat di dalam usaha dan bisnisnya; inilah yang membuat saya heran, mengapa? Ada yang dalam usahanya itu memperkerjakan 60 orang karyawan, dengan 4 orang Dokter, padahal Bossnya khan bukan sarjana? Bahkan omzetnya bisa mencapai Rp. 600 juta/ bulannya???
Jawabannya baru terungkap sekarang, ilmu ini didapatkan pada awalJanuari tahun 2009 ini, dengan mendasarkan pada firman Tuhan dalam Surat Al Qashah (28:56):
Innaka laa tahdii man ahbabta walaakinnallaaha may ysyaa-u wa huwa a'lamu bil muhtadiin.
Sesungguhnya engkau (Nabi saw. dan para pengikutnya juga) tidak dapat memberi petunjuk (termasuk mendoakan) kepada siapa yang engkau kasihi - yang engkau sukai dan cintai - tetapi Allah memberi petunjuk - untuk kesuksesannya - kepada sia yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui siapa orang-oang yang mendapat petunjuk itu.
Maka bisa jadi, selama orang-tuanya itu masih hidup, yang tentu saja memiliki harta kekayaan dan aset perusahaan; nah jika pada anak-anaknya itu terdapat sifat greedy, hasud, cemburu, buruk sangka, iri satu sama lain, atau merasa dipilih kasih, serta merasa di-zhalimi dan/atau ada sifat membangkang dan menentang pada ortunya, maka inilah yang dapat membuat mereka itu jauh dari Tuhan. Tetapi, setelah kedua orang tuanya itu meninggal, dan semua harta dan set perushaannya sudah dibagi-bagi, maka perasaan buruk sngka kepada orang tuanya itu pasti tidak ada lagi, dan tidak ada lagi yang mengincar harta ortunya. Maka dengan berbekal inilah, kemudian mereka berjuang sendiri-sendiri, menjalankan usahanya dengan serius dan sudah tidak mengandalkan bantuan dari ortunya sendiri, sehingga memperoleh sukses yang besaaaar.
Tetapi, inihanyalah teori dari saya saja.
Teapai itulah fakta kenyataannya, yang kadang-kadang membuat perasaan hampir putus asa, mengapa sebagai ortu itu, yang sudah bertahun-tahun berdoa, dalam tahajjud juga, dengan berpuasa juga, namuuun ....... hanya sedemikianlah keadaannya .....
Jadi, barangkali itulah rahasianya!
Lihat juga ayat-ayat yang berkaiatan dengan kemakbulan doa dan petunjuk bagi orang-orang yang kita kasihi dalam Surah-surah:
Yusuf, 12:103, Dan kebanyakan orang tidak mau beriman, walaupun engkau menginginkannya (dan mendoakannya).
An Nahl, 16:37, Jika engkau sangat berhasrat supaya mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang menyeleweng - dari jalan yang diridhai Allah - dan, yang bagimereka itu tidak ada penolong.
"Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang terbaik sampai ia mencapai kedewasaannya. Dan penuhilah ukuran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memberi beban kepada suatu jiwa kecuali menurut kemampuannya. Dan apabila kamu berkata, hendaklah berlaku adil walaupun itu berkaitan dengan seorang kerabat; dan sempurnakanlah janji dengan Allah. Demikianlah Dia, Allah telah memerintahkan kepada kamu perihal itu supaya kamu mendapat nasihat".
Ya yyuhal ladziina aamanuu kuunuu qawwaamiinal lillaahi syuhadaa-a bil qisthi wa laa jajrimannakum syana-aanu qaimin 'alaa alaa ta'diluu huwa aqrabu lit taqwaa inal laaha khabirun bi maa ta'maluun (Al-Ma'idah, 5:9).
Hai orang-orang yang beriman, hendklah kamu berdiri teguh karena Allah, menjadi saksi dengan adil; adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Seungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.
Tentang keharusan berbuat dan berlaku adil ini bacalah juga firman Tuhan lainnya:
An-Nisaa, 4:59, ...... apabila kamu menghakimi di antara manusia, hendaklah kamu memutuskannya dengan adil .......
An Nahl, 16:91 ...... Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebaikan dan memberi kepada kaum kerabat, dan melarang .......
Shad, 38:27, Hai Daud, ....... hakimilah di antara manusia dengan adil .......
Asy-Syuura, 42:16, ....... aku diperintahkan untuk berbuat adil di antara kamu .......
Dengan janji ganjaran ari pada-Nya:
Wa 'adallaahul ladziinaaamanuu wa 'amilush shaalihaati lahum maghfiratuw wa ajrun 'azhiim (Al Maa'idah, 5:9).
Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka ada ampunan dan ganjaran yang besar.
Jadi bilamana orang tuanya (dan termasuk mertuanya juga) sudah banyak-banyak berdoa dan mendoakan bagi anak-anaknya tetapi masih dirasakan belum maqbul juga, belum dikabulkan sepenuhnya oleh Allah Yang Maha Kuasa, maka bisa jadi orang yang didoakannya itu belum dapat berlaku adil, belum dapat berbuat adil kepada seluruh keluarga dan kerabatnya. Padahal dengan suatu pernikahan itu, ini contohnya, maka mereka sekarang berada dalam satu keluarga yang lebih besar; ibunya sekarang menjadi dua, bapaknya pun dua, kakak-kakak dan adiknya menjadi dobble, sehingga yang harus diperhatikannya itu bertambah banyak, dan keadilan atau perimbangan itulah yang harus diperhatikan, walaupun tidak harus persis sama, satu dengan satu, atau dua dengan dua - tetapi berimbanglah sedapat mungkinnya -. Perbuatan semacam begitulah yang dikatakan sebagai dekat kepada takwa, dekat kepada Allah Taala dan takut kepada Tuhan, sehingga Allah pun akan ridha kepadanya, kepada keluarganya, dan insya Allah akan terkabullah doa-doa dan keinginannya, serta doa-doa dan keinginan yang baik dari orang tua yang mendoakannya itu.
Bilamana seorang suami itu adalah Pemimpin dalam satu keluarga kecil, maka demikian pulalah seharusnya para Pemimpin sebuah Negara, yang harus dapat berbuat adil dan menjaga keadilan di antara rakyatnya, sehingga kesejahteraan itu akan dapat dinikmati oleh segenap rakyat dan bangsa.
Syarat lain untuk maqbulnya doa ialah bahwa baik orang yang berdoa dan juga orang yang didoakannya itu, harus menghindarkan diri dari sifat yang tidak diridhai Tuhan, seperti perasaan curiga dan buruk sangka, perasaan iri hati, greedy, rasa dipilih kasih, seperti umpamanya terhadap apa yang dimiliki oleh otang tuanya. Sifat-sifat demikian dapat juga menjadi penyebab belum terkabulnya doa-doanya, dan doa-doa dari orang yang mendoakannya.
Ada satu contoh nyata ilustrasi dari satu keluarga dekat kami; suami-istri keduanya merupakan keluarga pengusaha menengah - interpreneur, istrinya Islamy tulen, suaminya hanya 10-15% Islamy (seperti jarang shalat dll), yang dapat dikatakan suksesjuga. Anak-anaknya 4 perempuan dan 2 laki-laki, yang merupakan keponakan kami, semuanya dididik dan dibina dan dibantu menyadi pengusaha, tetapi tidak disuruh mengejar gelar sarjana. Akhirnya mereka semua menikah dan juga semuanya tidak mendapatkan pasangan yang sarjana penuh.
Yang membuat saya keheranan ialah bahwa selama ibu-bapaknya itu masih hidup, mereka, anak-anak dan menantunya itu, dalam usaha dan perusahaannya tidak begitu sukses, bahkan boleh dikatakan banyak babak-belurnya. Saya yakin, bahwa ibunya yang mukhlis itu tentu sudah banyak mendoakan dan membantu anak-anaknya itu, tetapi sebegitulah keadaannya.
Namun setelah ibunya tiada (tahun 1997), kemudian setelah bapaknya juga menyusul (tahun 2001), eh tahu-tahu hampir semua anak-anak ini maju pesat di dalam usaha dan bisnisnya; inilah yang membuat saya heran, mengapa? Ada yang dalam usahanya itu memperkerjakan 60 orang karyawan, dengan 4 orang Dokter, padahal Bossnya khan bukan sarjana? Bahkan omzetnya bisa mencapai Rp. 600 juta/ bulannya???
Jawabannya baru terungkap sekarang, ilmu ini didapatkan pada awalJanuari tahun 2009 ini, dengan mendasarkan pada firman Tuhan dalam Surat Al Qashah (28:56):
Innaka laa tahdii man ahbabta walaakinnallaaha may ysyaa-u wa huwa a'lamu bil muhtadiin.
Sesungguhnya engkau (Nabi saw. dan para pengikutnya juga) tidak dapat memberi petunjuk (termasuk mendoakan) kepada siapa yang engkau kasihi - yang engkau sukai dan cintai - tetapi Allah memberi petunjuk - untuk kesuksesannya - kepada sia yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui siapa orang-oang yang mendapat petunjuk itu.
Maka bisa jadi, selama orang-tuanya itu masih hidup, yang tentu saja memiliki harta kekayaan dan aset perusahaan; nah jika pada anak-anaknya itu terdapat sifat greedy, hasud, cemburu, buruk sangka, iri satu sama lain, atau merasa dipilih kasih, serta merasa di-zhalimi dan/atau ada sifat membangkang dan menentang pada ortunya, maka inilah yang dapat membuat mereka itu jauh dari Tuhan. Tetapi, setelah kedua orang tuanya itu meninggal, dan semua harta dan set perushaannya sudah dibagi-bagi, maka perasaan buruk sngka kepada orang tuanya itu pasti tidak ada lagi, dan tidak ada lagi yang mengincar harta ortunya. Maka dengan berbekal inilah, kemudian mereka berjuang sendiri-sendiri, menjalankan usahanya dengan serius dan sudah tidak mengandalkan bantuan dari ortunya sendiri, sehingga memperoleh sukses yang besaaaar.
Tetapi, inihanyalah teori dari saya saja.
Teapai itulah fakta kenyataannya, yang kadang-kadang membuat perasaan hampir putus asa, mengapa sebagai ortu itu, yang sudah bertahun-tahun berdoa, dalam tahajjud juga, dengan berpuasa juga, namuuun ....... hanya sedemikianlah keadaannya .....
Jadi, barangkali itulah rahasianya!
Lihat juga ayat-ayat yang berkaiatan dengan kemakbulan doa dan petunjuk bagi orang-orang yang kita kasihi dalam Surah-surah:
Yusuf, 12:103, Dan kebanyakan orang tidak mau beriman, walaupun engkau menginginkannya (dan mendoakannya).
An Nahl, 16:37, Jika engkau sangat berhasrat supaya mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang menyeleweng - dari jalan yang diridhai Allah - dan, yang bagimereka itu tidak ada penolong.
by : Mersela
Hanya Ketakwaan dapat Mensejahterakan Dunia
KETAKWAAN DAPAT MEMPERBAIKI KE-EKONOMIAN / KESEJAHTERAAN DUNIA
(Firman Allah Taala dalam Kitab Suci Alqur-aan Surah Al Hujuraat -49- ayat 13)
Untuk memeriksa keadaan ekonomi yang kadang-kadang menjadi sumber dari pertikaian maka mereka mendirikan World Justice System. Apa yang terjadi pada organisasi-organisasi ini setiap orang itu dapat melihatnya sendiri.. Sebab dari kegagalannya itu adalah dikarenakan kurangnya ketakwaan, tidak ada rasa takut kepada Tuhan. Yang dengan apakah mereka itu telah menaruh timbunan harta kekayaan atau kepandaian dan kekuatan dari ilmu pengetahuan, naka dikarenakan oleh kesombongan dan kebangga-banggaannya itu atau dengan menganggap diri mereka itu adalah pembawa bendera kedamaian yang lebih dari siapa pun juga dan menempatkan mereka pada landasan yang lebih tinggi dari bangsa yang lainnya. Mereka telah membuat tingkatan-tingkatan anggota tetap dan anggota tidak tetap yang juga tidak pernah dapat meraih kedamaian dikarenakan kurangnya rasa takut kepada Tuhan dan kurangnya ketakwaan. Jika sebuah Adidaya tertentu memiliki kawenangan untuk menanda-tangani beberapa dokumen dengan dirinya sendiri, maka system ini, kekuatan ini, kawenangan ini tidak akan dapat menyebarkan kedamaian. Jika akan terjadi kedamaian di dunia maka kedamaian di dunai ini hanyalah dengan melalui ajaran yang Allah telah wahyukan kepada Y.M. Nabi Muhammad s.a.w., yang pra-syaratnya itu adalah takwa, ketakwaan. Tentang segala bangsa-bangsa ini, sebagai umat manusia, Kitab Suci Al-Qur’an telah memberikan kepada kita sebuah ajaran, yang firman-Nya dalam Surah Al-Hujuraat (49) ayat 13:
Yaa ayyuhahan naasu ‘inna khalaqnaakum min dzakariw wa untsaa wa ja’alnaakum syu’uubaw wa qabaa-ila li ta’aarafuu inna akramakum ‘indallaahi atqaakum innallaaha ‘aliimun khabiir. (Surah Al-Hujuraat -49- ayat 13)
Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan; dan Kami telah menjadikan kamu bangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Waspada.
Jadi inilah ajaran dari persaudaraan Islam itu, untuk menciptakan kebersaudaraan dalam Islam itu dan untuk menegakkan kedamaian itu demikianlah perintah dari Allah ini. Seseorang yang bertakwa dan memiliki rasa takut kepada Tuhan, maka ia itu harus dengan sepenuhnya meng-aplikasikan ajaran ini kepada dirinya tentang kebersaudaraan ini dan untuk menyebarkannya kepada dunia. Orang-oang yang beriman telah duperintahkan, dengan perintah tentang kecintaan, kasih-sayang dan keadilan.
Tidak jadi soal betapa hebatnya mereka itu membuat Dewan Keamanan dan Komite Perdamaian, tetapi mereka itu tidak akan dapat menghilangkan keresahan dari dunia karena Bangsa Adidaya yang kuat itu telah mengambil kawenangan melebihi dari bangsa yang lainnya. Jadi, keamanan dan jaminan akan perdamaian dunia itu hanya akan dapat diberikan dan keresahan dari dunia itu hanya dapat dihilangkan jika superioritas kebangsaan yang salah itu dihilangkan.
Keresahan ini tidak akan dapat dihilangkan selama ras dan segala macam supremasi dan keistimewaan itu tidak dapat dihilangkan. Selama di dalam pikiran orang-orang dari Negara-negara dan Pemerintahan mereka itu tidak memiliki pemikiran ini dengan kesadaran yang penuh bahwa kami semua ini adalah anak-anak dari Adam dan pengembangan kami itu adalah sebagai hasil dari laki-laki dan perempuan maka sebagai seorang manusia itu, kita adalah sama di dalam pandangan dari Tuhan. Jika seseorang itu adalah memiliki keistimewaan di dalam pandangan Allah, yaitu seseorang yang memiliki ketakwaan dan ketakwaan siapa yang lebih tinggi atau superior itu hanyalah Tuhan Yang Mengetahuinya. Tak ada orang yang dapat menilai untuk dirinya sendiri sampai di mana tingkat ketakwaannya itu. Ia itu tidak dapat memeriksa tingkat kadarnya sendiri dan tidak dapat menguji tingkatan kadarnya sendiri, yang oleh karena itu Allah berfirman bahwa kedudukan kamu itu dan kelebihan kamu terhadap orang lainnya itu bukannya dikarenakan oleh keturunan dan bukan karena kebangsaan-mu, bukan karena warna kulitmu, bukan karena harta kekayaanmu atau kedudukan kamu di dalam masyarakat kamu. Tidak ada satu bangsa pun yang menjadi lebih superior yang dikaitkan dengan penguasaannya terhadap bangsa-bangsa yang lemah. Di dalam mata duniawi, kekuatan dunia ini dan Pemerintahan duniawinya ada memiliki suatu kedudukan tertentu tetapi bukannya dalam pandangan dari Tuhan. Apa pun yang tidak diketahuinya dalam pandangan Tuhan maka hal itu tidak akan dapat sukses di dalam tujuan-tujuan baiknya, apa pun yang telah dipergunakannya untuk keperluan tersebut. Islam mengatakan bahwa segenap manusia dan orang-orang itu adalah merupakan satu keluarga. Jika mereka itu hidup sebagai satu keluarga tunggal, hanya dengan demikianlah mereka itu akan saling menjaga kedamaian dan keamanannya satu sama lainnya. Sebagai anggota dari satu keluarga yang demikian itu mereka akan saling mencintai dan saling kasih-sayang satu terhadap yang lainnya.
Thursday, 13 December 2012
Siapa itu muslimal-Muslimu man salima al-muslimûna min lisânihi wa yadihi
“Muslim adalah orang-orang yang orang-orang muslim lainnya terbebas dari gangguan lisan dan tangannya”(Bukhari-Muslim)
Kalau baca Hadis di atas itu, sudah tentu kamu akan faham erti dalam hadis tersebut. Islam tidak menyeru Umatnya berbuat kerosakan atau kekacauan.
Dalam ayat Al- Quran ada mengatakan bahawa Allah tidak suka orang yang membuat kerosakan atau kekacauan.
sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang berbuat kerosakan.(28:77)
ini kah yang dikatakan islamik?
Sunday, 9 December 2012
Hukum Potong Tangan
Dalam program Majlis Irfan dengan Hazrat Khalifatul masih Ar Rabi ra, seseorang menyampaikan satu pertanyaan kepada Beliau:” Didalam Al Qur’an Karim ada perintah untuk memberikan hukuman potong tangan bagi pencuri, mohon penjelasan, kapan saatnya hukuman (potong tangan) ini bisa diterapkan?
Huzur menjawab:” Saat ini seyogyanya tidak diterapkan hukuman seperti itu, karena kebanyakan orang adalah pencuri dan pembohong. Lingkungan masyarakat yang tidak terdapat ishlah didalamnya, mustahil syariat bisa diamalkan dalam lingkungan tersebut. Hal ini telah berkali-kali saya sampaikan kepada para kalangan terpelajar di Pakistan,“ Bagaimana kalian akan mengamalkan syariat dalam lingkungan seperti ini (Pakistan)? Apakah tangan setiap pencuri akan dipotong, sedangkan semuanya pencuri? mulai dari presiden sampai pada level bawah semuanya pencuri dalam perkara kepentingan mereka masing-masing. Bukan saya yang mengatakan hal tersebut, tapi para oposisi merekalah yang mengatakan seperti itu, karena apa hak saya untuk mengatakan bahwa pak presiden adalah pencuri. Benazir Bhuto lah (oposisi pada saat itu-Pent) yang mengatakan bahwa pak presiden adalah pencuri (Huzur sambil tersenyum dan hadirin pun tertawa).
Kalau hukuman itu diterapkan, maka partai politik yang menang dan mendapatkan tampuk kekuasaan di pemerintahan akan memotong tangan orang-orang yang berada di pihak oposisi mereka. Sebaliknya pada saat orang-orang yang bertangan buntung tadi menang dan mendapatkan tampuk kekuasaan di pemerintahan, lalu giliran merekalah yang akan memotong tangan orang-orang yang telah memotong tangan mereka sebelumnya (Hadirin tertawa). Bagaimana anda akan mengamalkan syariat, jika kebohongan sudah menjadi hal yang biasa. Seorang ketua mahkamah agung telah memberikan kesaksian bahwa:” Seumur hidup saya, tidak ada satupun kasus (yang beliau hadapi) yang didalamnya saksi atau pengacara atau penuntut memberikan kesaksian yang benar di pengadilan. Kebohongan pasti ada dalam setiap persidangan. Lantas, bagaimana mungkin bisa diterapkan hukuman potong tangan bagi para pencuri jika kondisinya seperti ini? Sekarang silahkan anda lewat di gang-gang di Pakistan dan kumpulkan empat saksi dengan memberikan imbalan 10.000 atau 20.000 rupees, tapi tidak usah terlalu besar karena sekarang nilainya sudah semakin turun, seribu rupees saja, untuk memberikan kesaksian palsu terhadap seorang perempuan yang tidak berdosa dengan memfitnah bahwa “kami telah melihat perempuan ini berbuat zina”, (seorang pendengar menyaut 5000 rupees saja, tapi kata pendengar yang lainnya 1000 rupees juga cukup). Dimana menyangkut kehormatan orang-orang yang tidak berdosa lantas disana para pembohong memberikan kesaksian palsu, maka pasti di tempat itu syariat tidak akan bisa berjalan.
Ketika syariat diterapkan pada zaman Rasulullah SAW, sebelumnya beliau SAW telah mengislah akhlak umat terlebih dahulu dan sebagian besar penduduknya sampai batas tertentu telah bersih dari keburukan. Pada masa itu (zaman Rasulullah) berkata bohong merupakan suatu keanehan sedangkan kejujuran merupakan hal yang biasa, tapi meskipun demikian tetap saja Rasulullah menetapkan peraturan untuk seseorang yang akan menjadi saksi, sampai-sampai jika diantara keempat orang saksi yang ditetapkan salah satu diantara mereka diketahui pernah buang air kecil di pojok pasar, maka menurut ilmu fiqih, kesaksian orang yang seperti itu tidak bisa diterima. Coba lihat di … (nama satu kota di Pakistan yang tidak jelas terdengar-Pent), Disana orang-orang biasa buang air kecil disetiap pojok gang-gang. Ketika kencing, giginya menggigit tali salwar (celana khas Pakistan) (hadirin tertawa).
Lihatlah kenyataan! Tidak cukup hanya sekedar mengatakan syariat-syariat! Kenapa saya berkata demikian, karena saya menyaksikan sendiri keadaan orang-orang ini, sambil kencing mulut mereka menggigit tali celana dan tangannya masuk kedalam celana, pemandangan yang sangat menjijikan, rasanya ingin muntah melihatnya. Dan lucunya, justru orang yang semakin lama memasukkan tangannya kedalam celananya, ternyata mereka adalah maulwi yang paling ditokohkan oleh umatnya (hadirin tertawa), padahal menurut Islam, kesaksian yang seperti itu adalah tidak jaiz .
Terjemahkan bebas oleh Mahmud Ahmad Wardi
Subscribe to:
Posts (Atom)