Saturday, 22 December 2012
Sistem Politik
Kedamaian Politik
Menurut H.M.T.Ahmad r.a., kedamaian politis adalah hal yang penting ditelaah, baik di tingkat nasional mau pun internasional. Sejauh menyangkut politik nasional, yang menjadi masalah pokok adalah sistem politik mana yang baik bagi manusia. Kita juga perlu menelaah apakah kegagalan sistem politik dan cacat ikutannya yang menjadi penyebab kesengsaraan dan kemarahan rakyat, ataukah ada sebab lainnya. Apakah sistemnya yang harus disalahkan atau mereka yang mengendalikannya? Apakah mungkin kepemimpinan politis tak bermoral, egoist, rakus dan korup yang mencapai jenjang kekuasaan melalui cara-cara demokratis itu memang baik dan bermanfaat bagi masyarakat dibanding sistem kediktatoran lunak? Agar dapat menegakkan dan menjamin kedamaian internasional, Islam dapat memberikan tuntunan bagi para politisi kontemporer. Islam sangat menekankan moralitas mutlak di semua aspek kegiatan manusia, tidak terkecuali di bidang politik.
Jangan Langsung Mencerca Sistem Politik Mana Pun
Kita awali dengan hasil observasi bahwa dalam Islam tidak ada ditentukan suatu sistem politik sebagai sistem yang paling baik dibanding yang lainnya. Memang benar bahwa Al-Quran mengemukakan sistem demokratis dimana para pemimpin dipilih oleh rakyat, namun ini tidak merupakan satu-satunya sistem yang direkomendasikan Islam. Juga tidak menjadi prerogatif dari suatu agama universal untuk memilih suatu bentuk sistem pemerintahan tanpa memperhatikan bahwa sulit menetapkan satu sistem tunggal yang dapat berlaku bagi semua daerah dan masyarakat di dunia. Demokrasi sendiri di negara yang paling maju pun belum mencapai tingkat penerapan sebagaimana visi politis para demokrat. Dengan bangkitnya kapitalisme dan pengembangan teknologi yang demikian maju di negeri-negeri kapitalis, pemilihan umum yang benar-benar demokratis belum dapat dilakukan di mana-mana. Tambahkan ke dalamnya masalah maraknya korupsi, munculnya kelompok Mafia dan kelompok penekan lainnya. Kita dapat menyimpulkan bahwa sistem demokrasi tidak berjalan aman bahkan di negeri yang katanya paling demokratis. Lalu bagaimana mungkin sistem ini cocok bagi Dunia Ketiga, seperti di Malaysia? Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa demokrasi Barat dapat berlaku di Afrika, Asia dan Amerika Latin atau negeri-negeri yang katanya negara Islam, sama saja dengan membuat pernyataan hampa dan tidak benar. Sepengetahuan beliau, ajaran Islam tidak pernah menolak suatu sistem politik apa pun di dunia dan Islam menyerahkannya kepada pilihan umat serta tradisi yang secara historis berlaku di tiap negeri. Yang ditekankan Islam bukanlah bentuk pemerintahannya, tetapi bagaimana pemerintah melaksanakan tugas-tugasnya. Sepanjang suatu sistem peraturan sejalan dengan idealisme Islam dalam pelaksanaan amanat kepada rakyat, berbagai sistem pemerintahan seperti feodalisme, monarki, demokrasi dan lain-lain dapat saja diakomodasikan dalam Islam.
Sistem Kerajaan
Sistem kerajaan atau monarki disebut beberapa kali dalam Al-Quran tanpa menyalahkannya sebagai suatu lembaga. Seorang nabi Israil mengingatkan kaum Tholut:
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Berkata nabi mereka kepada mereka: ‘Sesungguhnya Alloh telah mengangkat Tholut menjadi raja bagimu.’ Berkata mereka:‘Bagaimana ia akan berdaulat atas kami padahal kami lebih berhak berdaulat daripadanya dan ia tidak diberi berlimpah-limpah harta?’ Berkata ia: ‘ Sesungguhnya Alloh telah memilihmya berdaulat atasmu dan melebihkannya dengan keluasan ilmu dan kekuatan badan.’ Dan Alloh memberikan kedaulatan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Alloh Mahaluas pemberian-Nya, Maha Mengetahui. (Al-Baqoroh, 2: 248)
Monarki juga diungkit dalam pengertian lebih luas sebagai mereka yang jadi raja-raja:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَءَاتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ
Ingatlah tatkala Musa berkata kepada kaumnya: ‘Hai kaumku, ingatlah nikmat Alloh atasmu ketika Dia menjadikan nabi-nabi diantaramu dan menjadikan kamu raja-raja dan Dia memberikan kepadamu apa yang tidak diberikan kepada kaum lain di antara bangsa-bangsa.’ ( Al-Maidah, 5: 21)
Kerajaan yang diciptakan atau diperluas melalui penaklukan secara umum tidak disukai sebagaimana dikemukakan dalam ayat tentang Ratu Sheba ketika mengingatkan para penasihatnya:
قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ
Berkatalah ia, ratu itu: ‘Sesungguhnya raja-raja apabila mereka memasuki suatu negeri, mereka merusaknya dan penduduknya yang termulia mereka jadikan orang-orang paling hina. Dan demikianlah selalu mereka kerjakan.’ (An-Naml, 27: 35)
Raja-raja dapat bertabiat baik atau pun buruk, sama saja seperti perdana menteri atau presiden yang dipilih secara demokratis. Tetapi Al-Quran menyitir suatu kategori raja-raja yang memang ditunjuk oleh Alloh. Mereka adalah jenis bukan saja sebagai raja seperti dalam pemahaman Yahudi dan Kristen tetapi juga sebagai Rosul menurut Al-Quran sebagai contohnya Raja Sulaiman as. Hal ini menggambarkan bahwa kadang-kadang fungsi kenabian dan kerajaan dapat diemban oleh satu orang dan ia adalah raja yang ditunjuk langsung oleh Alloh. Dalam Al-Quran juga ada disebut bentuk kerajaan lain yang mendapat mandatnya dari seorang Rosul. Ayat berikut ini menggambarkan kenyataan tersebut:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Alloh dan taatlah kepada Rosul-Nya dan kepada orang-orang yang memegang kekuasaan di antaramu. Dan jika kamu berselisih mengenai sesuatu maka kembalikanlah hal itu kepada Alloh dan Rosul-Nya, jika kamu memang beriman kepada Alloh dan Hari Kemudian. Hal demikian itu paling baik dan paling bagus akibatnya. (An-Nisa, 4: 60)
Beliau mengemukakan ayat ini tidak saja untuk menggambarkan kategori bentuk kerajaan tetapi juga guna menekankan bahwa menurut Al-Quran kadang-kadang sistem demokrasi tidak selalu menjadi pilihan paling benar. Dalam sistem demokrasi dapat saja terjadi mayoritas rakyat tidak dapat menemukan nilai-nilai pokok dari kepemimpinan seorang dan akan memprotes jika yang bersangkutan dipaksakan dipilih sebagai pemimpin mereka. Berdasarkan semua kriteria politis, penunjukannya akan dianggap sebagai diktatorial. Mungkin untuk kepentingan publik yang bersangkutan memang baik tetapi opini umum tidak dapat menerimanya. Kelemahan inheren dari pemilihan secara demokratis adalah kenyataan bahwa rakyat melakukan pilihannya berdasarkan kesan-kesan impresi permukaan dan kinerja terakhir dari si calon, sedangkan nilai-nilai kepemimpinan sehat yang seharusnya ada malah sulit diketahui. Kita dapat melihat bahwa dalam sejarah umat yang dicintai Alloh, ada saat-saat dimana keselamatan politis mereka membutuhkan bantuan intervensi samawi. Pada saat demikian, Alloh sendiri yang menentukan pemilihan raja atau pemimpin. Dari sini jangan disimpulkan bahwa semua raja dan pemimpin umat adalah pilihan Alloh. Kesalah-fahaman seperti inilah yang umum terjadi dalam sistem pemerintahan abad menengah umat Kristen dan pandangan seperti ini tidak dianut Al-Quran. Contohnya ketika Raja Richard mengeluh:
Bahkan semua air laut yang menggelora pun tidak dapat mencuci minyak urap dari seorang raja yang diurapi. (Shakespeare)
disambung bahagian ke 2 akan datang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment