Wednesday, 8 August 2012

Beberapa Ciri Khas Islam Yang Istimewa


Tak Ada Monopoli Kebenaran 

Manakala berbicara mengenai masalah ciri-ciri khas Islam yang istimewa adalah, ciri khas pertama dan paling menarik yang menekankan satu hal, yang paling menarik bahwa Islam tak mendakwakan mempunyai monopoli kebenaran, dan bahwa tak ada kebenaran dalam agama-agama lain. Tidak pula ia mendakwa bahwa bangsa Arab saja yang telah menjadi penerima kasih sayang Tuhan. Islam merupakan satu-satunya agama yang secara total menolak pandangan bahwa kebenaran merupakan monopoli dari suatu agama, ras atau masyarakat tertentu; bahkan, ia mengakui bahwa petunjuk Ilahi adalah satu anugrah umum yang telah menghidupi umat manusia di segala zaman. Al-Qur’an memberitahu kita bahwa tak ada satu ras atau masyarakat, yang tidak diberkati dengan anugrah petunjuk Ilahi, dan tidak pula ada kawasan di bumi ini atau pun sekelompok masyarakat yang tidak menerima (diutus) nabi-nabi dan rasul-rasul Tuhan (35:35). 

Berlawanan dengan seluruh pandangan dunia ini Islam mengakui perwujudan Anugrah Allah atas semua orang di bumi ini, kita dikuatkan dengan kenyataan bahwa tak ada kitab atau agama lain mengakui atau bahkan menyebutkan kemungkinan orang-orang dan kaum-kaum lain telah menerima cahaya dan petunjuk dari Allah pada suatu babak dalam sejarah. Sebenarnya, kebenaran dan keabsahan agama setempat atau kedaerahan sering begitu besar ditekankan, dan kebenaran agama-agama lain diabaikan secara total, seakan-akan Tuhan menjaga hanya satu agama, satu kaum dan satu ras saja, mengasingkan seluruh penghuni lain dari bumi ini seakan-akan matahari kebenaran hanya terbit dan terbenam pada cakrawala terbatas dari satu kaum tertentu [maka] untuk dunia selebihnya, katakanlah, dilupakan dan dikutuk dalam kegelapan abadi. Misalnya, Al-kitab (Bibel) hanya mengemukakan Tuhan bangsa Israel, dan ia secara berulang-ulang mengatakan: 

“Maka beberkatlah Tuhan, Allah orang Israel.” (1Tawarikh 16:36). 

Ia tidak mengakui, bahkan secara sambil lalu, kebenaran wahyu agama-agama yang diberikan kepada negeri-negeri dan kaum-kaum lain. Maka, kepercayaan Yahudi bahwa para nabi Bani Israil saja yang diutus kepada suku-suku bangsa Israel adalah sepenuhnya sesuai dengan maksud dan pesan Al-kitab (Bibel). Nabi Isa juga menyatakan bahwa kedatangan beliau dimaksudkan untuk petunjuk suku-suku Ibrani saja, dan telah bersabda, 

“Aku diutus hanya kepada domba-domba yang sesat dari umat Israel” (Matius 15:24), 

dan beliau menasihati murid-murid beliau dengan kata-kata: 

“Jangan berikan kepada anjing barang yang suci, dan jangan memberikan mutiara kepada babi.” (Matius 7:6). 

Sama halnya, agama Hindu juga menisbahkan dalam kitabnya hanya kepada orang-orang dari golongan tinggi. Dikatakan, 

“Jika seorang dari golongan rendah (sudra) kebetulan mendengar satu kalimat dari Weda, Raja hendaklah menutup telinganya dengan lilin dan timah cair. Dan dia yang membaca sebagian dari kitab suci, lidahnya harus dipotong; dan jika dia terus membaca Weda, tubuhnya harus dipotong-potong.” (Gotama Smriti : 12). 

Bahkan jika kita tak mengakui pernyataan-pernyataan berlebih-lebihan seperti itu, atau menyodorkan beberapa penjelasan yang lebih sederhana dari pada mereka, kenyataannya tetap bahwa kitab-kitab suci berbagai agama, bahkan dengan isyarat, tidak menyinggung kebenaran agama-agama dari negeri-negeri dan kaum-kaum lain. Masalah pokok yang timbul di sini adalah, bahwa jika seluruh agama ini ternyata benar, maka apa hikmah menyajikan konsep Tuhan dalam istilah yang demikian ketat dan terbatas? Al-Qur’an siap menyediakan pemecahan masalah ini. Ia mengatakan bahwa bahkan sebelum pewahyuan Al-Qur’an dan kedatangan Nabi Suci Muhammad (s.a.w.), Utusan-utusan Ilahi sungguh telah diutus kepada setiap bangsa dan setiap bagian bumi, tapi lingkup mereka adalah kedaerahan dan tugas mereka terbatas zamannya. Ini karena peradaban umat manusia belum mencapai tahap perkembangan yang memanfaatkan pengutusan seorang rasul universal, yang membawa pesan universal. 

Sebuah Agama Universal 

Lembaran paling awal dari Al-Qur’an Suci memuji Tuhan Yang adalah Pemelihara seluruh dunia, dan dalam ayat-ayat terakhirnya mendorong kita untuk berdo’a kepada Tuhan manusia. Maka, kata-kata dari Al-Qur’an Suci yang awal dan yang akhir kedua-duanya menyajikan konsep keutuhan semesta, dan tidak [mengenai] Tuhan dari bangsa Arab atau orang-orang Muslim belaka. Sesungguhnya, tak seorang pun sebelum Nabi Suci Islam (s.a.w) telah mengisyaratkan seluruh umat manusia, dan tak sebuah kitab pun sebelum Al-Qur’an Suci telah merujuk pada seluruh dunia. Pertama pendakwaan seperti itu dibuat dalam menyokong Nabi Suci Islam (s.a.w.) dalam kata-kata: 

“Dan tidaklah Kami utus engkau melainkan sebagai pembawa kabar suka dan pemberi peringatan untuk seluruh umat manusia, tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS:34 : 29). 

Dan kemudian, 

“Katakanlah ‘Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah seorang rasul Allah untuk kamu sekalian’.” (7 : 159). 

Dan ketika Al-Qur’an menyebut dirinya 

“sebuah pesan untuk seluruh dunia” (QS:81:28), 

ia mengangkat dirinya sebagai petunjuk yang dihubungkan dengan perkembangan dan manfaat manusia yang sejati. 

Al-Qur’an secara berulang-ulang telah disebut sebagai ‘Pembukti’ kitab-kitab lain dan kaum muslimin diwajibkan untuk mempercayai semua nabi lain dengan cara yang tepat sama dengan mereka mempercayai nabi mereka sendiri. Dalam keimanan kita, adalah terlarang untuk membuat perbedaan di antara mereka, mempercayai sebagian dan mengingkari sebagian yang lain. Al-Qur’an mengatakan: 

”[Kami] semua beriman kepada Allah, dan malaikat-malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya [serta] berkata, ‘Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara rasul-rasul-Nya’.” (2 : 286). 

Tidak boleh tanpa guna untuk menerangkan jika ke-universal-an itu sendiri adalah satu ciri khas yang dapat diharapkan, dan mengapa Islam telah meletakkan tekanan yang demikian besar terhadapnya. Bahkan sejak Islam membawa pesan persatuan umat manusia, derap langkah ke arah persatuan seperti itu telah terus dipercepat pada setiap lapisan. Sebuah contoh dari langkah ini di zaman kita adalah berdirinya berbagai badan dan persatuan antar bangsa. Sesungguhnya, hal ini merupakan tonggak-tonggak sepanjang perjalanan yang panjang dan berliku-liku ke arah persatuan di kalangan seluruh umat manusia. Maka, keperluan yang dirasakan secara tajam oleh masyarakat yang maju dan beradab hari ini, telah digenapi dengan penanaman benih pemenuhannya dalam pesan Islam 1400 tahun yang lalu. Hari ini, tentunya, perkembangan perjalanan dan perhubungan yang cepat telah memberikan satu daya dorong baru yang bergerak ke arah persatuan di kalangan kaum-kaum dan bangsa-bangsa. 

Perbedaan Dan Pertentangan Di Antara Agama-Agama – Hakikatnya 

Satu pertanyaan yang timbul adalah; jika seluruh agama sebenarnya didirikan oleh para utusan dari Tuhan, maka mengapa ada perbedaan-perbedaan dalam ajaran-ajaran mereka? Dapatkah Tuhan yang sama menurunkan ajaran-ajaran yang berbeda? Pertanyaan ini dijawab oleh Islam saja, dan hal ini, juga, merupakan satu ciri khas istimewa dari agama ini. Islam berpegang bahwa ada dua penyebab dasar perbedaan-perbedaan antara berbagai agama. Pertama, bahwa keadaan-keadaan berbeda menghendaki ketentuan dan aturan yang berbeda, dan Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana telah menyediakan petunjuk untuk zaman, kawasan dan kaum-kaum yang berbeda menurut keperluan-keperluan mereka masing-masing. Kedua, kandungan-kandungan [ajaran] berbagai agama memudar dan layu di bawah pengaruh zaman, sehingga ajaran-ajaran itu tidak tampil dalam bentuk aslinya. Dalam beberapa hal, para pengikutnya sendiri memperkenalkan bid’ah-bid’ah (tambahan-tambahan) dan perubahan-perubahan untuk menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan yang berubah, dan kitab-kitab yang asalnya diwahyukan terus dicampur tangani untuk tujuan ini. Secara nyata, penodaan pada Pesan Ilahi semacam itu akhirnya memerlukan petunjuk yang segar (baru) dari Sumber Asli. Sebagaimana Tuhan telah berfirman dalam Al-Qur’an: 

“Mereka menyelewengkan kalimat-kalimat dari tempat-tempat yang selayaknya dan telah melupakan bagian yang baik yang dengannya mereka dinasihati.” (QS:5:14). 

Jika kita uji sejarah perbedaan-perbedaan antara berbagai agama dengan cahaya prinsip-prinsip yang diterangkan oleh Al-Qur’an, kita jumpai bahwa perbedaan-perbedaan cenderung berkurang sebab kita menuju lebih dekat ke sumbernya sendiri. Misalnya, jika kita batasi perbandingan ajaran Kristen dan Islam hanya pada kehidupan Yesus (Nabi Isa) dan empat kitab Injil, maka hanya akan tampak perbedaan-perbedaan yang sangat kecil (sedikit) antara ajaran-ajaran pokok Al-kitab (Bibel) dan Al-Qur’an. Tapi, karena kita melangkah lebih jauh dalam perjalanan zaman, jurang perbedaan-perbedaan ini menjadi lebih lebar dan makin lebar, hingga hal itu menjadi tak terjembatani secara total – dan semua karena usaha-usaha manusia untuk mengubah apa yang awalnya diwahyukan. Sejarah agama-agama lain juga mengungkapkan kenyataan yang pada dasarnya sama, dan kita menjumpai bukti-bukti kuat dari pandangan Al-Quran, yang menunjukkan perubahan dan campur tangan manusia pada Pesan Ilahi, yang selalu berupa dari penyembahan kepada Satu Tuhan menjadi lebih dari satu, dan dari kenyataan menjadi khayalan, dari kemanusiaan menjadi pendewaan manusia. 

Al-Quran memberi tahu kita bahwa cara yang paling pasti untuk mengenali kebenaran agama, meskipun nyata kekurangannya, adalah menguji asal mulanya. Jika asalnya mengungkapkan ajaran keesaan Tuhan, tidak menyembah kecuali kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta kepedulian sejati dan ikhlas kepada seluruh umat manusia, maka agama seperti itu, walaupun nyata-nyata berubah, mesti diterima (diakui) sebagai [agama yang] benar. Para pendiri (pembawa) agama yang memenuhi persyaratan ini, adalah benar-benar wujud suci dan saleh, serta utusan-utusan sejati yang diutus oleh Tuhan, di antara mereka kita hendaknya tak membuat perbedaan dan terhadap mereka kita wajib beriman sepenuhnya. Mereka mempunyai tanda-tanda dasar yang pasti untuk semua tanpa memandang perbedaan zaman dan tempat. Maka uraian Al-Qur’an Suci: 

Terjemahan: Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah, dengan ikhlas kepada-Nya dalam ketaatan, dan lurus, dan mendirikan shalat, dan membayar zakat. Dan itulah agama kaum yang menempuh jalan yang lurus. (QS:98:6). 

Sebuah Agama Abadi 

Satu ciri khas istimewa Islam lainnya adalah, bahwa ia tidak hanya mendakwakan ciri khas universalnya, tapi juga adalah abadi, dan kemudian ia selanjutnya memenuhi syarat pendakwaan seperti itu. Misalnya, sebuah pesan dapat menjadi abadi hanya jika ia lengkap dan sempurna dalam segala segi, dan juga dijamin dengan pemeliharaan untuk kemurnian isi kandungannya. Dengan kata lain, kitab yang diwahyukan itu hendaklah membawa jaminan Ilahi perubahan dan campur tangan manusiawi. Sejauh hubungannya dengan ajaran Al-Quran, Allah Ta’ala Sendiri menyatakan dalam Al-Quran: 

“Hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan telah Aku ridhai bagi kalian Islam sebagai agama.” (QS:5:4). 

Pemeliharaan Al-Qur’an 

Seperti telah saya katakan, untuk satu ajaran yang abadi, hal itu tidak cukup bahwa ia harus lengkap dan sempurna belaka, melainkan hendaklah ada juga satu jaminan untuk penjagaannya yang terus-menerus dalam bentuk aslinya. Al-Qur’an memenuhi tuntutan mendasar ini, dan Dia Yang menurunkan Al-Quran telah menyatakannya dalam bahasa yang sejelas-jelasnya: 

“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan kitab ini dan sesungguhnya Kami menjadi Penjaga baginya.” (QS:15:10) 

Dengan kata lain, Tuhan Sendiri akan menjaganya dan tak akan pernah membiarkannya dicampur tangani. Satu cara pemeliharaan teks telah diadakan, yang sesuai dengan Kehendak Ilahi, telah selalu ada ratusan ribu orang di sepanjang masa yang menetapkan teks Al-Qur’an untuk dihafalkan, dan amalan ini berlanjut hingga hari ini. Dan cara pemeliharaan yang prinsip ini benar-benar penting dan isi kandungan pesan itu telah menjadi sunnah Ilahi dengan mengangkat Para Pembimbing dan Mujaddid di setiap abad, dan menubuatkan kedatangan seorang Mujaddid dan Pembaharu Agung di akhir zaman. Beliau diutus sebagai pemimpin ruhani oleh Allah Ta’ala Sendiri dan di bawah petunjuk Ilahi, adalah untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan dan persengketaan di kalangan para pengikut Islam, dengan demikian menjaga ruh Al-Qur’an Suci yang hakiki. 

Tentu saja, ada persoalan mengenai apakah pendakwaan Al-Quran tentang pemeliharaannya juga disokong oleh bukti nyata yang dapat dipercaya. 

Satu petunjuk untuk menjawab pertanyaan ini terletak pada kenyataan bahwa ada sejumlah besar peneliti non Muslim yang, walaupun mereka [lakukan] sendiri, telah gagal total untuk menunjukkan bahwa teks Al-Qur’an telah dicampur tangani sedikit pun sesudah wafatnya Nabi Suci Islam (s.a.w.). Sebenarnya, ada banyak peneliti non Muslim yang telah merasa terdorong, sesudah penelitian luas mereka di bidang ini, untuk mengakui secara terbuka bahwa Al-Qur’an sungguh telah terpelihara dan terjaga dalam bentuknya yang asli. Misalnya, Sir William Muir dalam karyanya, The Life Of Muhammad, berkata: “Kita boleh, berdasarkan dugaan terkuat, yakin bahwa setiap ayat adalah susunan yang asli dan tak berubah dari Muhammad sendiri.” (P. XXVIII) Juga, “Sebaliknya ada setiap penjagaan, luar dan dalam, bahwa kita memiliki teks yang Muhammad sendiri berikan dan gunakan.” (P. XXVII) Kata Noldeke: “Sedikit kesalahan tulis mungkin ada, tapi Al-Qur’an dari Usman mengandung tak lain dari pada unsur-unsur asli, meskipun kadang-kadang dengan cara yang sangat aneh. Usaha-usaha para cendekiawan Eropa untuk membuktikan adanya tambahan-tambahan kemudian dalam Al-Qur’an telah gagal.” (Enc. Brit. 9th Edition under the word: Quran). 

Sebuah Agama Yang Sempurna 

Sehubungan dengan keistimewaan Islam dan pendakwaannya yang khas bahwa ajaran Al-Qur’an adalah lengkap dan sempurna dan sepenuhnya sesuai untuk menuntun manusia di segala zaman, hal ini, juga, disokong dengan dalil. Tidak mungkin dalam waktu yang singkat untuk membahas masalah ini secara rinci, dan saya terpaksa membatasi diri dengan satu rujukan ringkas pada beberapa petunjuk prinsip dasar dan contoh gambaran. Pertama, kita harus mengakui betapa Islam berhasil memenuhi tuntutan-tuntutan perubahan zaman, maka tidak perlu suatu perubahan dalam ajaran-ajarannya. Hal itu sungguh mengagumkan untuk mengkaji petunjuk praktis Islam dalam hubungan ini, yang darinya kini saya akan berikan satu contoh belaka di hadapan saudara-saudara: 

Hanya Islam yang mengajarkan prinsip-prinsip dasar dan menghindarkan penjelasan terperinci sebab akan memerlukan banyak [keterangan] untuk mengatasi perubahan zaman dan suasana.
Islam sepenuhnya sesuai dengan evolusi akal, kemasyarakatan dan politik manusia, dan ajaran-ajarannya memenuhi untuk segala suasana. Ia tidak hanya mengakui kenyataan bahwa terjadi perubahan dan perkembangan terus-menerus di kalangan bangsa-bangsa, melainkan juga kenyataan bahwa tidak semua kaum tetap dalam keadaan perkembangan mereka pada suatu masa. Misalnya, adalah mungkin bahwa bumi ini masih ada bagian yang dihuni oleh masyarakat Zaman Batu, dan sebagian kaum dan suku mungkin masih berada seribu tahun di belakang zaman kita, bahkan meskipun kita mengalami zaman yang sama. Akal, sosial dan politik mereka mungkin berasal dari zaman yang jauh di belakang. Saya yakin kita semua akan setuju bahwa akan sangat bodoh untuk memaksakan ideologi politik modern kepada penduduk asli Australia, atau Pigmi di Kongo (Afrika).
Islam adalah satu agama yang menentramkan fitrat manusia dan memenuhi segala keperluan umat manusia. Tak perlu ada perubahan dalam ajaran-ajarannya, jika tidak ada juga perubahan mendasar dalam fitrat manusia, sebuah prospek yang dapat kita tolak sama sekali.
Inilah beberapa segi dari prinsip-prinsip ajaran Islam; saya kini akan membahasnya agak lebih jauh supaya penyajian saya boleh dipahami lebih banyak. 

Zakat Vs Riba 

Islam mengutuk lembaga riba (uang bunga) dalam segala bentuknya dan secara kuat mendorong penghapusannya secara keseluruhan. Dengan dorongan kuat ia menyediakan pengganti riba, untuk menggerakkan roda ekonomi, yang disebut zakat. Secara jelas, saya tidak dapat menjelaskan masalah ini dengan rinci dalam waktu yang tersedia, dan oleh sebab itu, hanya akan mengatakan beberapa patah kata atas dasar yang diambil oleh Al-Quran untuk menyajikan inti sari dari ajaran-ajarannya pada kesempatan penting ini. Zakat adalah satu sistem modal pajak, diwujudkan (diambil) dari orang-orang kaya. Selain dari memenuhi keperluan-keperluan negara, pajak ini dimaksudkan untuk memenuhi keperluan-keperluan kaum miskin. Dengan kata lain, sistem ini bukan hanya memenuhi tuntutan-tuntutan kerja pemerintah, melainkan juga menjamin pemenuhan tuntutan keperluan kesejahteraan sosial. Semua itu telah dikerjakan untuk meletakkan prinsip dasar, meninggalkannya kepada mereka dengan pengertian dan pemahaman untuk menetapkan perinciannya sesuai dengan keadaan yang timbul pada waktu yang ditetapkan. Al-Qur’an mengatakan bahwa dalam harta kekayaan mereka yang memiliki lebih banyak dari pada keperluan-keperluan pokok mereka, juga ada bagian untuk mereka yang tidak mampu memenuhi keperluan-keperluan pokok mereka dan dianggap tertekan dalam lingkungan mereka. Ini secara jelas menguatkan bahwa merupakan hak setiap orang untuk mendapatkan keperluan-keperluan dasar hidup tertentu yang disediakan untuknya di setiap kawasan dan masyarakat, dan mereka yang bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban ini adalah orang-orang yang memiliki lebih dari pada keperluan-keperluan pokok mereka, menyerahkan kepada negara untuk memutuskan pelaksanaannya, yang menjamin bahwa sistem itu seimbang, adil serta layak dan secara memadai memenuhi tujuan pokoknya. 

Petunjuk-Petunjuk Dalam Masalah Politik 

Persoalan besar internasional lainnya yang kita hadapi hari ini adalah penetapan bentuk pemerintahan yang diberikan untuk satu kawasan atau Negara. Di sini, juga, prinsip-prinsip petunjuk Islam adalah begitu berkaitan, berbobot dan luwes (tidak kaku) sehingga kebenaran dan pengamalannya sendiri menjadi bukti nyata. Tak seorang pun dapat mengingkari bahwa satu bentuk pemerintahan tertentu dipertimbangkan sesuai atau tak sesuai hanya apabila diterapkan keadaan-keadaan tertentu, adalah khayalan untuk memikirkan bahwa satu sistem politik tertentu dapat memenuhi keperluan-keperluan setiap kaum untuk segala zaman. Inilah sebabnya mengapa Islam tidak mengkhususkan satu bentuk pemerintahan tertentu. Ia tidak menyajikan bentuk demokrasi atau sosialis, tidak pula mengusulkan kerajaan atau diktator. Bahkan memperluas cara-cara pemerintahan yang berdiri, Islam menerangkan prinsip pelaksanaan urusan-urusan politik dan pemerintahan dengan cara yang khas, dan menentukan syarat bahwa, tak masalah apa pun bentuknya, tanggung jawab pemerintah akan selalu diwajibkan dengan [bertindak] secara adil dan wajar, dengan simpati; selalu memenuhi dan menjunjung hak-hak asasi manusia. Maka, Al-Qur’an dari pada menekankan bagian pertama definisi demokrasi yang diterima secara umum, yakni, 

“pemerintahan oleh rakyat:, Islam menekankan bahwa, apa pun bentuk pemerintahan, ia wajib dalam semua kejadian adalah: untuk rakyat.” 

Maka apabila demokrasi disebutkan di antara bentuk-bentuk pemerintahan yang sungguh-sungguh menekankan kualitasnya. Ditekankan bahwa itu hendaknya tidak merupakan satu demokrasi palsu, tapi seharusnya bahwa orang-orang yang dipilih [jadi] pemimpin mereka adalah orang-orang yang mampu, berniat dengan segala kejujuran untuk memilih hanya mereka yang benar-benar layak dan mampu bertugas. Hal ini telah dijadikan prasyarat untuk pemilihan satu jabatan oleh Al-Qur’an. Dikatakan: 

“Sesungguhnya, Allah memerintahkan kalian untuk menyerahkan amanat kepada yang berhak menerimanya dan ketika kalian memutuskan di antara manusia maka putuskanlah dengan adil.” (QS:4:59). 

Dan kemudian, apa pun hasil pemerintahan yang mungkin berdiri, ia berkewajiban untuk memerintah dengan adil, tanpa membeda-bedakan ras, warna kulit, atau keturunan. 

Kini saya akan menyimpulkan secara singkat aturan-aturan yang berasal dari dasar-dasar yang diberikan dalam Al-qur’an mengenai sistem pemerintahan: 

Suatu pemerintahan terikat kewajiban untuk melindungi kehormatan, kehidupan dan harta benda rakyatnya.(1)
Seorang penguasa wajib bertindak dengan adil, di antara pribadi-pribadi dan di antara masyarakat (2)
Masalah-masalah kaum hendaknya ditetapkan dengan musyawarah.(3)
Pemerintah wajib mengatur untuk memenuhi keperluan-keperluan pokok manusia: katakanlah, menyediakan makanan, pakaian dan tempat tinggal.(4)
Masyarakat hendaklah disediakan lingkungan yang aman dan damai, serta kehidupan, harta dan kehormatan mereka dilindungi.(5)
Sistem ekonomi hendaknya seimbang dan teratur.5)
Pelayanan kesehatan hendaknya ditetapkan.5)
Hendaklah ada kebebasan agama sepenuhnya.(6)
Kaum yang ditaklukkan wajib diperlakukan dengan adil.(7)
Tawanan perang hendaklah diperlakukan dengan cinta kasih.(8)
Perjanjian dan persetujuan wajib dihormati.(9)
Perjanjian-perjanjian berat sebelah tidak boleh dipaksakan atas pihak yang lemah.9)
Warga-warga Muslim diwajibkan taat kepada pemerintah yang berkuasa. Satu-satunya kekecualian untuk aturan ini adalah pada perkara dimana pemerintah secara nyata menentang dan mencegah pengamalan kewajiban agama.(10)
Jika timbul perbedaan dengan penguasa, maka hal ini harus dikembalikan dengan berpedoman pada prinsip yang ditetapkan Al-Qur’an dan Nabi Suci (s.a.w.). Tak seorang pun akan diarahkan dengan niat pribadi.(11)
Masyarakat digalakkan untuk membantu penguasa dengan menyokong rancangan-rancangan yang bertujuan untuk meningkatkan kebaikan dan kesejahteraan umum. Adalah terlarang untuk melancarkan apa yang disebut gerakan non-koperasi.(12) Sama halnya, pemerintah juga diwajibkan untuk membantu dalam tindakan-tindakan yang bermanfaat, apakah secara perorangan atau kelompok, dan jangan menghalangi usaha-usaha semacam itu.
Suatu Negara dilarang melakukan tindakan agresi terhadap Negara lain: pengadaan persenjataan diizinkan hanya untuk mempertahankan diri.(13)
Konsep Keadilan Islam 

Saya kini akan mengutip beberapa contoh prinsip Islam yang penting yang mungkin perlu penekanan-penekanan khusus di dunia hari ini. Perhatian awal ajaran Islam pada persamaan dan keadilan. Agama-agama lain tidak menyajikan pengarahan yang mantap mengenai peraturan keadilan dan persamaan, dan bahkan tidak menyebutkan hal ini sama sekali, yaitu dalam istilah-istilah secara sederhana yang dapat diterapkan pada kita sekarang. Sebenarnya, sebagian dari ajaran-ajaran ini tampak bertentangan secara langsung dengan akal dan perasaan kita masa kini, dan seseorang tidak dapat menyimpulkan kecuali bahwa ajaran-ajaran ini telah rusak atau hanya dimaksudkan untuk tempat dan zaman tertentu. Sebagaimana ajaran Yahudi mengemukakan Tuhan hanya sebagai Tuhan bangsa Israel dengan mengecualikan semua manusia lainnya – maka tak heran, bahwa hal itu bahkan tidak sesuai dengan persoalan pokok Hak Asasi Manusia juga. 

Untuk Hindu tampak sepenuhnya bahwa tidak hanya berlawanan dengan non Hindu tapi juga kepada kaum Hindu dari kasta rendah, mempersempit lingkup kasih sayang Tuhan kepada kelompok yang lebih kecil dari umat manusia. Ajaran Hindu menetapkan: 

“Jika seorang Brahmana tak dapat mengembalikan pinjaman kepada seseorang dari kasta yang lebih rendah, yang lain tak punya hak menuntut pengembaliannya. Tapi jika seseorang dari kasta yang rendah tak dapat mengembalikan pinjaman yang diambil dari seorang Brahmana, dia akan dipekerjakan sebagai buruh untuk Brahmana itu hingga waktunya dia dapat membayar kembali hutang sepenuhnya.” (Manu Smriti 10:35). 

Lagi, dalam ajaran Yahudi kita gagal untuk melacak satu konsep keadilan terhadap seorang musuh. Dikatakan: 

“Dan Tuhan, Allah-mu, telah menyerahkan mereka kepadamu, sehingga engkau memukul mereka kalah, maka haruslah kamu menumpas mereka sama sekali. Janganlah engkau mengadakan perjanjian dengan mereka dan janganlah engkau mengasihani mereka“.(Ulangan 7:2) 

Saya kini akan, dengan cara perbandingan, mengutip beberapa contoh ajaran Islam dalam bidang yang sama. Al-Qur’an memerintahkan – dan saya kutip: 

Dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kalian menetapkannya dengan adil. (QS 4:59).
Jadilah kalian penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun bertentangan dengan diri kalian sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabat kalian. (QS 4:136).
Dan janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Sebab adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS 5:9).
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tapi jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS 2:191).
Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS 8:62).
Contoh lain saya ingin mengutip ajaran-ajaran Islam yang abadi berkenaan dengan pembalasan (hukuman) dan pemaafan (pengampunan). Ketika kita membandingkan ajaran-ajaran Islam dalam lingkup ini dengan apa yang ada pada agama-agama lain, kita seketika didorong oleh perintah Perjanjian Lama: 

“Mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki“ (Keluaran 21:24). 

Tanpa keraguan, penekanan pada pembalasan tidak hanya menyebabkan keheranan, melainkan juga menyedihkan hati kita. Bagaimanapun, saya mengutip contoh ini bukan untuk mengritik ajaran [agama] lain, tapi untuk menunjukkan bahwa, ketika memandang dengan cahaya prinsip Al-Qur’an, bahkan ukuran-ukuran yang begitu drastis kadang-kadang dibenarkan. Al-Qur’an, dengan demikian membantu kita dalam menyikapi pertentangan ajaran-ajaran dari agama-agama lain dengan jiwa simpati dan pengertian, yang juga merupakan ciri khas Islam yang istimewa. Menurut Al-Qur’an, penghapusan hukuman sepenuhnya hanya diputuskan untuk menghadapi keperluan-keperluan khusus pada masanya. Ini perlu untuk memberi hati kepada Bani Israil untuk membuat mereka berani menuntut hak-hak mereka sesudah mereka tetap menjadi korban dan diperbudak dalam masa yang panjang, dan sebagai hasilnya, menjadi penakut dan berubah menjadi kaum yang rendah diri. Secara nyata, dalam suasana demikian, akan tidak tepat untuk menekankan pemaafan, sebab itu hanya akan menjadikan Bani Israil tenggelam lebih dalam pada keadaan mereka dan tidak memberikan mereka rasa percaya diri dan keberanian untuk memutuskan ikatan belenggu keputus asaan. Ajaran ini, oleh sebab itu, benar dan tepat dalam suasana yang diperlukan, dan sungguh diberikan oleh Tuhan Yang Maha Bijaksana. Sebaliknya, ketika kita renungkan Perjanjian Baru, kita jumpai bahwa ada pertentangan dengan Kitab Suci sebelumnya, ia menekankan pengampunan sampai suatu batas yang secara total menghilangkan hak Bani Israil untuk melakukan pembalasan apa pun juga. Dasar yang sebenarnya untuk hal ini adalah bahwa pengamalan ajaran terdahulu selama rentang masa yang panjang, Bani Israil telah menjadi keras hati dan ganas, dan ini hanya dapat diobati dengan mencabut hingga waktu tertentu hak mereka untuk melakukan pembalasan. Inilah sebabnya Nabi Isa (Yesus) memperingatkan mereka: 

“Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. “(Matius 5:38-40). 

Islam menetapkan dua ajaran yang saling berlawanan ini sebagai saling melengkapi, masing-masing sesuai untuk keadaan dan suasana zaman yang ditetapkan, dan oleh sebab itu, tidak dapat mendakwakan sebagai universal atau abadi. Dan hal ini sepenuhnya memberikan dalil, karena manusia masih akan berkembang maju melalui tahap-tahap perkembangan terdahulu dan belum menjadi satu kaum yang dapat dibebani satu hukum syariat terakhir dan universal. Kita percaya bahwa Islam adalah syariat terakhir itu dan menyajikan satu ajaran yang tidak dipengaruhi oleh tempat atau waktu yang kenyataannya dilukiskan oleh ajarannya sebagai bahan pertimbangan (renungan). Al-Qur’an mengatakan: 

“Dan balasan suatu kejahatan adalah hukuman yang setimpal, tetapi barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik [kepada orang yang berbuat jahat] maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS:42:41). 

Maka Islam menggabungkan unsur-unsur terbaik kedua ajaran terdahulu, dengan tambahan penting bahwa pemaafan (pengampunan) diberikan jika menghasilkan suatu perubahan dan perbaikan orang yang bersalah itu, sehingga menjadi tujuan yang benar. Jika tidak, maka hukuman perlu dilakukan, tapi tidak melebihi batas kesalahan [yang dia lakukan]. Sesungguhnya, petunjuk ini sepenuhnya sesuai dengan fitrat manusia dan dapat diamalkan hari ini seperti juga ketika diwahyukan empat belas abad yang lampau. 

Beberapa Keistimewaan Lainnya 

Pembahasan ciri-ciri khas Islam yang istimewa merupakan satu hal yang sangat luas, dan saya telah dapat menerangkan hanya beberapa segi yang telah saya pilih untuk penyajian ini. Waktu tak akan mengizinkan lebih lama dari pada menerangkan beberapa segi tertentu lainnya yang saya tidak ingin lewatkan: 

Islam meyakini Tuhan sebagai Pencipta alam semesta dan menghadirkan Ketunggalan-Nya dalam istilah-istilah yang jelas, berbobot dan menyentuh hati dan akal. Islam menyebut Tuhan sebagai Wujud Yang Sempurna, sumber segala kebaikan dan bebas dari segala kekurangan. Dia adalah Tuhan Yang Hidup menampakkan Kebesaran-Nya di setiap tempat dan Yang mencintai makhluk-makhluk-Nya dan mendengarkan permohonan-permohonan mereka. Tak satu pun dari sifat-Nya berhenti bekerja; Dia, oleh sebab itu, berhubungan dengan manusia seperti dahulu juga, dan tidak menghalangi jalan untuk mencapai Dia secara langsung.
Islam meyakini bahwa tak ada pertentangan antara firman Tuhan dan perbuatan-Nya. Maka, hal itu membebaskan kita dari persaingan tradisional antara ilmu pengetahuan dan agama, dan tidak menuntut manusia untuk mempercayai sesuatu melampaui hukum alam yang ditetapkan-Nya. Dia menggalakkan kita untuk merenungkan [kejadian] alam dan menjadikannya bermanfaat, sebab segala sesuatu telah diciptakan untuk manfaat bagi manusia.
Islam tidak membuat pendakwaan-pendakwaan kosong atau pun memaksa kita untuk mempercayai apa yang kita tidak pahami. Ia menyokong ajaran-ajarannya dengan dalil-dalil dan keterangan, memuaskan akal kita dan juga kedalaman ruh kita.
Islam tidak berdasarkan pada mitos atau dongeng. Ia mengajak setiap orang untuk mengalami sendiri dan berpegang bahwa kebenaran selalu dapat dibuktikan, dalam satu atau lain bentuk.
Kitab Suci Islam yang diwahyukan adalah khas, yang membedakannya dari seluruh agama lainnya. Meskipun mereka berusaha selama berabad-abad, para penentangnya tidak dapat menandingi bahkan sebagian kecil pun dari Kitab luar biasa ini. Kelebihannya tidak hanya terletak pada keunggulan sastranya, tetapi juga dalam kesederhanaan dan bobot ajaran-ajarannya. Al-Qur’an mengumumkan bahwa ia merupakan ajaran terbaik – satu pendakwaan yang tak dibuat oleh Kitab wahyu lainnya.
Al-Qur’an mendakwakan bahwa ia menggabungkan ciri-ciri khas terbaik dari kitab-kitab suci sebelumnya, dan semua ajaran yang berlanjut dan berbobot telah dihimpun di dalamnya. Al-Qur’an mengatakan: ”Di sinilah perintah-perintah terakhir.” dan ”Sesungguhnya ini terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, [yaitu] kitab-kitab Ibrahim dan Musa.”
Satu ciri khas Islam yang istimewa adalah bahwa Kitab Sucinya mempunyai satu bahasa yang hidup. Tidakkah luar biasa bahwa semua bahasa dari kitab-kitab suci lain telah mati atau tak digunakan lagi secara umum? Sebuah kitab yang hidup, tampaknya, haruslah ada dalam bahasa yang hidup dan tahan uji.
Sebuah ciri khas lain dari Islam adalah bahwa Nabinya telah melalui setiap tahap yang dapat dibayangkan pengalaman manusia, bermula dari masa kanak-kanak yang penuh derita dan yatim serta berakhir sebagai penguasa kaum yang tak tergoyahkan. Kehidupan beliau telah tercatat dengan sangat rinci dan mencerminkan keimanan yang tak ada taranya kepada Tuhan serta pengorbanan yang dawam di jalan-Nya. Beliau menjalani kehidupan yang sempurna dan menarik dengan amal perbuatan, dan meninggalkan contoh-contoh amal perbuatan yang sempurna dalam setiap segi kehidupan manusia. Hanya inilah yang tepat dan layak, sebab beliau merupakan tafsir Al-Qur’an yang hidup, dan dengan contoh pribadi menerangi jalan manusia untuk masa-masa mendatang – suatu peranan yang tidak dipenuhi oleh nabi-nabi lain secara memuaskan.
Satu ciri khas Islam lainnya adalah banyak nubuatan (khabar ghaib)-nya yang telah terpenuhi sepanjang zaman dan telah menguatkan kembali iman para pengikutnya tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Hidup. Proses ini berlanjut hingga hari ini, seperti yang disaksikan dengan penemuan tubuh yang diawetkan dari Fir’aun yang mengejar Musa (a.s.) dan kaum beliau keluar dari Mesir. Contoh segar lainnya dari Nubuatan Al-Qur’an adalah mengenai pengembangan alat-alat penghancur yang baru, dimana api akan dikunci dalam partikel-partikel kecil yang akan mengembang dan meningkat sebelum meledak dengan satu kekuatan yang akan menyebabkan gunung-gunung hancur.
Satu ciri khas lain dari Islam adalah, bahwa ketika mengatakan mengenai akhirat dan hidup sesudah mati, ia juga menubuatkan kejadian-kejadian masa depan di dunia ini, yang penggenapannya menguatkan iman para pengikutnya akan kehidupan sesudah mati.
Islam adalah menonjol dari agama-agama lain dalam menyediakan aturan-aturan yang berbobot dalam urusan-urusan pribadi, masyarakat dan antar bangsa. Petunjuk-petunjuk ini sesuai untuk segala suasana yang dapat dibayangkan dan termasuk hubungan antara tua dan muda, majikan dan buruh, antara anggota-anggota keluarga, antara kawan dan rekan, dan bahkan antara musuh-musuh. Perintah dan prinsip yang ditetapkan adalah benar-benar universal dan telah teruji sepanjang zaman.
Islam mengumumkan persamaan penuh di kalangan umat manusia, tanpa memandang perbedaan kasta, keturunan dan warna kulit. Satu-satunya ukuran kemuliaan yang diterima adalah ketakwaan, bukan keturunan, kekayaan, ras ataupun warna kulit. Al-Qur’an mengatakan: ”Sungguh, yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS 49:14). Dan juga: ”Dan barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedangkan dia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tidak terhingga.” (QS 40:41).
Islam menyajikan batasan (pengertian) baik dan jahat yang membedakannya dari agama-agama lain. Ia tidak memandang hasrat-hasrat alami manusia sebagai kejahatan; ia hanya menyebut pemenuhan hasrat yang berlebihan dan tak layak itu sebagai kejahatan. Islam mengajarkan bahwa kecenderungan-kecenderungan alami kita hendaknya diatur dan disalurkan supaya menjadi konstruktif dan bermanfaat bagi masyarakat.
Islam tidak hanya menjadikan wanita berhak mewarisi harta, melainkan juga memberikan mereka hak yang setara dengan laki-laki, tetapi tidak dengan cara yang akan melecehkan kekhususan jasmani mereka dan tanggung jawab khusus mereka dalam melahirkan dan mengasuh anak-anak.
Agama Perdamaian 

Terakhir, saya akan memberikan kepada semua pencari perdamaian kabar gembira bahwa Islam sajalah agama yang menjamin perdamaian di semua lingkungan dan pada semua lapisan; pribadi, masyarakat, ekonomi, bangsa dan antar bangsa. Islam sajalah yang menyandang nama, yang makna harfiahnya adalah ’damai’, dan orang yang menjadi seorang Muslim, tidak hanya memasuki suasana damai bagi dirinya tapi juga menjamin hal itu untuk yang lain, dan menghindari perbuatan-perbuatan yang dapat membawa kekacauan dan kerusuhan. Nabi Suci (s.a.w.) bersabda bahwa seorang Muslim adalah dia yang tidak menyakiti orang lain dengan perkataan dan perbuatannya (Bukhari – Kitabul Iman). Pidato Rasulullah (s.a.w.) yang disampaikan secara singkat sebelum kewafatan beliau, dan sesudah melaksanakan apa yang kemudian disebut sebagai Haji Perpisahan, merupakan piagam perdamaian abadi bagi seluruh umat manusia. Islam menggalakkan perdamaian bukan hanya di antara manusia, tapi juga antara manusia dan Pencipta mereka, sehingga tidak hanya orang-orang lain selamat dari perkataan dan perbuatan seorang Muslim, melainkan dia juga selamat dari kemurkaan dan kutukan Tuhan – sebagai balasan yang diterima akibat berbuat pelanggaran. Maka, kedamaian seorang Muslim berbuah di dunia ini dan juga berlanjut ke akhirat. 

Ajaran Islam, jika diikuti oleh bangsa-bangsa di dunia ini, sepenuhnya mampu menyelamatkan mereka dari kekacauan dan kehancuran. Islam merupakan agama yang hidup dan menyatakan mampu untuk menempatkan hubungan manusia dengan Tuhan dengan rencana yang sama seperti di masa lalu. Islam tidak menganggap wahyu dan hubungan dengan Tuhan sebagai sesuatu [yang dapat terjadi hanya di] masa lalu. Ia mempercayai bahwa derajat-derajat ruhani yang dilimpahkan kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan, di atas mereka semua, Nabi Islam (s.a.w.), adalah masih terbuka dan menjadi tanda untuk mereka yang mengharapkan hubungan yang dekat dengan Tuhan. 

No comments:

Post a Comment