Fikirkanlah dahulu sebelum berbicara, apa akibatnya nanti? sampai batas mana izin dari Allah Ta’ala untuk mengatakan sesuatu hal? janganlah berbicara Sebelum mempertimbangkannya! Sekiranya dengan mengatakan sesuatu akan menyebabkan keburukan dan akan mengakibatkan kehancuran, maka lebih baik untuk tidak mengatakannya. Tapi kalau (sebaliknya) berhenti dari menzahirkan perkara yang hak (benar), itupun jauh dari keluhuran seorang mumin.
Pada saat ini janganlah menghentikan cacian orang-orang yang mencaci dan yang menghina. Lihatlah Nabi Karim SAW ketika mendakwakan Kenabiannya, maka sahabat Beliau semuanya memusuhi Beliau, tapi Beliau SAW tidak pernah memperdulikannya sedikitpun, sampai-sampai ketika Abu Thalib Paman Beliau bertanya kepada Beliau SAW, karena merasa terganggu dengan keberatan-keberatan orang-orang (mengenai Rasul SAW), saat itu Beliau SAW menjawab dengan sejujurnya, bahwa saya tidak bisa berhenti dari menyatakannya, Paman tetap akan menemani saya ataupun tidak, silahkan itu adalah hak paman.
Jadi kalaulah dengan mengatakan sesuatu itu bertentangan dengan keridloan Allah Ta’ala, maka perlu untuk menjaga lidah. Seperti itu pulalah menzahirkan suatu perkara yang hak adalah lazim (harus).
Wa ya’muruwna bil ma’ruufi wa yanhauna ‘anil munkar
Merupakan keluhuran seorang mukmin. Adalah penting bagi seorang insan untuk memperteguh dan memperlihatkan kondisi amalannya sebelum (mengamalkan) amar bil ma’ruf nahiy anil munkar (menganjurkan pada kebaikan, dan melarang dari kemunkaran) bahwa dia memiliki kekuatan itu didalam dirinya, karena sebelumnya dia telah memasukkan pengaruhnya terhadap orang lain. Dia juga perlu untuk menciptakan situasi yang berpengaruh. Walhasil, ingatlah! jangan pernah menghentikan lidah kita dari mengamalkan amar bil ma’ruf nahyu anil munkar! Ya, penting juga untuk mengetahui (kondisi) tempat dan kesempatan dan cara dalam menjelaskan hendaknya dengan lemah lembut, memiliki kehalusan dan begitu juga membuka lidah yang bertentangan dengan takwa merupakan dosa besar. (Malfuzhat, Add. Nazir Isyaat, London, 1984, jld.I, h.424)
Pada saat ini janganlah menghentikan cacian orang-orang yang mencaci dan yang menghina. Lihatlah Nabi Karim SAW ketika mendakwakan Kenabiannya, maka sahabat Beliau semuanya memusuhi Beliau, tapi Beliau SAW tidak pernah memperdulikannya sedikitpun, sampai-sampai ketika Abu Thalib Paman Beliau bertanya kepada Beliau SAW, karena merasa terganggu dengan keberatan-keberatan orang-orang (mengenai Rasul SAW), saat itu Beliau SAW menjawab dengan sejujurnya, bahwa saya tidak bisa berhenti dari menyatakannya, Paman tetap akan menemani saya ataupun tidak, silahkan itu adalah hak paman.
Jadi kalaulah dengan mengatakan sesuatu itu bertentangan dengan keridloan Allah Ta’ala, maka perlu untuk menjaga lidah. Seperti itu pulalah menzahirkan suatu perkara yang hak adalah lazim (harus).
Wa ya’muruwna bil ma’ruufi wa yanhauna ‘anil munkar
Merupakan keluhuran seorang mukmin. Adalah penting bagi seorang insan untuk memperteguh dan memperlihatkan kondisi amalannya sebelum (mengamalkan) amar bil ma’ruf nahiy anil munkar (menganjurkan pada kebaikan, dan melarang dari kemunkaran) bahwa dia memiliki kekuatan itu didalam dirinya, karena sebelumnya dia telah memasukkan pengaruhnya terhadap orang lain. Dia juga perlu untuk menciptakan situasi yang berpengaruh. Walhasil, ingatlah! jangan pernah menghentikan lidah kita dari mengamalkan amar bil ma’ruf nahyu anil munkar! Ya, penting juga untuk mengetahui (kondisi) tempat dan kesempatan dan cara dalam menjelaskan hendaknya dengan lemah lembut, memiliki kehalusan dan begitu juga membuka lidah yang bertentangan dengan takwa merupakan dosa besar. (Malfuzhat, Add. Nazir Isyaat, London, 1984, jld.I, h.424)
No comments:
Post a Comment