Thursday, 9 August 2012

MALAYSIA BUKAN NEGARA KAFIR






Oleh Robith Qosidi

Kebelakangan ini muncul beberapa kelompok yang menganggap bahwa sistem pemerintahan Malaysia  adalah sistem kafir, sehingga sistem pemerintahan Malaysia perlu diganti dengan sistem –yang menurut mereka- Islamik. Penulis tidak sepakat dengan anggapan ini. Dalam tulisan ini penulis ingin mengajak untuk berdialog dengan fikiran jernih, tidak emosional, logik, dan mengedepankan maslahat. Lalu kita mengkaji, benarkah sistem pemerintahan umat Islam dari sejak zaman sahabat radliyallahu anhum tidak mau menerima sistem luar? Lalu sebenarnya bagaimana pandangan Islam terhadap sistem politik dan sistem pemerintahan? Serta pertanyaan terakhir, patutkah Malaysia disebut sebagai dar al-kufr (negeri kafir)?

penulis ingin mengawali tulisan ini dengan menegaskan bahwa sejak zaman sahabat, sistem politik dan sistem pemerintahan umat Islam terbuka terhadap sistem yang lahir di luar Islam namun sejalan dengan ruh Islam dan maslahat umat. Fakta mengatakan bahwa tak jarang dinasti Islam zaman klasik, seperti Usmaniyah, Abbasiyah, Umayyah, bahkan zaman sahabat radliyallahu anhum, mengadoptasi sistem non-Islam.

Seperti Sayyidina Umar radliyallahu anhu mengadoptasi sistem dewan (administrasi negara untuk mengatur kebijakan ekonomi makro dan administrasi militer), dll) dari kerajaan Syam (Ibn Khaldun:2004:304), beliau juga berijtihad untuk mengadoptasi peringkat hukum seperti penjara, dinasti Umayyah mengadoptasi peringkat pemerintahan seperti protokol (hijabah) dari kerajaan Syam (Ibn Khaldun:2004:356), Abbasiyah mengadoptasi sistem wizarah (kementerian) ala Persia. Ibn Khillikan mengatakan dalam kitab Wafyat al-A'yan bahwa orang paling pertama menyandang gelar wazir dengan wewenang tertentu adalah Abu Salamah dalam dinasti Abbasiyah. Sebelumnya, gelar wazir dengan wewenang tertentu tidak pernah ada, baik di masa Umayyah dan masa lainnya. (Ibn Khillikan:1971:Vol I:229)

Data di atas membuktikan bahwa dari dahulu pemerintahan yang dijalankan umat Islam selalu terbuka dengan sistem yang lahir di luar Islam. Bahkan ciri-ciri pemerintahan Islam itu justru terbuka dengan sistem luar serta berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman dan maslahat umat. Tapi ini tidak serta merta menunjukkan tidak ada inovasi sama sekali dalam konsep-konsep politik Islam. Justru yang terjadi umat Islam melakukan pembaikan-pembaikan agar sistem politik tersebut bisa sesuai dengan keadaan umat Islam dan membawa maslahat bagi umat Islam.

Oleh kerana itu penulis tidak sepakat dengan pemikir seperti al-Jabiry (dalam buku al-Aql as-Siyasy :2000) serta orientalis seperti Louis Marlow (dalam buku Masyarakat Egaliter: 1987). Yang menggambarkan bahwa keterpengaruhan sistem politik Islam dari sistem luar itu adalah bentuk ketidak mandirian sistem politik Islam. Tidak, sama sekali tidak. Masalahnya muncul kerana al-Jabiry dan Marlow hanya mengkaji akar konsep tanpa memperhatikan perubahan fungsi serta motivasi adoptasi sistem politik tersebut. Sehingga penilaiannya menjadi berat sebelah.

Mereka membangun argumentasi seperti ini: Kelahiran konsep-konsep politik 
umat Islam klasik itu berada dalam paradigma sistem sosial politik Persia yang membagi elemen sosial umara' (pemerintah) dan ulama (kahanah). Dua elemen sosial ini dianggap saudara kembar (tauamany), bukan satu kesatuan, seperti di zaman sahabat radliyallahu anhum yang tidak membagi antara elemen sosial umara dan ulama. Di masa sahabat umara juga seorang ulama yang mujtahid, seperti Sayyidina Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali r.a. Paradigma sosial politik seperti inilah yang membuat karya politik umat Islam hanya berupa nasihat seorang ulama terhadap seorang Raja atau sultan. Sama halnya di zaman Persia kuno tugas seorang kahanah (agamawan Majusi) adalah menasihati raja. Penulis tidak sepakat dengan penyederhanaan masalah seperti ini.

Bagi penulis justru nasihat bagi para raja merupakan upaya ulama untuk memberikan dimensi etis bagi sistem politik yang ada. Semua karya politik Islam, khususnya karya Ahlu as-Sunnah wa al-Jamaah, seperti karya al-Ghazaly dalam Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, dan karya-karya Nashaih al-Muluk (nasehat bagi raja) mempunyai fungsi dan motivasi mulia. Yaitu memasukkan nilai akhlaq pada sistem politik yang kaku, bahkan pada sistem fiqh yang kaku. Sebab jika syariat diterapkan tanpa pendekatan akhlak (etis), maka yang terjadi adalah diktatorisme syariat, bentuk-bentuk syariat yang difahami secara radikal. Ruh akhlaq pun sirna, bak ditelan tanah atau terbang bersama udara. Inilah yang membuat penulis tidak sependapat dengan muslim extremis yang memahami dari sisi hukum (fiqih) saja, tapi tidak mendekati syariat dengan dimensi etis dan spritual.

Penulis menganggap bahwa penerapan syariat tanpa dimensi akhlaq hanya akan menghilangkan gaya dakwah bi al-hikmah wa al-mauidlah al-hasanah wa al-mujadalah billaty hiya ahsan. Serta akan bermunculan gaya dakwah dengan pedang atau mungkin dengan teror bom bagi rakyat sivil yang tak berdosa. Padahal Nabi Saw sudah mengatakan dengan jelas, dalam peperangan sekalipun tidak boleh membunuh perempuan, anak kecil, orang tua, orang lemah, serta tidak boleh menghancurkan harta benda, serta tidak boleh menghancurkan rumah ibadah agama lain.

Penerapan syariat dengan wajah radikal pun menurut penulis akan menghilangkan ruh hukum itu sendiri. Serta menghilangkan gaya Rasul SAW dalam menerapkan syariat. Pertanyaannya benarkah Rasul Saw menerapkan syariat secara ganas dan radikal. Sama sekali tidak. Justru Rasul SAW menerapkan syariat dengan penuh etika dan mengedepankan maslahat. Sebab, kalau kita mengikuti pola pikir golongan muslim extremis, maka diandaikan Rasul Saw seakan-akan menerapkan hukum Islam tanpa ampun, tanpa toleransi. Jika ada yang mencuri, potong tangan. Jika ada yang berzina, dirajam. Jika salah langsung di hukum. Penulis justru melihat Rasul SAW tidak seperti itu. Penulis melihat ada proses-proses psikologis, etis, dan dakwah bil hihmah wa al-mauidlah hasanah, wal mujadalah billaty hiya ahsan.

Penulis tidak akan berbicara bagaimana hukum dalam Islam diterapkan secara 
gradual (tadrijy). Penulis ingin memotret fenomena lain tentang bagaimana Rasul SAW menerapkan hukum. Penulis ingin mengambil contoh seorang wanita pezina yang dihukum oleh Rasul. Ceritanya bermula saat wanita itu menghadap Rasul SAW dan mengaku berzina. Kalau kita mengikuti Islam garis maka seharusnya Rasul Saw langsung merejam wanita itu. Yang terjadi justru tidak begitu. Rasul Saw menyuruh wanita itu pulang, seraya berkata mungkin kamu hanya pegang-pegangan, kemudian disuruh pulang. Kemudian lain hari wanita itu datang lagi dengan mengaku hal yang sama. Kalau kita mengikuti golongan muslim extremis, saat itu harusnya Rasul SAW merejam wanita itu, kalau tidak beliau tidak menjalankan perintah Allah, sebab sering kita dengar golongan extremis menafsirkan ayat wa man la yahkum bima anzalalallahu faulaika hum al-kafirun, munafiqun, fasiqun, secara semena-mena. Yang terjadi justru Rasul Saw bersebarangan dengan pola pikir golongan extremis, kemudian beliau mengatakan mungkin kamu tidak sampai bersenggama jima', lalu wanita itu disuruh pulang. Wanita tetap datang lagi sampai berkali-kali, dan disuruh pulang berkali-kali, sampai wanita pezina itu melahirkan anak, baru ia dihukum oleh Rasul SAW. Betapa beliau mengajarkan bagaimana penerapan hukum itu dengan santun, tenang, tidak gelabah, serta mengedepankan maslahat.
Ini juga tauladan dari Rasul SAW agar kita tidak bertindak scara emosional. Sama halnya ketika beliau menghadapi orang yang kencing di mesjid Nabawi. Para sahabat langsung menghunuskan pedang. Ternyata beliau melarang menggunakan kekerasan dan bertindak emosional. Beliau tidak pernah mengatakan bahwa orang itu kafir, menghina Islam, darahnya halal. Tidak, sama sekali tidak. Beliau dengan wajah tersenyum menyuruh untuk menyiram bekas kencing orang badwi tersebut dan memaafkannya. Masyallah, innahu la'ala khuluqin adlim. Sesungguhnya beliau berakhlaq mulia. Shadaqa Allahu al-Adlim.
Ada contoh menarik lagi yang pantas untuk kita renungkan. Suatu saat ada seorang tua dan miskin bersenggama di tengah hari di bulan ramadlan. Ia datang pada Rasul SAW. Ia mengatakan saya bersenggama, wahai Rasul saw. Beliau menyuruhnya untuk memerdekakan budak. Dia menjelaskan bahwa dia tidak punya wang. Rasul saw menyuruhnya berpuasa dua bulan. Ia mengatakan, saya lemah, tua, dan tidak kuat. Rasul saw menyuruh untuk memberi makan pada orang miskin. Ia pun mengatakan, ia sangat miskin dan tidak punya wang. Lalu apakah kemudian tidak ada pilihan lain. Mungkin kalau menggunakan logika extremis pasti tak ada pilihan lain. Karena pemahaman yang salah tentang wa man la yahkum bima anzalallahu faulaika hum al-kafirun. Rasul justru memberi alternatif keempat yang tidak ada dalam Al-Qur'an. Lalu beliau memberikannya kurma, seraya mengatakan, bersedekahlah dengan kurma ini. Subhanallah, wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin. Sesungguhnya, engkau paduka Rasul saw, benar-benar diutus untuk memberi rahmat bagi alam semesta. Shadaqa Allahu al-Adlim.

Jadi hukum yang diterapkan Rasul SAW itu tidak kaku, tapi fleksibel. Dan hukum bukan untuk hukum, melainkan untuk maslahat. Ahlussunnah wal Jma'ah mendekati hukum dengan pendekatan maslahat tersebut. Itu juga yang dicontohkan oleh sahabat radliyallahu anhum. Oleh karena itu NU tidak melihat politik dijalankan hanya dengan pemahaman teks an-sich yang radikal. Sebab itu bertentangan dengan gaya politik sahabat radliyallahu anhum. Kita pun sering melihat para sahabat melakukan banyak hal karana berlandaskan maslahat an-sich asal sejalan dengan ruh Islam. Seperti Abu Bakar Ra mengumpulkan mushaf al-Qur'an, memerangi mani' zakat, menunjuk Umar sebagai pemimpin penggantinya. Serta Umar Ra tidak memberikan zakat pada muallaf qulubuhum, membuat dewan atha' dan dewan jaisy, menggunakan penjara, tidak menerapkan potong tangan pada saat krisis ekonomi. Serta Usman menetapkan satu mushaf usmany dan membakar yang lain. Serta masih banyak contoh lain yang menegaskan bahwa kebijakan politik dan pemerintahan mereka tidak berdasarkan pada nash sharih, tapi berdasarkan maslahat dan sesuai dengan ruh Islam. Sebab pemerintahan itu tidak bisa dijalankan dengan teks an-sich, harus selalu ada ijtihad agar mampu memasukkan nilai-nilai islamik dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Semua itu karana tujuan utama berdirinya negara adalah maslahat umat dan tegaknya keadilan. Sehingga kita memerlukan sebuah pemerintahan yang kuat, berwibawa, adil, dan membawa maslahat. Bahkan demi terciptanya kedamaian dan untuk menghindari peperangan berkepanjangan yang hanya merugikan umat Islam. Oleh karena itu baik al-Ghazaly maupun Ibn Taimiyah, memperbolehkan untuk hidup di dalam kekuasaan yang fajir (pendosa) sekalipun. Sebab bertahun-tahun bersama pemimpin fajir lebih baik daripada sehari tanpa pemimpin. Sebab berperang dan beraktifitas tanpa persetujuan pemimpin hanyalah tindakan Khawarij.

Bahkan dikisahkan dalam Al-Qur'an banyak negara yang tidak memeluk Islam tapi damai, tenteram, sejahtera, dan dipuji Allah swt. Atas dasar ini pula al-Ghazaly lebih mementingkan keadilan dan kesejahteraan daripada sistem politik tertentu. Dalam kitab Tibr al-Masbuk, ia menasihati semua pemerintah muslim, "...Maka perlu kamu ketahui bahwa pembangunan negeri dan kehancurannya disebabkan oleh pemimpinnya. Kalau pemimpinnya adil maka negeri akan makmur seperti di zaman (Raja Persia) Ardsyir, Afridon, Bahram Kur, Kisra Anusyirwan. Sedangkan jika pemimpinnya zalim maka negara akan rosak berantakan seperti di zaman Dhahhak, Afrasiyan, Barsdkan...). Dalam teks ini terlihat Al-Ghazali tidak terlalu memusingkan bentuk pemerintahan, mau pemerintahan Persia, Arab atau lain sebagainya. Yang penting pemimpin harus adil dan membawa maslahat bagi umat.

Jadi, sudah seharusnya kita keluar dari dikotomi kaku antara Dar al-Kufr (Negeri Kafir) dan Dar al-Islam (Negeri Islam). Tidakkah kita mencari alternatif bentuk negeri yang lain. Sebuah negeri yang terbuka pada sistem luar, menerapkan keadilan, menjaga keamanan, mengedepankan maslahat, serta bisa menerapkan syariat Islam, akhlaq Islam, Aqidah Islam dengan damai dan santun: Yaitu Dar as-Salam (Negeri Damai). Itulah Malaysia.
Robith Qosidi

Alumnus Universitas Al Azhar, Mantan Ketua Lakpesdam PCINU Mesir

No comments:

Post a Comment