Oleh Robith Qosidi
Kebelakangan ini muncul beberapa kelompok yang menganggap
bahwa sistem pemerintahan Malaysia adalah sistem kafir, sehingga sistem
pemerintahan Malaysia perlu diganti dengan sistem –yang menurut mereka- Islamik.
Penulis tidak sepakat dengan anggapan ini. Dalam tulisan ini penulis ingin mengajak
untuk berdialog dengan fikiran jernih, tidak emosional, logik, dan
mengedepankan maslahat. Lalu kita mengkaji, benarkah sistem pemerintahan umat
Islam dari sejak zaman sahabat radliyallahu anhum tidak mau menerima sistem
luar? Lalu sebenarnya bagaimana pandangan Islam terhadap sistem politik dan
sistem pemerintahan? Serta pertanyaan terakhir, patutkah Malaysia disebut
sebagai dar al-kufr (negeri kafir)?
penulis ingin mengawali tulisan ini dengan menegaskan bahwa
sejak zaman sahabat, sistem politik dan sistem pemerintahan umat Islam terbuka
terhadap sistem yang lahir di luar Islam namun sejalan dengan ruh Islam dan
maslahat umat. Fakta mengatakan bahwa tak jarang dinasti Islam zaman klasik,
seperti Usmaniyah, Abbasiyah, Umayyah, bahkan zaman sahabat radliyallahu anhum,
mengadoptasi sistem non-Islam.
Seperti Sayyidina Umar radliyallahu anhu mengadoptasi sistem
dewan (administrasi negara untuk mengatur kebijakan ekonomi makro dan
administrasi militer), dll) dari kerajaan Syam (Ibn Khaldun:2004:304), beliau
juga berijtihad untuk mengadoptasi peringkat hukum seperti penjara, dinasti
Umayyah mengadoptasi peringkat pemerintahan seperti protokol (hijabah) dari
kerajaan Syam (Ibn Khaldun:2004:356), Abbasiyah mengadoptasi sistem wizarah
(kementerian) ala Persia. Ibn Khillikan mengatakan dalam kitab Wafyat al-A'yan
bahwa orang paling pertama menyandang gelar wazir dengan wewenang tertentu
adalah Abu Salamah dalam dinasti Abbasiyah. Sebelumnya, gelar wazir dengan
wewenang tertentu tidak pernah ada, baik di masa Umayyah dan masa lainnya. (Ibn
Khillikan:1971:Vol I:229)
Data di atas membuktikan bahwa dari dahulu pemerintahan yang
dijalankan umat Islam selalu terbuka dengan sistem yang lahir di luar Islam.
Bahkan ciri-ciri pemerintahan Islam itu justru terbuka dengan sistem luar serta
berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman dan maslahat umat. Tapi ini tidak
serta merta menunjukkan tidak ada inovasi sama sekali dalam konsep-konsep
politik Islam. Justru yang terjadi umat Islam melakukan pembaikan-pembaikan
agar sistem politik tersebut bisa sesuai dengan keadaan umat Islam dan membawa
maslahat bagi umat Islam.
Oleh kerana itu penulis tidak sepakat dengan pemikir seperti
al-Jabiry (dalam buku al-Aql as-Siyasy :2000) serta orientalis seperti Louis
Marlow (dalam buku Masyarakat Egaliter: 1987). Yang menggambarkan bahwa
keterpengaruhan sistem politik Islam dari sistem luar itu adalah bentuk ketidak
mandirian sistem politik Islam. Tidak, sama sekali tidak. Masalahnya muncul
kerana al-Jabiry dan Marlow hanya mengkaji akar konsep tanpa memperhatikan
perubahan fungsi serta motivasi adoptasi sistem politik tersebut. Sehingga
penilaiannya menjadi berat sebelah.
Mereka membangun argumentasi seperti ini: Kelahiran
konsep-konsep politik
umat Islam klasik itu berada dalam paradigma sistem
sosial politik Persia yang membagi elemen sosial umara' (pemerintah) dan ulama
(kahanah). Dua elemen sosial ini dianggap saudara kembar (tauamany), bukan satu
kesatuan, seperti di zaman sahabat radliyallahu anhum yang tidak membagi antara
elemen sosial umara dan ulama. Di masa sahabat umara juga seorang ulama yang
mujtahid, seperti Sayyidina Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali r.a. Paradigma
sosial politik seperti inilah yang membuat karya politik umat Islam hanya
berupa nasihat seorang ulama terhadap seorang Raja atau sultan. Sama halnya di
zaman Persia kuno tugas seorang kahanah (agamawan Majusi) adalah menasihati
raja. Penulis tidak sepakat dengan penyederhanaan masalah seperti ini.
Bagi penulis justru nasihat bagi para raja merupakan upaya
ulama untuk memberikan dimensi etis bagi sistem politik yang ada. Semua karya
politik Islam, khususnya karya Ahlu as-Sunnah wa al-Jamaah, seperti karya
al-Ghazaly dalam Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, dan karya-karya Nashaih
al-Muluk (nasehat bagi raja) mempunyai fungsi dan motivasi mulia. Yaitu
memasukkan nilai akhlaq pada sistem politik yang kaku, bahkan pada sistem fiqh
yang kaku. Sebab jika syariat diterapkan tanpa pendekatan akhlak (etis), maka
yang terjadi adalah diktatorisme syariat, bentuk-bentuk syariat yang difahami
secara radikal. Ruh akhlaq pun sirna, bak ditelan tanah atau terbang bersama udara.
Inilah yang membuat penulis tidak sependapat dengan muslim extremis yang
memahami dari sisi hukum (fiqih) saja, tapi tidak mendekati syariat dengan
dimensi etis dan spritual.
Penulis menganggap bahwa penerapan syariat tanpa dimensi
akhlaq hanya akan menghilangkan gaya dakwah bi al-hikmah wa al-mauidlah
al-hasanah wa al-mujadalah billaty hiya ahsan. Serta akan bermunculan gaya
dakwah dengan pedang atau mungkin dengan teror bom bagi rakyat sivil yang tak
berdosa. Padahal Nabi Saw sudah mengatakan dengan jelas, dalam peperangan
sekalipun tidak boleh membunuh perempuan, anak kecil, orang tua, orang lemah,
serta tidak boleh menghancurkan harta benda, serta tidak boleh menghancurkan
rumah ibadah agama lain.
Penerapan syariat dengan wajah radikal pun menurut penulis
akan menghilangkan ruh hukum itu sendiri. Serta menghilangkan gaya Rasul SAW
dalam menerapkan syariat. Pertanyaannya benarkah Rasul Saw menerapkan syariat
secara ganas dan radikal. Sama sekali tidak. Justru Rasul SAW menerapkan
syariat dengan penuh etika dan mengedepankan maslahat. Sebab, kalau kita
mengikuti pola pikir golongan muslim extremis, maka diandaikan Rasul Saw
seakan-akan menerapkan hukum Islam tanpa ampun, tanpa toleransi. Jika ada yang
mencuri, potong tangan. Jika ada yang berzina, dirajam. Jika salah langsung di
hukum. Penulis justru melihat Rasul SAW tidak seperti itu. Penulis melihat ada
proses-proses psikologis, etis, dan dakwah bil hihmah wa al-mauidlah hasanah,
wal mujadalah billaty hiya ahsan.
Penulis tidak akan berbicara bagaimana hukum dalam Islam
diterapkan secara
gradual (tadrijy). Penulis ingin memotret fenomena lain tentang
bagaimana Rasul SAW menerapkan hukum. Penulis ingin mengambil contoh seorang
wanita pezina yang dihukum oleh Rasul. Ceritanya bermula saat wanita itu
menghadap Rasul SAW dan mengaku berzina. Kalau kita mengikuti Islam garis maka
seharusnya Rasul Saw langsung merejam wanita itu. Yang terjadi justru tidak
begitu. Rasul Saw menyuruh wanita itu pulang, seraya berkata mungkin kamu hanya
pegang-pegangan, kemudian disuruh pulang. Kemudian lain hari wanita itu datang
lagi dengan mengaku hal yang sama. Kalau kita mengikuti golongan muslim
extremis, saat itu harusnya Rasul SAW merejam wanita itu, kalau tidak beliau
tidak menjalankan perintah Allah, sebab sering kita dengar golongan extremis
menafsirkan ayat wa man la yahkum bima anzalalallahu faulaika hum al-kafirun,
munafiqun, fasiqun, secara semena-mena. Yang terjadi justru Rasul Saw bersebarangan
dengan pola pikir golongan extremis, kemudian beliau mengatakan mungkin kamu
tidak sampai bersenggama jima', lalu wanita itu disuruh pulang. Wanita tetap
datang lagi sampai berkali-kali, dan disuruh pulang berkali-kali, sampai wanita
pezina itu melahirkan anak, baru ia dihukum oleh Rasul SAW. Betapa beliau
mengajarkan bagaimana penerapan hukum itu dengan santun, tenang, tidak gelabah,
serta mengedepankan maslahat.
Ini juga tauladan dari Rasul SAW agar kita tidak bertindak
scara emosional. Sama halnya ketika beliau menghadapi orang yang kencing di
mesjid Nabawi. Para sahabat langsung menghunuskan pedang. Ternyata beliau
melarang menggunakan kekerasan dan bertindak emosional. Beliau tidak pernah
mengatakan bahwa orang itu kafir, menghina Islam, darahnya halal. Tidak, sama
sekali tidak. Beliau dengan wajah tersenyum menyuruh untuk menyiram bekas
kencing orang badwi tersebut dan memaafkannya. Masyallah, innahu la'ala
khuluqin adlim. Sesungguhnya beliau berakhlaq mulia. Shadaqa Allahu al-Adlim.
Ada contoh menarik lagi yang pantas untuk kita renungkan.
Suatu saat ada seorang tua dan miskin bersenggama di tengah hari di bulan
ramadlan. Ia datang pada Rasul SAW. Ia mengatakan saya bersenggama, wahai Rasul
saw. Beliau menyuruhnya untuk memerdekakan budak. Dia menjelaskan bahwa dia
tidak punya wang. Rasul saw menyuruhnya berpuasa dua bulan. Ia mengatakan, saya
lemah, tua, dan tidak kuat. Rasul saw menyuruh untuk memberi makan pada orang
miskin. Ia pun mengatakan, ia sangat miskin dan tidak punya wang. Lalu apakah
kemudian tidak ada pilihan lain. Mungkin kalau menggunakan logika extremis pasti
tak ada pilihan lain. Karena pemahaman yang salah tentang wa man la yahkum bima
anzalallahu faulaika hum al-kafirun. Rasul justru memberi alternatif keempat
yang tidak ada dalam Al-Qur'an. Lalu beliau memberikannya kurma, seraya mengatakan,
bersedekahlah dengan kurma ini. Subhanallah, wa ma arsalnaka illa rahmatan lil
alamin. Sesungguhnya, engkau paduka Rasul saw, benar-benar diutus untuk memberi
rahmat bagi alam semesta. Shadaqa Allahu al-Adlim.
Jadi hukum yang diterapkan Rasul SAW itu tidak kaku, tapi
fleksibel. Dan hukum bukan untuk hukum, melainkan untuk maslahat. Ahlussunnah
wal Jma'ah mendekati hukum dengan pendekatan maslahat tersebut. Itu juga yang
dicontohkan oleh sahabat radliyallahu anhum. Oleh karena itu NU tidak melihat
politik dijalankan hanya dengan pemahaman teks an-sich yang radikal. Sebab itu
bertentangan dengan gaya politik sahabat radliyallahu anhum. Kita pun sering
melihat para sahabat melakukan banyak hal karana berlandaskan maslahat an-sich
asal sejalan dengan ruh Islam. Seperti Abu Bakar Ra mengumpulkan mushaf
al-Qur'an, memerangi mani' zakat, menunjuk Umar sebagai pemimpin penggantinya.
Serta Umar Ra tidak memberikan zakat pada muallaf qulubuhum, membuat dewan
atha' dan dewan jaisy, menggunakan penjara, tidak menerapkan potong tangan pada
saat krisis ekonomi. Serta Usman menetapkan satu mushaf usmany dan membakar
yang lain. Serta masih banyak contoh lain yang menegaskan bahwa kebijakan
politik dan pemerintahan mereka tidak berdasarkan pada nash sharih, tapi
berdasarkan maslahat dan sesuai dengan ruh Islam. Sebab pemerintahan itu tidak
bisa dijalankan dengan teks an-sich, harus selalu ada ijtihad agar mampu
memasukkan nilai-nilai islamik dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Semua itu karana tujuan utama berdirinya negara adalah
maslahat umat dan tegaknya keadilan. Sehingga kita memerlukan sebuah
pemerintahan yang kuat, berwibawa, adil, dan membawa maslahat. Bahkan demi
terciptanya kedamaian dan untuk menghindari peperangan berkepanjangan yang
hanya merugikan umat Islam. Oleh karena itu baik al-Ghazaly maupun Ibn
Taimiyah, memperbolehkan untuk hidup di dalam kekuasaan yang fajir (pendosa)
sekalipun. Sebab bertahun-tahun bersama pemimpin fajir lebih baik daripada
sehari tanpa pemimpin. Sebab berperang dan beraktifitas tanpa persetujuan
pemimpin hanyalah tindakan Khawarij.
Bahkan dikisahkan dalam Al-Qur'an banyak negara yang tidak
memeluk Islam tapi damai, tenteram, sejahtera, dan dipuji Allah swt. Atas dasar
ini pula al-Ghazaly lebih mementingkan keadilan dan kesejahteraan daripada
sistem politik tertentu. Dalam kitab Tibr al-Masbuk, ia menasihati semua pemerintah
muslim, "...Maka perlu kamu ketahui bahwa pembangunan negeri dan
kehancurannya disebabkan oleh pemimpinnya. Kalau pemimpinnya adil maka negeri
akan makmur seperti di zaman (Raja Persia) Ardsyir, Afridon, Bahram Kur, Kisra
Anusyirwan. Sedangkan jika pemimpinnya zalim maka negara akan rosak berantakan
seperti di zaman Dhahhak, Afrasiyan, Barsdkan...). Dalam teks ini terlihat
Al-Ghazali tidak terlalu memusingkan bentuk pemerintahan, mau pemerintahan
Persia, Arab atau lain sebagainya. Yang penting pemimpin harus adil dan membawa
maslahat bagi umat.
Jadi, sudah seharusnya kita keluar dari dikotomi kaku antara
Dar al-Kufr (Negeri Kafir) dan Dar al-Islam (Negeri Islam). Tidakkah kita
mencari alternatif bentuk negeri yang lain. Sebuah negeri yang terbuka pada
sistem luar, menerapkan keadilan, menjaga keamanan, mengedepankan maslahat, serta bisa
menerapkan syariat Islam, akhlaq Islam, Aqidah Islam dengan damai dan
santun: Yaitu Dar as-Salam (Negeri Damai). Itulah Malaysia.
Robith Qosidi
Alumnus Universitas Al Azhar, Mantan Ketua Lakpesdam PCINU
Mesir
No comments:
Post a Comment