Saturday, 21 July 2012

AL-QURAN MEMBUKA TABIR

Pengetahuan manusia amat terbatas dan ditingkar di segala sisinya oleh
ruang ‘tidak kelihatan’ yang tak bertepi. Apa yang diketahui manusia
tentang masa lalu, masa kini dan masa depan laiknya secercah sinar kecil
tidak lebih dari kelap-kelip buntut seekor kunang-kunang di tengah
samudra kegelapan. Meski kelihatannya manusia telah berhasil
memperluas horizon atau cakrawala pengetahuannya sampai ke tepian
alam semesta dengan bantuan ilmu astrophisika dan matematika lanjutan,
nyatanya fakta yang dilihatnya dari tepi alam semesta itu adalah sinyalsinyal
yang dilepaskan benda-benda angkasa itu sekitar delapanbelas atau
duapuluh milyar tahun yang lalu. Apa yang kemudian terjadi setelah itu
atau apa yang terdapat sekarang disana jadinya hanya merupakan dugaan
belaka.


Dengan menyisihkan tentang masa depan dan masa lalu, pengetahuan
tentang masa kini pun masih sebagian besar berada di luar ruang lingkup
kesadaran manusia. Apa yang benar-benar diketahui seseorang tentang
segala kejadian di luar rumahnya, di jalan, kota atau pun negeri
huniannya? Semua berita media jika dikumpulkan pun masih juga belum
mencakup sepermilyar dari apa yang terjadi di dunia sekelilingnya. Bukan
itu saja. Apa yang benar-benar diketahui manusia tentang orang-orang
yang sepertinya dikenal di antara kawan dan kerabat dekat? Mengungkap
apa yang ada di balik raut muka seseorang dan membaca apa yang
sebenarnya yang ada di dalamnya nyatanya lebih sulit dibanding mencoba
melihat apa yang terdapat di dasar sebuah kolam yang keruh. Dalam kedua

hal itu orang hanya bisa melihat imaji yang tercermin di permukaan saja,
cuma bedanya kalau kolam tidak bisa berpolah dan mengagak-agak
mencipta imaji yang keliru. Tergantung cuaca dan musim yang namanya
kolam tetap saja berwajah tunggal sedangkan manusia tidak demikian.
Kerumitan daripada kejiwaan manusia, keanekaan suasana hati dan
perilaku, variasi tolok ukur akhlak dan filosofi yang dianut, sikap dan
perbedaan fitrat daripada otak dan hati, kedangkalan atau kebijakan
perilaku mereka, adalah hal-hal yang tidak ditemukan pada sebuah kolam.
Bahkan apa yang terjadi di dalam batinnya sendiri pun terkadang tidak
disadari manusia. Namun nyatanya sedikit sekali dari manusia yang
mengenal kerendahan hati. Jarang sekali mereka mampu menyadari
sumber utama kebenaran dan mata air dari Pengetahuan Hakiki hanya ada
pada sang Pencipta. Hanya Dia saja yang mengetahui sepenuhnya segala
rahasia dari ciptaan-Nya. Hanya Dia saja yang Maha Melihat, Maha
Mengetahui dan Maha Agung.


Pengetahuan merupakan prasyarat daripada proses penciptaan, apakah itu
berkaitan dengan Ilahi atau manusia, besar atau pun kecil. Tanpa suatu
pengetahuan yang mendalam tentang apa yang akan dicipta, tidak akan
ada tujuan penciptaan yang mungkin bisa dicapai. Karena itu hanya sang
Pencipta sendirilah yang mengetahui seluk-beluk dan kompleksitas suatu
ciptaan dan karena itu juga maka fitrat Maha Mengetahui hanyalah milik
Tuhan semata. Sifat Maha Mengetahui ini mencakup keseluruhan
pengetahuan tentang segala hal di alam semesta yang hanya dimiliki
Tuhan serta tidak dimiliki yang lainnya.


Jika memang wujud Tuhan yang Maha Mengetahui dan Maha Ada yang
telah mengarang Al-Quran maka semua wahyu dalam kitab ini yang
berkaitan tentang masa lalu, masa kini dan masa depan tentunya bisa
dikukuhkan oleh fakta-fakta pada saat kemunculannya. Justru berkaitan
dengan hal itulah yang akan menjadi topik dari bahasan ini. Dengan
bantuan fakta-fakta yang tidak terbantah, kami bermaksud
mengemukakan pembuktian tentang semua hal ini.

Kami telah membahas cukup mendalam tentang peran wahyu Al-Quran
dalam menjelaskan beberapa kejadian penciptaan di masa purba. Semua
itu bermula dengan kehadiran waktu ketika alam semesta tiba-tiba
menyemburat keluar dari suatu lobang hitam. Menurut Al-Quran, lubang
hitam itu membelah diri atas perintah sang Pencipta yang Maha Kuasa.
Peliputan Al-Quran tentang sejarah penciptaan akan berakhir dengan
pupusnya waktu ketika alam semesta kembali tenggelam ke dalam lubang
hitam berikutnya.


Berkenaan dengan awal mula proses kehidupan, pertelaan Al-Quran secara
mengagumkan ternyata juga demikian komprehensif dan presisi. Kitab ini
meliput semua jenjang-jenjang evolusi organik dan biotika sepanjang
sejarah evolusi selama 4,5 milyar tahun sampai dengan saat kulminasinya
dalam bentuk terciptanya manusia. Dari titik itu ke depan, Al-Quran lalu
mengutarakan sejarah umat manusia yang berkaitan dengan
perkembangan masyarakat, keagamaan dan kebudayaan. Kitab ini pun
menyinggung kemungkinan akan punahnya spesi manusia yang bisa jadi
digantikan spesi kehidupan yang lebih baik dan lebih maju.
Semua hal yang kami uraikan secara ringkas di atas, telah dibahas secara
lebih rinci dalam bab-bab terkait dalam buku ini, guna memperlihatkan
bagaimana wahyu Ilahi secara efektif telah mentransfer bagian-bagian dari
pengetahuan yang tidak dikenal ke wilayah yang diketahui. Sekarang
dalam bab ini kami akan mendemonstrasikan bagaimana Al-Quran
mengungkapkan beberapa kejadian sejarah yang penting yang selama ini
terkubur dalam masa lalu yang samar. Kami juga akan
mendemonstrasikan bagaimana kitab tersebut mengungkapkan banyak
dari kejadian di masa depan yang tidak diketahui sebelumnya oleh
manusia saat Al-Quran diturunkan. Kami secara khusus akan
menggambarkan bagaimana Al-Quran telah menubuatkan secara presisi
beberapa kemajuan pengetahuan di masa depan yang akan merubah
keseluruhan gaya hidup manusia.

Kami akan memulainya dengan pertelaan tentang kejadian sejarah yang
penting bertalian dengan signifikasi keagamaan dari umat Yahudi,
Kristiani dan Muslim. Kisahnya berkaitan dengan eksodus Nabi Musa a.s.
dari Mesir dan apa yang terjadi pada lasykar pasukan Firaun ketika Nabi
Musa a.s. dan para pengikut beliau telah selamat menyeberangi delta
sungai Nil yang berbahaya tersebut. Sebenarnya banyak contoh kejadian
lain dari masa sejarah Yudeo-Kristiani tersebut yang diliput dalam
Perjanjian Lama, Perjanjian Baru dan Al-Quran. Namun kami
memutuskan memilih tentang peristiwa eksodus Nabi Musa a.s. untuk
dibahas sekarang ini karena hal itu memperlihatkan bagaimana fitrat ke-
Ilahi-an dari wahyu Al-Quran.

Pertelaan kitab Injil meski pun merupakan catatan kontemporer dari
sejarah masa itu, ternyata dangkal dan tidak sejelas dibanding dengan apa
yang terdapat dalam Al-Quran. Dari sudut pandang para pengikut Nabi
Musa a.s. yang bisa dikemukakan dan dicatat sebagai sejarah hanyalah
tenggelamnya Firaun dan lasykarnya yang terhimpit gelombang laut yang
menenggelamkan mereka. Apa yang terjadi kepada Firaun sendiri sebelum
ia ditenggelamkan? Apa yang terjadi di antara Firaun dengan Tuhan saat
akan tenggelam itu? Apa yang telah dipohonkannya kepada Tuhan, kalau
pun ada pada saat sekaratnya? Semua hal ini pasti luput dari pengamatan
manusia yang menonton dari pantai yang kering dari kejauhan. Karena
itulah pertelaan Injil hanya menyatakan kalau Firaun dan semua
lasykarnya telah tenggelam tanpa ada yang dikecualikan.

Berbaliklah segala air itu lalu menutupi kereta dan orang
berkuda dari seluruh pasukan Firaun yang telah menyusul
orang Israel itu ke laut, seorang pun tidak ada yang tinggal
dari mereka. Tetapi orang Israel berjalan di tempat kering dari
tengah-tengah laut
. . .’ 1

Dari pernyataan kitab Injil, berarti semuanya telah tenggelam di laut,
Firaun tidak terkecuali. Kekalahannya bersifat total. Berbeda dengan itu
adalah pernyataan Al-Quran tentang kejadian yang sama.

Kami telah membuat Bani Israil menyeberangi lautan, lalu
Firaun dan lasykar-lasykarnya mengejar mereka secara
durhaka dan aniaya, sehingga ketika ia hampir tenggelam, ia
berkata “Aku percaya bahwa tiada Tuhan selain yang
dipercayai oleh Bani Israil dan aku termasuk orang-orang yang
menyerahkan diri kepada-Nya.” Apa! Sekarang! Sesungguhnya
engkau telah membangkang sebelum ini dan telah termasuk
orang-orang yang berbuat kerusuhan. Maka pada hari ini
Kami akan menyelamatkan engkau hanya dalam jasadmu,
supaya engkau menjadi suatu tanda bagi orang-orang yang
datang sesudah engkau. Dan sesungguhnya kebanyakan
manusia lengah terhadap tanda-tanda Kami
.’ (S.10 Yunus:91-93)
2

Patut diperhatikan dalam hal ini ialah berbeda dengan pernyataan Al-
Quran, pertelaan kitab Injil tidak ada memberikan kemungkinan
penyelamatan jasad Firaun karena dinyatakan
seorang pun tidak ada
yang tinggal dari mereka.

Karena itu sampai dengan Al-Quran mengungkapkan kemungkinan
penyelamatan jasad Firaun dengan tujuan sebagai teladan bagi manusia
yang datang berikutnya, tidak ada sumber sejarah manusia lainnya yang
pernah menyinggung hal ini.

Saat Al-Quran diwahyukan, makam raja-raja Mesir terkubur jauh di bawah
padang pasir. Manusia zaman itu, apalagi bangsa Arab, sedikit sekali yang
mengenal ilmu pengawetan mummi. Tidak ada kitab atau pun riwayat,
yang bersifat keagamaan atau pun lainnya, yang pernah menyinggung
penyelamatan jasad Firaun, apalagi menceritakan tentang cara
pengawetannya. Pertelaan Al-Quran ini juga bersifat unik dalam hal tidak
saja mengungkapkan kejadian masa lalu yang sampai saat itu tidak
diketahui oleh umat manusia lainnya, tetapi juga menubuatkan bahwa
masa depan akan mengakui kebenaran pernyataan Al-Quran. Dari uraian
kitab Injil, sulit membayangkan bagaimana jasad Firaun bisa
diselamatkan. Phenomena dari jasad demikian, kalau pun bisa
diselamatkan, akan menjadi masalah saat pengawetan mumminya.
Namun justru itulah yang diakukan atau dinyatakan oleh Al-Quran. Tidak
akan ada manusia yang pernah bermimpi membuat pernyataan yang
bertentangan dengan bukti sejarah yang ada pada saat Al-Quran
diwahyukan. Semua orang tahunya jasad Firaun telah punah dimangsa
laut, sirna selamanya. Bahkan para perampok makam Mesir pun tidak
mempunyai petunjuk sama sekali yang mana Firaun dimaksud dari para
mummi raja-raja Mesir yang terdapat di Lembah Raja-raja (
Valley of the Kings)
. Apa yang telah mendorong Nabi junjungan umat Islam membuat
pernyataan seperti itu jika beliau dianggap sebagai pengarang Al-Quran?
Jelas tidak ada manfaatnya sama sekali dan bahkan bersifat kontraproduktif.
Jika Al-Quran memang karangan Hazrat Rasulullah s.a.w.
sendiri maka beliau tidak akan mampu memberikan bukti guna
mendukung pernyataan tersebut. Nyatanya berabad-abad kemudian
setelah turunnya Al-Quran maka bumi mulai membuka rahasianya. Jasadjasad
yang dimummikan dari Firaun di zaman Nabi Musa a.s. bisa
ditelusuri dan diselamatkan dari antara semua Firaun lainnya.

Apakah Firaun itu memang Rameses II atau mungkin Firaun lainnya
sampai sekarang masih tetap menjadi ajang perdebatan, yang jelas salah
satu dari mummi-mummi yang diambil dari Lembah Raja-raja adalah
Firaun yang berhadapan dengan Nabi Musa a.s. Satu-satunya konklusi
yang bisa ditarik dibanding pandangan keseluruhan sejarah dunia adalah
kebenaran dari pernyataan Al-Quran yang mengemukakan: ‘


Maka pada hari ini Kami akan menyelamatkan engkau hanya dalam jasadmu
.’

Itulah pernyataan Al-Quran yang sekarang ini telah menjadi pernyataan
sejarah dunia.

Firman Tuhan dalam hal ini bisa berarti bahwa sudah tertutup
kemungkinan menyelamatkan jiwa Firaun, dan karena itu yang
diselamatkan hanyalah jasadnya saja. Kemungkinan lain firman tersebut
mengandung makna kalau saat untuk menerima pertobatan Firaun
dianggap sudah berakhir sehingga batinnya tidak memperoleh pelepasan.
Dalam hal demikian maka nyawanya akan selamat tetapi yang
bersangkutan akan hidup sebagai zombie (mayat hidup) tanpa jiwa.
Menurut pemahaman kami, makna yang kedua inilah yang dimaksudkan
oleh Al-Quran. Guna mendukung pandangan kami tersebut, kembali kami
kemukakan cara episode ini diutarakan. Yang paling menarik adalah
kalimat: ‘

Maka pada hari ini Kami akan menyelamatkan engkau hanya
dalam jasadmu
.’ 3

Bisa dikatakan kalau Firaun tentunya hanya akan mementingkan
kelangsungan hidupnya di dunia ini daripada penyelamatan jasad matinya.
Jika kehidupan spiritual mau pun phisikal dirinya tidak bisa diselamatkan,
lalu apa arti janji Tuhan tersebut? Pasti sudah bahwa Firaun bukannya
mendoakan penyelamatan jasad matinya saja.

Bila doanya itu dikabulkan, meski hanya sebagian, sebagaimana
diungkapkan Al-Quran, maka tidak akan dijadikan yang bersangkutan
mati baik phisik mau pun spiritual, karena hal itu berarti penolakan
keseluruhan atas apa yang dipohonnya. Pengakuannya akan keimanan
kepada Tuhan bangsa Israil tentunya dilakukan karena ia sedang takut
kehilangan nyawa dan dengan demikian nilainya menjadi tidak berarti.
Apa yang dikabulkan dari permohonannya adalah janji penyelamatan
nyawanya tetapi tidak jiwanya. Hanya saja kebanyakan ulama Islam pun
berpandangan kalau permohonannya itu ditolak sama sekali dan janji
penyelamatan dirinya hanyalah berupa pemulungan jasadnya dari laut.
Menurut para ulama Islam, hal itu saja sudah merupakan mukjizat besar
dalam kondisi sebagaimana diuraikan dalam kitab Injil mau pun Al-Quran.
Janji bisa dipulungnya kembali jasad tersebut dianggap sudah merupakan
karunia bagi sang Firaun yang tenggelam. Menurut mereka, golongan
Firaun merupakan dinasti yang amat angkuh. Hanya janji untuk
menyelamatkan jasad matinya saja dianggap sudah membawa
kenyamanan pada saat sekarat demikian. Yang dilupakan adalah tujuan
Tuhan dalam hal ini bukan hanya untuk memuaskan harga diri dari Firaun
itu saja. Yang menjadi tujuan utama adalah menjadikannya sebagai
teladan bagi keturunan manusia selanjutnya agar mereka bisa memperoleh
petunjuk.

Bagaimana hasil akhir dari kontroversi ini yaitu apakah Firaun itu
memang mati tenggelam dan hanya jasadnya yang bisa dipulung, atau
apakah ia berhasil diselamatkan dari keadaan hampir mati tenggelam,
mukjizat Al-Quran dalam hal ini tidak lantas menjadi kabur. Jasad dari
Firaun nyatanya memang kemudian diawetkan dan dipaparkan kepada
pengetahuan di zaman lain sesudahnya, dimana semua telah menjadi
kenyataan sebagaimana dinubuatkan Al-Quran.

Kebetulan para cendekiawan yang beranggapan bahwa Firaun itu telah
mati saat jasadnya berhasil dipulung, juga berkeyakinan kalau yang
dipulung itu adalah Merneptah, pewaris Rameses II dan bukan Rameses
itu sendiri. Hal ini mengimplikasikan kalau Nabi Musa a.s. hidup dalam
masa pemerintahan dua Firaun. Beliau lahir saat Rameses II sudah
menjadi raja dimana beliau dibesarkan oleh salah seorang isterinya yang
takut kepada Tuhan yang menurut mereka adalah isteri termuda. Karena
isteri ini tidak memiliki anak sendiri, keinginannya memungut bayi yang
hanyut itu bisa dipahami. Kalau pandangan ini diterima maka tentunya
Nabi Musa a.s. meninggalkan Midian untuk kembali ke Mesir adalah
setelah kematian Rameses II dan Merneptah telah dinobatkan sebagai
Firaun berikutnya. Para cendekiawan ini mengutip kitab Injil untuk
memperkuat pendapat mereka yaitu Nabi Musa a.s. telah diberitahukan
Tuhan saat pengucilannya di Midian bahwa Firaun yang dalam masa
pemerintahannya beliau telah melakukan pembunuhan seorang Mesir
sekarang ini telah mati
1.(Kejadian tersebut terdapat pada Perjanjian Lama kitab Keluaran 2:23 dan seterusnya.)


Skenario demikian memang kelihatannya sebagai hal yang logis dan bisa
diterima akal, namun terbatas hanya pada kelihatannya saja. Kematian
seorang raja tidak akan mengkaliskan siapa pun dari kejahatan yang telah
dilakukannya. Dalam hal ini jadinya seperti tidak logis. Karena itulah
dikemukakan bahwa Tuhan tidak menyinggung sama sekali kematian
Firaun mana pun untuk melenyapkan rasa takut Nabi Musa a.s. Beliau
hanya diperintahkan agar jangan takut karena Tuhan akan menjaga
dirinya dan saudaranya (Harun a.s.). Penjelasan begini ini lebih masuk
akal. Lagi pula ada masalah lain yaitu berdasar pembuktian arkeologi dari
kondisi mummi, ternyata Rameses II diketahui mati di usia lanjut sekitar
sembilanpuluh tahun dimana tigapuluh tahun terakhir ia hanya terbaring
lemah sebagai kakek pikun yang diperkirakan menderita penyakit
arteriosklerosis akut. Keadaan demikian bisa jadi merupakan akibat
langsung dari hampir tenggelamnya yang bersangkutan yang berakibat
pada kekurangan pasokan oksigen ke otaknya untuk suatu jangka waktu
cukup panjang.

Adapun tentang pengucilan diri Nabi Musa a.s. ke negeri Midian dan
mukim di sana selama delapan atau sepuluh tahun, pada akhir periode itu
pun diperkirakan usia Rameses II tidak lebih dari empatpuluh atau
limapuluh tahun. Karena itu pernyataan Injil bahwa Tuhan hanya
menunggu kematian Firaun untuk mengutus Nabi Musa a.s. sebagai
seorang nabi dan memerintahkannya kembali ke Mesir, adalah suatu hal
yang tidak masuk akal. Menurut Al-Quran sendiri, Firaun kepada siapa
Nabi Musa a.s. kembali memang ada menuduh beliau telah melakukan
pembunuhan tetapi ragu-ragu mengambil tindakan karena adanya tandatanda
Ilahi yang diperlihatkan beliau. Jelas dalam hal ini kalau kelepasan
beliau dari hukuman bukan karena telah matinya Firaun yang lama dan
dinobatkannya raja yang baru.

Kehidupan Nabi Musa a.s. dan Harun a.s. setelah kembali ke Mesir itu
diuraikan dalam Al-Quran mau pun Injil sebagai periode yang semarak
dengan berbagai kejadian dimana konfrontasi mereka menghadapi Firaun
berlangsung panjang dan mestinya mengambil waktu satu dasawarsa atau
lebih sampai kepada konklusi terakhir. Semua tanda-tanda yang
dikemukakan tersebut tidak mungkin diringkas dalam periode satu atau
dua tahun saja. Sedangkan pemerintahan Merneptah dari penobatan
sampai matinya menurut para ahli sejarah hanya berlangsung selama
delapan tahun atau bahkan kurang.

Lagi pula sejarah mengutarakan Merneptah sebagai raja ksatria yang
berulang-kali menyerang bangsa Palestina selama bertahun-tahun,
padahal baik Al-Quran mau pun Injil tidak ada mengemukakan tentang
Firaun di zaman Nabi Musa a.s. pernah melakukan ekspedisi perang ke
negeri bangsa Yahudi. Namun kurang tepat kiranya membahas hal
tersebut secara mendalam di sini. Juga tidak ada gunanya membuktikan
yang mana dari kedua Firaun itu, Rameses II atau Merneptah, yang
menjadi Firaun dalam peristiwa eksodus bangsa Israel tersebut. Sepanjang
mummi mereka tetap awet, salah satu dari keduanya akan bisa terus
menjadi saksi kebenaran nubuatan Al-Quran. Nama-nama mereka sendiri
tidak penting rasanya.
BERSAMBUNG........

No comments:

Post a Comment