Friday, 20 July 2012

PART 9 : APAKAH AGAMA HARUS MEMILIKI OTORITAS LEGISLATIF?



Hal ini merupakan phenomena universal yang belum pernah ditelaah secara
mendalam. Baik politisi atau pun pimpinan keagamaan belum ada yang
menjelaskan garis tipis yang memisahkan antara agama dengan negara.
Sepanjang menyangkut umat Kristiani, masalah tersebut seharusnya sudah
selesai ketika Jesus r.a. memberikan jawabannya yang masyhur kepada kaum
Pharisi:

Lalu kata Jesus kepada mereka: ‘Berikanlah kepada Kaisar apa
yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang
wajib kamu berikan kepada Allah.’ (Injil Matius 22:21)

Beberapa kata di atas itu penuh dengan kebijakan. Rasanya tidak perlu
menambahkan apa-apa lagi.


Agama dan penataan kenegaraan adalah dua dari sekian banyak roda
kendaraan yang membawa masyarakat. Dalam kenyataan sebenarnya tidak relevan
apakah rodanya dua, empat atau delapan, sepanjang roda-roda itu mantap
orientasinya dan berputar dalam orbitnya masing-masing. Dalam hal seperti itu
tidak akan ada masalah konflik atau pun konfrontasi.
Sejalan dengan ajaran-ajaran samawi sebelumnya, Al-Quran memperjelas
thema ini dengan memberikan batasan pada ruang lingkup aktivitas tiap komponen
masyarakat. Tidak berarti bahwa tidak ada titik temu atau landasan berpijak yang
sama dimana negara dan agama bisa berbagi. Memang benar ada titik sentuh
demikian tetapi sebatas semangat kerjasama di antara keduanya. Masing-masing
tidak akan memonopoli yang lain.
Sebagai contoh, banyak sekali ajaran moral dalam tiap agama yang kemudian
menjadi bagian integral dari perundang-undangan di semua negara di dunia. Di
suatu negara, mungkin sebagian kecil, sedangkan di negara lain relatif banyak
perundang-undangannya yang mengikuti ajaran agama panutan. Hukuman yang
diberikan bisa saja ringan atau pun keras, tetapi kemarahan agama atas suatu
kejahatan yang diganjar hukuman tidak akan disebutkan sebagai rujukan dalam
perundang-undangan mana pun. Kaum beragama bisa saja tidak sependapat
dengan beberapa hukum sekuler, namun jarang sekali mereka memilih konfrontasi
dengan pemerintah berkaitan dengan masalah tersebut.
Hal itu tidak saja berlaku pada umat Muslim dan Kristiani saja tetapi juga pada
semua agama di dunia. Kita tahu bahwa hukum agama Hindu yang murni yaitu
MANUSMARTI sama sekali berbeda dengan perundang-undangan sekuler
pemerintahan politis di India, namun nyatanya rakyat negeri itu bisa berkompromi
menerimakan keadaannya.
Kalau saja hukum agama secara serius diberlakukan terhadap sistem politik di
berbagai negara maka di dunia ini akan terjadi banjir darah. Syukurlah bagi umat
manusia bahwa keadaannya tidak demikian.
Sepanjang menyangkut agama Islam, maka semestinya tidak akan ada masalah
karena prinsip utama dan yang tidak bisa ditawar dalam ajaran Islam adalah
prinsip keadilan mutlak. Prinsip tersebut tetap bersifat sentral dan fundamental
untuk semua bentuk pemerintahan yang mengklaim sebagai bersifat Islami. Namun
sayangnya, titik tumpu yang paling pokok dalam pemahaman kenegarawanan
Islami malah kurang sekali dimengerti oleh para pemikir Muslim. Mereka gagal
melihat perbedaan antara aplikasi perundangan umum tentang kejahatan yang
bersifat universal tanpa keterpengaruhan agama dengan kejahatan-kejahatan yang
memang berkaitan dengan agama bersangkutan. Khusus yang terakhir ini, hanya
para pengikut agama bersangkutan saja yang bisa dituntut secara hukum.
Kedua kategori tersebut tidak secara jelas didefinisikan. Terdapat bidang abuabu
dimana kejahatan umum bisa bernuansa agama atau moral disamping memang
ada nyata-nyata pelanggaran terhadap norma-norma kemanusiaan yang berlaku
umum. Sebagai contoh, pencurian adalah kejahatan yang bervariasi penuntutan

maupun vonis hukumannya. Begitu juga seperti pembunuhan, mabuk dan
gangguan ketertiban sosial, yang baik sebagian atau keseluruhan dilarang oleh
kebanyakan agama. Beberapa agama bahkan menentukan hukuman spesifik atas
pelanggaran-pelanggaran seperti itu.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana mestinya suatu negara
menangani kejahatan demikian. Pertanyaan tersebut selanjutnya memunculkan
pertanyaan lain tentang apakah Islam ada memberi formula yang jelas dan terinci
untuk bisa diterapkan oleh pemerintahan Islami dan non-Islam. Kalau
pemerintahan Islam memang sudah didefinisikan seperti itu dalam agama Islam,
muncul lagi pertanyaan lain yaitu tentang validitas dari suatu negara yang
mengatakan dirinya bernaung di bawah tatanan keagamaan itu, serta kedaulatannya
memaksakan ajaran agama kepada semua penduduk tanpa memperdulikan
apakah mereka memang termasuk penganut atau bukan.
Semua agama mempunyai tanggungjawab untuk mengingatkan dewan legislatif
terhadap masalah-masalah moral. Tetapi tidak berarti bahwa semua perundangan
lalu dimasukkan dalam yurisdiksi agama. Melihat begitu banyaknya sekte-sekte
agama dan perbedaan pandangan di antara sekte-sekte serta antar agama, kalau
dipaksakan maka yang akan muncul adalah kekacauan dan anarki. Sebagai contoh,
hukuman tentang alkohol. Walaupun alkohol dilarang dalam Al-Quran, tetapi
tidak ada disebutkan spesifikasi hukuman yang patut dikenakan. Ada yang
bersandar pada hadist, namun kemudian ditentang oleh berbagai pandangan
yurispridensi. Hukuman yang dikenakan di suatu lokalitas atau negeri nyatanya
berbeda dengan di tempat lain.
Setiap pemeluk agama mana pun bisa mengamalkan kepercayaannya di bawah
hukum yang bersifat sekuler. Ia bisa menjalankan kebenaran tanpa ada undangundang
negara yang mencampuri kebebasannya itu. Ia bisa melaksanakan
sembahyang dan boleh mengerjakan ibadahnya tanpa harus menunggu perkenan
khusus dari suatu perundang-undangan.
Masalah tersebut bisa juga ditinjau dari sudut menarik lainnya. Kalau ajaran
Islam menyetujui suatu pemerintahan Muslim dimana umat Muslim merupakan
mayoritas, maka berdasarkan azas keadilan mutlak, seharusnya Islam juga
membenarkan pemerintahan lain bertindak sesuai dengan pengaturan dari agama
yang dianut mayoritas penduduknya. Contohnya, kalau Pakistan sebagai tetangga
India, harus menerimakan penerapan hukum Hindu di negeri India maka hal itu
akan menjadi malapetaka bagi seratus juta umat Muslim yang akan kehilangan hak
hidupnya di India. Begitu juga, kalau India menjalankan Manusmarti, kenapa
Israel tidak boleh mengatur penduduk Yahudi dan non-Yahudi menggunakan
hukum Taurat? Kalau semua ini terjadi maka hidup akan menjadi sangat
menyengsarakan, tidak saja bagi penduduk Israel tetapi juga sejumlah besar orang
Yahudi sendiri.
Kalau misalnya Islam menekankan penggunaan hukum shariah berdasarkan
undang-undang karena penduduknya mayoritas Muslim, maka mestinya juga bisa

menerimakan konsep adanya berbagai negara keagamaan. Keadaan demikian akan
menimbulkan situasi paradoksal yang bersifat universal karena berdasarkan azas
keadilan mutlak, maka negara mempunyai kedaulatan untuk memaksakan hukum
menurut agama mayoritas. Akibatnya, setiap tindakan dari mereka yang termasuk
kelompok minoritas akan dihukum berdasarkan peraturan agama yang tidak
mereka yakini. Hal tersebut justru malah jadinya menyalahi konsep keadilan
mutlak.
Dilema seperti ini tidak pernah dibahas atau dicoba pecahkan oleh para
penggagas hukum Islam di tempat yang katanya negeri-negeri Muslim. Menurut
pemahaman saya tentang ajaran Islam, semua negara tersebut seharusnya berazaskan
keadilan mutlak, baru bisa disebut sebagai negara Muslim.
Berdasarkan argumentasi demikian dan ditambah lagi konsep yang berlaku
umum bahwa tidak boleh ada paksaan dalam keimanan, maka agama tidak harus
menjadi otoritas legislatif yang dominan dalam penyelenggaraan politik suatu
negara.




No comments:

Post a Comment