Thursday, 19 July 2012
PART 8:MULLAHISME(ULAMA)
Ini adalah pandangan kaku dari latar belakang pemikiran ortodoks mengenai
pengertian demokrasi modern dari rakyat Muslim dimana dipersyaratkan bahwa
Mullah (terjemahan terdekatnya adalah ulama) memiliki hak menentukan validitas
keputusan demokrasi berdasarkan Shariah. Kalau ini diperlakukan maka
keadaannya sama saja dengan menyerahkan otoritas legislatif tertinggi bukannya
di tangan Tuhan melainkan ke tangan golongan ortodoks atau sekelompok ulama.
Kalau kita menyadari begitu besarnya perbedaan-perbedaan fundamental di antara
para ulama Muslim itu mengenai apa yang disebut bagian atau bukan bagian dari
Shariah, maka konsekwensinya jadi mengerikan. Begitu banyaknya aliran
jurisprudensi di dalam aliran ortodoks, bahkan di dalam satu aliran saja para
ulama itu tidak memiliki kesatuan pendapat atas suatu fatwa. Apalagi kalau diingat
bahwa jurisprudensi mengenai apa yang dimaksud sebagai Keinginan Tuhan
sebagaimana dinyatakan dalam Shariah Islam telah mengalami perubahanperubahan
dalam berbagai periode sejarah.
Hal ini menjadi suatu masalah yang kompleks bagi dunia kontemporer Islam
yang sebenarnya masih sedang mencari bentuk identitas sejatinya. Tambah jelas
bagi para intelektual Muslim bahwa satu-satunya titik temu di antara para ulama
itu adalah tuntutan mutlak mereka mengenai pelaksanaan Shariah. Revolusi di Iran
telah menambah gairah para Mullah di negeri-negeri dengan mayoritas Muslim
Sunni. Menurut pikiran mereka, kalau Khomeini bisa berhasil, kenapa mereka
tidak bisa? Selanjutnya adalah fantasi mereka, negeri impian mereka.
Akhirnya umat yang menjadi bimbang. Apakah mereka akan memilih Ayatayat
Tuhan dan pedoman Rasulullah s.a.w. ataukah orang-orang dari masyarakat
tidak bertuhan untuk menuntun dan membentuk manifesto politik mereka?
Masalah ini menjadi amat sulit bagi orang awam yang merasa dirinya berada
dalam kebingungan dan kerancuan. Rakyat banyak di negeri-negeri Muslim
mengagungkan Islam dan siap mati untuk Allah dan kehormatan Rasul-Nya.
Namun ada sesuatu dalam skenario keseluruhan yang membingungkan mereka,
menimbulkan kegalauan dan rasa takut yang sangat. Walaupun pemerintah katanya
amat mencintai Allah dan Rasul-Nya, tetapi begitu banyak kenangan berdarah di
masa lalu akibat pengaruh para Mullah atau mereka yang memanfaatkan
Mullahisme untuk mencapai keuntungan politis mereka.
Adapun para politisi Muslim, mereka kelihatannya terpecah dan tidak bisa
memutus. Beberapa dari mereka tidak tahan untuk memanfaatkan situasi demikian
dengan cara berpihak kepada para Mullah dan membantu mereka. Di dalam hati
kecil, mereka berharap bahwa pada saat pemilihan umum nanti bukan para Mullah
yang dipilih sebagai penjaga Shariah tetapi dirinya sendiri. Mereka mengharapkan
rakyat banyak akan lebih mempercayai mereka sebagai penjaga Shariah dibanding
dengan para Mullah karena hidup masih akan lebih mudah di bawah pemerintahan
mereka dibanding pengendalian kaku dan kejam dari para ‘penjaga surga’ tersebut.
Para politisi yang lebih berhati-hati yaitu mereka yang memiliki pandangan jauh
kemuka, sudah melihat bahwa ini adalah permainan yang berbahaya. Hanya saja
sayangnya mereka kemudian menjadi minoritas. Susah membayangkan bahwa
politik, kemunafikan, kebenaran dan prinsip-prinsip serta nilai-nilai luhur bisa
bergandengan tangan. Pada akhirnya kalangan intelektual akan lebih cenderung
kepada demokrasi. Mereka mencintai Islam tetapi ketakutan akan pemerintahan
theokratik. Mereka menganggap demokrasi bukan sebagai alternatif dari Islam,
melainkan sebagai filsafat politik belaka. Al-Quran sendiri menyarankan sistem
demokrasi:
Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, dan mendirikan
sembahyang, dan yang urusan mereka diputuskan dengan
musyawarah di antara mereka, dan mereka yang membelanjakan
apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka. (S.42 Asy-Syura:
39)
. . . dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan yang
penting, dan apabila engkau telah mengambil suatu ketetapan maka
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orangorang
yang bertawakal. (S.3 Al-Imran: 160)
Sebagai akibat dari pertarungan antar berbagai faksi tersebut maka negerinegeri
Islam yang muda seperti Pakistan jadi berada dalam kebingungan,
kerancuan dan kontradiksi. Para pemilih amat tidak menyukai kembalinya para
ulama ke dewan perwakilan. Bahkan pada saat-saat sedang keranjingan Shariah
pun, tidak sampai sepuluh prosen ulama yang berhasil memenangkan pemilihan
umum. Hanya saja karena mereka sudah komit pada penegakan Shariah sebagai
imbalan mendapat dukungan dari para ulama, para politisi tersebut jadi salah
tingkah. Jauh di dalam relung kalbu mereka, para politisi itu meyakini bahwa
penerapan Shariah (menurut pandangan para ulama) dalam kenyataannya bersifat
paradoksal dengan prinsip-prinsip legislatif suatu dewan perwakilan yang dipilih
secara demokratis.
Kalau otoritas legislatif berada di tangan Tuhan sebagaimana keyakinan umat
Muslim, maka konsekwensinya adalah hal itu menjadi hak prerogatif para ulama
yang dianggap memahami dan berhak menentukan apa yang dimaksud dengan
Shariah. Dalam skenario seperti itu maka proses pemilihan dewan legislatif
menjadi tidak ada artinya dan sia-sia saja. Seolah-olah para anggota parlemen
sepertinya hanya tinggal membubuhkan tanda tangan di garis titik-titik seperti
yang ditunjukkan para Mullah.
Tragis memang bahwa tidak ada politisi atau pun intelektual yang benar-benar
mencoba menyelami dan mempelajari bentuk-bentuk pemerintahan sebagaimana
dikemukakan oleh Al-Quran.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment