Monday, 23 July 2012

T A K A B U R


Aku beritahukan sesungguhnya kepada kalian bahwa pada Hari Penghisaban
nanti, setelah dosa karena menyekutukan Tuhan, maka dosa tertinggi setelah
itu adalah takabur. Takabur adalah dosa yang merendahkan harkat manusia
di dua dunia, kini dan akhirat. Rahmat Ilahi akan menyelamatkan setiap
mukminin dalam Ketauhidan Ilahi, kecuali mereka yang bersifat takabur.
Syaitan sendiri juga menyatakan beriman pada Ketauhidan Ilahi, tetapi karena
dirinya terjangkiti ketakaburan dan memandang remeh serta mengecilkan arti
diri Adam yang dicintai Ilahi maka ia menjadi binasa dan terkutuk. Karena itu,
dosa utama yang menyebabkan seseorang binasa selamanya adalah
ketakaburan. (Ayena Kamalati Islam, Qadian, Riyadh Hind Press, 1893;
sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 5, hal. 598, London, 1984).
* * *
Apakah takabur itu

Aku mengingatkan Jemaatku agar menjauhi sifat takabur karena takabur tidak
disukai Allah s.w.t. Kalian mungkin tidak terlalu memahami apa yang
dimaksud dengan takabur. Karena itu dengarkan kataku karena aku berbicara
di bawah bimbingan Ilahi.

Barangsiapa yang memandang rendah saudaranya karena ia merasa dirinya
lebih terpelajar, lebih bijak atau lebih ahli, sesungguhnya ia takabur karena ia
tidak menghargai Tuhan sebagai Maha Sumber dari segala intelegensia dan
pengetahuan, serta merasa dirinya sebagai sosok yang punya arti lebih. Apakah
difikirnya Tuhan tidak mempunyai kekuasaan untuk mengenakan padanya
penyakit kegilaan dan mengaruniakan kepada saudara yang dipandangnya
rendah, karunia berupa pengetahuan dan keahlian lebih daripadanya?


Begitu juga dengan ia yang karena merasa diri lebih dalam kekayaan, status
sosial atau pun kehormatan lalu memandang rendah saudaranya, ia telah
takabur karena melupakan bahwa kekayaan, status dan kehormatannya itu
adalah karunia Ilahi. Ia itu buta dan tidak menyadari kalau Tuhan memiliki
kekuasaan untuk menjadikannya dalam sekejap menjadi lebih rendah dari
yang terendah, dan mengaruniakan kepada saudara yang dianggapnya rendah
berupa kekayaan yang lebih daripadanya.

Demikian pula dengan ia yang menyombongkan kesehatan phisiknya, atau
menjadi angkuh karena kecantikan wajah dan kekuatan badan, lalu
menganggap rendah saudaranya dengan mengolok-olok atau mencemoohkan
kekurangan diri saudaranya itu. Ia tidak menyadari bahwa Allah yang Maha
Agung mempunyai kekuasaan untuk menimpakan atas dirinya kekurangan
phisik yang akan menjadikannya lebih buruk dari saudaranya serta
menganugrahkan kepada saudara yang dihinakan tersebut kesehatan yang
baik atau kestabilan kondisi.

Serupa dengan itu adalah ia yang lalai dalam shalat karena merasa yakin benar
akan kemampuan fitrat dirinya. Ia dikatakan takabur karena ia tidak
menyadari adanya sang Maha Sumber dari segala kekuatan dan kekuasaan.
Karena itu wahai kalian yang aku kasihi, ingat-ingatlah selalu peringatanku ini
agar jangan sampai kalian tanpa disadari lalu dianggap takabur dalam
pandangan Allah s.w.t.

Ia yang mengkoreksi saudaranya tentang cara pengucapan suatu kata,
sesungguhnya termasuk takabur. Ia yang tidak mendengarkan bicara
saudaranya dengan santun dan memalingkan wajahnya, ia termasuk takabur.
Ia yang merasa enggan atau keberatan atas saudara yang duduk di dekatnya,
ia termasuk takabur. Ia yang menertawakan atau mengolok-olok saudaranya
yang sedang shalat, ia termasuk takabur. Ia yang tidak taat sepenuhnya kepada
sosok pribadi yang diutus Tuhan dan Rasul Allah, ia termasuk takabur. Ia yang
tidak memperhatikan petunjuk sosok pribadi demikian serta tidak
mempelajari karya tulisnya dengan seksama, ia termasuk takabur.

Karena itu, upayakanlah selalu jangan sampai kalian takabur dalam segala hal
agar kalian terpelihara dari kebinasaan dan agar kalian memperoleh
keselamatan. Bersandarlah kepada Tuhan dan kasihilah Dia dengan sepenuh
hati serta takutilah Dia dengan hati yang setakut-takutnya. Sucikan hati kalian
dan sucikan niat, bersikaplah lemah lembut dan rendah hati serta jauhi
kejahilan agar kalian mendapat rahmat. (Nuzulul Masih, Qadian, Ziaul Islam

Press, 1909; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 18, hal. 402-403,
London, 1984).


No comments:

Post a Comment