Penelitian saya tegas memberikan gambaran kepada saya bahwa Al-Quran ada
mengatur mengenai pemerintahan tanpa membedakan apakah itu negara Muslim
atau bukan. Petunjuk-petunjuk bagaimana menjalankan pemerintahan dikenal
umum di antara manusia, namun Al-Quran khususnya mengarahkan petunjuknya
kepada para penganut Islam. Petunjuk Al-Quran mengenai pemerintahan sama bisa
diterapkan oleh agama mana saja seperti Hindu. Sikh, Budha, Konghucu, Kristen,
Yahudi, Islam dan lain-lain. Inti ajarannya termaktub dalam ayat-ayat yang dikutip
di muka dan pada ayat berikut:
Tidak, demi Tuhan engkau, mereka tidak beriman sebelum mereka
menjadikan engkau sebagai hakim dalam segala apa yang menjadi

suatu keberatan dalam hati mereka tentang apa yang telah engkau
putuskan serta mereka menerima dengan sepenuh penerimaan. (S.4
An-Nisa: 66)
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang
menjadi penegak keadilan dan jadilah saksi karena Allah walaupun
perkara itu bertentangan dengan dirimu sendiri atau ibu-bapak dan
kaum kerabat. Baik ia yang terhadapnya kesaksian diberikan itu
kaya atau miskin, maka Allah lebih memperhatikan kedua mereka
itu daripada kamu. Karena itu janganlah menuruti hawa nafsu agar
kamu dapat berlaku adil. Dan jika kamu menyembunyikan
kebenaran atau mengelakkan diri, maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui segala sesuatu yang
kamu kerjakan. (S.4 An-Nisa: 136)
Sunah Rasulullah s.a.w. mengenai ini sangat jelas. Beliau mengingatkan cara
memperlakukan bawahan bagi semua penguasa dan mereka yang memegang
otoritas di atas orang lain, karena mereka akan mempertanggungjawabkan
kepemimpinannya kepada Allah s.w.t. Hal ini telah dijelaskan juga di muka.
Pokok telaah ini menunjukkan bahwa Islam menganjurkan pemerintahan
sentral yang bersifat netral dimana semua permasalahan pemerintahan bersifat
umum dan bisa diterapkan pada semua penduduk negeri dan dimana perbedaan
agama tidak dimungkinkan berperan disini. Agama Islam selalu mengingatkan
umat Muslim untuk mematuhi hukum dalam semua permasalahan duniawi:
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah
kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang yang memegang
kekuasaan di antaramu. Dan jika kamu berselisih mengenai sesuatu
maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu
memang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Hal demikian
itu paling baik dan paling bagus akibatnya. (S.4 An-Nisa: 60)
Hanya saja sepanjang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan
Tuhan-nya, maka area itu eksklusiv masuk urusan agama dan negara tidak punya
hak mencampurinya. Pikiran dan hati manusia harus merdeka sepenuhnya dalam
hal urusan yang berkaitan dengan keimanan dan cara peribadatan. Adalah bagian
dari hak azasi manusia untuk mempercayai apa pun yang dipilihnya dan
menyembah Tuhan atau pun berhala sebagaimana suruhan agama atau
keyakinannya.
Menurut Islam, dengan demikian agama pun tidak seharusnya mencampuri
area yang eksklusiv bagi negara, sebagaimana negara tidak berhak mencampuri
bidang-bidang yang bersinggungan di antara keduanya. Hak dan tanggungjawab
sudah jelas didefinisikan dalam Islam sehingga permasalahan pertentangan antara
keduanya tidak ada lagi. Banyak ayat yang sudah saya kutipkan mengenai hal ini
dalam bagian kedamaian agama.
Sayangnya sekarang ini ada tendensi di antara banyak negara sekuler yang
kadang-kadang memperluas bidang sekulernya keluar dari batas alaminya. Hal
yang sama juga terjadi pada negara-negara theokratis atau negara yang
dipengaruhi oleh hirarki keagamaan.
Walaupun kita tidak bisa bersimpati dengan negara seperti itu, tetapi
sekurangnya kita bisa memahami pandangan miring dari negara-negara yang
diperintah oleh para agamawan fanatik. Namun kalau kita melihat sikap tidak
dewasa demikian pada negara-negara sekuler yang katanya sudah maju dengan
penduduk yang memiliki pandangan luas, rasanya susah diterima akal. Tetapi
bukan hanya hal ini saja yang susah dimengerti mengenai perilaku politik manusia.
Sepanjang kepentingan nasional menjadi dasar dan mengilhami filosofi politik
suatu negara maka tidak akan ada yang disebut sebagai moralitas absolut.
Sepanjang sikap politik dipengaruhi oleh prasangka nasional maka kejujuran dan
keadilan akan dikesampingkan bila dianggap akan bentrok dengan kepentingan
nasional. Kalau ini yang disebut sebagai loyalitas terhadap negara maka perilaku
politik dan manusianya akan tetap kontroversial, diragukan dan bahkan
paradoksal.
Al-Quran mengulas mengenai tanggungjawab pemerintah dan rakyat. Beberapa
daripadanya telah diulas di muka tentang penyediaan pangan, sandang dan papan
serta kebutuhan dasar penduduk dan juga prinsip-prinsip bantuan internasional.
Tanggungjawab ini berjalan bersama keadilan mutlak dan kepekaan terhadap
permasalahan rakyat sehingga mereka tidak harus mengangkat suara menuntut
hak-hak mereka.
Dalam sistem pemerintahan Islam yang benar, adalah tanggungjawab
pemerintah untuk selalu siaga sehingga rakyat tidak perlu melakukan pemogokan,
mengacau industri, demonstrasi, sabotase atau mengeluh untuk memperoleh apa
yang memang sudah jadi hak mereka. Disamping itu terdapat beberapa
tanggungjawab lainnya seperti dikemukakan Al-Quran:
Jika engkau khawatir terhadap pengkhianatan dari suatu kaum,
maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara
yang setara. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang
khianat. (S.8 Al-Anfal: 59)
Mereka yang diberi kewenangan memerintah tidak seharusnya melaksanakan
tugasnya dengan cara menggalakkan kekacauan, chaos, penderitaan dan luka di
hati. Mereka seharusnya bertugas dengan rajin dan efektif guna terciptanya
kedamaian di semua aspek kehidupan masyarakat.
Atau, siapakah yang mengabulkan doa orang yang sengsara apabila
ia berdoa kepada-Nya, dan melenyapkan keburukan dan menjadikan
kamu khalifah-khalifah di bumi? Adakah tuhan disamping Allah?
Sedikitlah apa-apa yang kamu pikirkan. (S.27 An-Naml: 63)
No comments:
Post a Comment