Monday, 23 July 2012

SURGA DAN NERAKA


Apakah yang menjadi tujuan daripada agama? Tujuannya adalah dengan
memiliki keyakinan keimanan tentang eksistensi dan fitrat-fitrat Ilahi yang
sempurna, manusia bisa melepaskan diri dari nafsu dirinya dan mengembangkan
kecintaan kepada Tuhan. Hal itu menjadi surga yang akan dimanifestasikan
dengan berbagai cara di akhirat nanti. Mereka yang mengabaikan Allah
s.w.t. dan menjauhi Wujud-Nya serta tidak mengasihi-Nya sama dengan
neraka yang akan dimanifestasikan dalam berbagai cara di akhirat nanti.
(Chasmai Masihi, Qadian Magazine Press, 1906; sekarang dicetak dalam
Ruhani Khazain, vol. 20, hal. 352, London, 1984).

* * *
Realitas daripada surga dan neraka sebagaimana yang dikemukakan oleh Kitab
Suci Al-Quran, tidak ada diungkapkan oleh kitab-kitab lainnya. Secara jelas
diindikasikan kalau sistem ini berawal dari kehidupan yang sekarang seperti
yang dinyatakan dalam ayat:

‘Bagi orang yang takut akan berdiri di hadapan Tuhan-nya akan
ada dua buah kebun’ (S.55 Ar-Rahman:47).

Kebun yang satu adalah yang diperolehnya di dunia ini juga. Takut kepada
Allah s.w.t. akan menahan orang melakukan dosa. Hidup bergelimang dosa
hanya akan menimbulkan kegelisahan dan petaka di dalam hati yang dengan
sendirinya sudah merupakan neraka yang menakutkan. Adapun ia yang takut
kepada Tuhan-nya akan menjauhi dosa serta menghindari azab yang
ditimbulkan akibat diperbudak oleh nafsunya sendiri. Ia akan selalu berusaha

mencapai kemajuan dalam keimanan dan cenderung kepada Tuhan-nya, dari
mana ia akan memperoleh kenikmatan dan kesukaan sehingga kehidupan
surgawi tersebut sudah dinikmatinya sejak di dunia. (Malfuzat, vol. III, hal.
155-156).

* * *

‘Di antara manusia ada pula orang yang menjual dirinya untuk
mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun terhadap
hamba-hamba-Nya’ S.2 Al-Baqarah:208).

Dari antara umat manusia terdapat orang-orang yang memiliki derajat
keruhanian yang tinggi yaitu yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada usaha
mencari keridhaan Allah s.w.t. Mereka menjual diri mereka dan membeli
keridhoan-Nya. Mereka inilah yang menjadi penerima rahmat Ilahi karena
mereka telah mengurbankan diri mereka di jalan Tuhan.

Dalam ayat di atas, Allah s.w.t. menyatakan bahwa yang memperoleh
keselamatan dari segala penderitaan adalah mereka yang telah menjual
jiwanya kepada Tuhan dengan tujuan mencari imbalan memperoleh
keridhoan-Nya. Orang-orang seperti itu membuktikan bahwa dirinya adalah
milik Tuhan semata melalui pengabdiannya serta menganggap dirinya itu
diciptakan semata-mata untuk mengabdi kepada sang Maha Pencipta dan
untuk mengkhidmati mahluk-Nya.

Ia akan melaksanakan dengan penuh hasrat segala tindakan kebaikan, dengan
kemampuan seluruh fitrat dirinya, seolah-olah ia melihat yang Maha Terkasih
dalam cermin dari kepatuhan dirinya. Kemauannya sejalan dengan kehendak
Ilahi dan kenikmatan yang diperolehnya adalah melalui pengabdian kepada-
Nya. Tindak laku ketakwaan yang berasal dari dirinya bukanlah merupakan
suatu upaya kerja tetapi lebih sebagai kenikmatan dan ketertarikan. Surga
yang ditemui seseorang yang cenderung kepada keruhanian, sebagaimana yang
akan diperolehnya di akhirat, merupakan refleksi dari kehidupan tersebut
yang akan dipersonifikasikan secara phisikal di alam yang akan datang, berkat
kekuasaan Allah s.w.t.


Dua kebun bagi orang yang bertakwa

Hal tersebut diindikasikan dalam ayat-ayat berikut dimana Allah s.w.t. telah
berfirman:

‘Bagi orang yang takut akan berdiri di hadapan Tuhan-nya akan
ada dua buah kebun’ (S.55 Ar-Rahman:47).

Ia yang takut kepada Tuhan-nya serta gentar terhadap Keagungan dan
Keluhuran-Nya, akan memperoleh dua buah kebun, satu di dunia ini dan yang
lainnya di akhirat.

‘Tuhan mereka akan memberi mereka minum minuman yang murni’
(S.76 Ad-Dahr:22).

Mereka yang mengabdikan diri kepada Allah s.w.t. akan diberikan minuman
yang akan mensucikan hati, fikiran dan niat mereka.

‘Tetapi orang-orang yang biasa berbuat bajik akan minum dari
piala berisikan minuman yang campurannya adalah kapur barus
dari mata air yang daripadanya hamba-hamba Allah akan minum,
mereka membuatnya memancarkan suatu pancaran yang deras’
(S.76 Ad-Dahr:6-7).

Orang-orang saleh akan minum suatu bentuk minuman yang dicampur kapur
barus dari sebuah sumber mata air yang mereka gali sendiri. Akar kata dari
Kafur dalam ayat ini berasal dari kafara yang artinya menutupi atau menekan.
Ayat ini mengindikasikan bahwa orang-orang tersebut telah meminum dari
suatu piala yang telah mengkaliskannya dari segala hal yang bersifat duniawi
serta berpaling kepada Tuhan dengan segala ketulusan sehingga kecintaan
mereka kepada dunia telah mendingin sama sekali.


Semua emosi atau perasaan manusia ditimbulkan oleh bayangan fikiran hati
dan jika hati sudah surut menjauh dari segala fikiran yang tidak patut, maka
perasaan pun akan menyurut sampai akhirnya hilang sama sekali. Dalam ayat
di atas Allah s.w.t. bermaksud menyampaikan bahwa mereka yang sepenuhnya
berpaling kepada-Nya akan melepaskan segala nafsu dan hatinya akan
mendingin terhadap segala aktivitas duniawi, dimana perasaan emosi mereka
ditutupi atau ditekan sebagaimana benda berbau ditekan oleh kapur barus.

‘Di sana mereka akan diberi piala minuman yang campurannya
adalah zanjabil (jahe) dari mata air di dalamnya yang disebut
salsabil’ (S.76 Ad-Dahr:18-19).

Kemudian setelah memberikan minuman yang mengandung kapur barus,
Allah s.w.t. memberikan mereka minuman yang mengandung unsur jahe. Kata
zanjabil dalam bahasa Arab berasal dari dua akar kata yaitu zana (naik) dan
jabal (gunung). Sebagaimana diketahui, seseorang yang baru saja pulih dari
suatu penyakit yang meracuni dirinya, maka pemulihan kesehatannya harus
melalui dua phasa. Phasa pertama adalah ketika bahan beracun di dirinya
telah ditekan, berbagai kecenderungan yang berbahaya telah diperbaiki dan
kondisi yang merugikan telah ditinggalkan serta badai yang mengamuk telah
diteduhkan. Namun semua anggota tubuh masih lemah dan si pasien tidak
mampu melakukan apa pun yang membutuhkan tenaga serta bergerak laiknya
orang yang setengah mati.

Phasa kedua adalah ketika kesehatannya telah pulih kembali, tubuhnya mulai
bertenaga dan karena itu ia sudah mengangan-angan akan mendaki gunung
dan menari-nari di atas ketinggiannya. Berkaitan dengan hal ini maka Allah
s.w.t. mengindikasikan bahwa orang-orang saleh akan minum sejenis
minuman yang dibubuhi unsur jahe sehingga kondisi keruhanian mereka
mencapai puncak kekuatannya untuk menggapai puncak-puncak yang tinggi,
melaksanakan tugas-tugas yang berat serta memperlihatkan pengabdiannya
di jalan Allah yang Maha Agung.

Sifat dasar dari bahan jahe yang menguatkan panas badan dan memperbaiki
pencernaan serta namanya dalam bahasa Arab yang digunakan dalam ayat ini

mengindikasikan bahwa unsur tersebut akan menguatkan seorang yang lemah
dan menimbulkan kehangatan dalam dirinya yang akan memungkinkan ia
memanjat gunung yang tinggi. Tujuan daripada kedua ayat yang berkaitan
dengan kapur barus dan jahe tersebut adalah untuk mengindikasikan bahwa
ketika seseorang menjauh dari nafsunya dan mendekati kesalehan, maka
kecenderungan beracun dalam dirinya akan ditekan seperti halnya kapur barus
yang bisa menekan bau busuk yang meracuni. Karena itulah kapur barus
banyak manfaatnya dalam kasus-kasus kolera dan demam typhus1.

Ketika unsur-unsur beracun sudah ditekan dan kesehatan mulai dipulihkan,
tahap berikutnya adalah menguatkan tubuh si pasien dengan minuman yang
mengandung jahe. Minuman ini merupakan manifestasi keindahan Ilahi yang
menjadi makanan yang menghidupkan kalbu. Ketika seseorang dikuatkan
dengan manifestasi ini maka ia akan mampu mendaki ketinggian yang luhur
dan melaksanakan tugas-tugas berat di jalan Allah s.w.t. yang merupakan
suatu hal yang tidak mungkin dilakukan kecuali kalbu dihangatkan oleh api
kecintaan Ilahi. Guna menggambarkan kedua kondisi tersebut, Allah s.w.t.
telah menggunakan dua kata bahasa Arab yaitu kapur barus (kafur) yang
berkonotasi penekanan dan jahe (zanjabil2) yang berkonotasi pendakian
tempat yang tinggi. Kedua kondisi inilah yang akan ditemui seorang pencari
kebenaran dalam perjalanan pencariannya.

Dalam Surat tersebut selanjutnya dinyatakan:
‘Sesungguhnya Kami telah menyiapkan bagi orang-orang kafir
rantai dan belenggu leher dari besi dan api yang menyala-nyala’
(S.76 Ad-Dahr:5).

Makna daripada ayat ini peringatan Ilahi bahwa mereka yang tidak mencari
Allah s.w.t. dengan hati yang tulus akan menderita akibatnya. Mereka begitu
sibuk dengan duniawi seolah-olah kaki mereka itu terantai dan begitu sibuk

dengan pengejaran materi sekuler seolah-olah ada belenggu di leher yang tidak
memungkinkan mereka menengadahkan kepala. Adapun kalbu mereka
terbakar oleh nafsu duniawi guna mendapatkan kekayaan dunia, harta benda,
penguasaan suatu daerah atau kemenangan atas musuh. Karena mereka ini
dalam pandangan Ilahi tidak ada artinya dan hanya menyibukkan diri dengan
dosa maka Allah s.w.t. membebankan pada mereka tiga halangan. Dari ayat ini
diindikasikan bahwa setiap tindakan manusia akan selalu diikuti tindakan
Ilahi yang berpadanan.

Sebagai contoh, jika seseorang menutup semua tingkap di kamarnya maka
tindakan Tuhan yang berpadanan adalah Dia akan menjadikan kamar itu
gelap. Segala sesuatu yang dianggap sebagai konsekwensi dalam hukum alam
sebenarnya adalah tindakan dari Allah s.w.t. karena Dia adalah Kausa dari
segala kausa. Begitu pula jika seseorang menelan racun dalam dosis yang fatal
maka reaksi Tuhan adalah yang bersangkutan akan mati. Sejalan dengan itu,
kalau seseorang karena kecerobohan mendekati penyakit menular maka reaksi
Ilahi adalah orang tersebut akan dijangkiti penyakit tersebut.

Karena itu, sebagaimana dalam kehidupan phisikal terdapat konsekwensi dari
setiap tindakan dan konsekwensi tersebut merupakan tindakan Allah s.w.t.,
begitu juga halnya dalam masalah keruhanian. Allah yang Maha Agung
menjelaskan hal ini dalam ayat-ayat berikut:

‘Tentang orang-orang yang berjuang untuk bertemu dengan Kami,
sesungguhnya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada
jalan Kami’ (S.29 Al-Ankabut:70).

‘Maka apabila mereka menyimpang dari jalan benar, Allah pun
menyebabkan hati mereka menyimpang sebab Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang fasik’ (S.61 Ash-Shaf:6).

Berarti mereka yang mencari Tuhan dengan sepenuh hati maka tindakan
mereka akan diimbali oleh tindakan Tuhan dimana mereka akan diberikan
petunjuk kepada jalan Ilahi. Adapun mereka yang menyimpang dari jalan yang

benar, maka tindakan mereka akan diikuti tindakan Tuhan berupa
penyimpangan hati mereka.

Kenyataan tersebut digambarkan juga dalam ayat:

‘Barangsiapa buta di dunia ini, maka di akhirat pun ia akan buta juga’
(S.17 Bani Israil:73).

Ayat ini mengindikasikan bahwa mereka yang bertakwa akan memandang
Tuhan di dunia ini juga sehingga dapat dikatakan bahwa fondasi dari
kehidupan surgawi sudah diletakkan di dunia. Adapun kebutaan di akhirat
ditimbulkan oleh kehidupan yang kotor dan membuta di dunia ini.

Begitu juga dinyatakan bahwa:

‘Berilah kabar suka kepada orang-orang yang beriman dan berbuat
amal saleh bahwasanya untuk mereka ada kebun-kebun yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai’ (S.2 Al-Baqarah:26).

Dalam ayat ini Allah s.w.t. mengemukakan keimanan sebagai kebun yang di
bawahnya dialiri sungai-sungai. Disini dikemukakan hubungan antara air
dengan kebun sebagaimana hubungan keimanan dengan amal perbuatan.
Sebagaimana tidak ada kebun yang mungkin hidup tanpa air, begitu juga
dengan keimanan yang tidak akan hidup tanpa amal saleh. Keimanan tanpa
amal saleh adalah keimanan yang kosong, sedangkan amal perbuatan tanpa
keimanan adalah hanya peragaan hampa.

Realitas surga menurut agama Islam adalah sebagai refleksi daripada
keimanan dan amal saleh dalam kehidupan kini. Surga bukanlah sesuatu yang
datang dari luar diri. Surga seseorang ditimbulkan dari dirinya sendiri dan
yang dikatakan sebagai surga tiap orang adalah refleksi keimanan dan amal
saleh yang bersangkutan dimana kenikmatannya sudah bisa dirasakan di dunia
ini juga. Kebun keimanan dan sungai amal saleh yang mengairinya bersifat
tersembunyi dalam kehidupan sekarang, tetapi di akhirat nanti semuanya akan
terpampang secara jelas.


Ajaran suci Allah s.w.t. menjelaskan kepada kita bahwa keimanan yang
sempurna, tulus dan suci, kepada Ilahi dan semua fitrat-fitrat-Nya serta semua
kehendak-Nya adalah kebun buah yang menyenangkan, sedangkan amal saleh
merupakan sungai-sungai yang mengairi kebun tersebut. Hal ini juga
diindikasikan dalam ayat:

‘Tidakkah engkau lihat, bagaimana Allah membuat perumpamaan
satu kalimah yang baik? Kalimah itu seperti sebatang pohon yang
baik, yang akarnya kokoh kuat dan cabang-cabangnya menjangkau
sampai ke langit. Ia memberikan buahnya setiap waktu dengan izin
Tuhan-nya dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu
bagi manusia supaya mereka ingat’ (S.14 Ibrahim:25-26).

Kalimah keimanan itu bersih dari segala ekses, cacat, kedustaan dan
keangkuhan serta sempurna ditinjau dari segala segi, laiknya sebuah pohon
yang bersih dari segala cela, akarnya menghunjam teguh ke dalam tanah dan
cabang-cabangnya menjangkau sampai ke langit serta terus menerus
memberikan buah di setiap masa. Tidak pernah cabang-cabangnya itu kalis
daripada buah.

Dalam ayat ini Allah s.w.t. menggambarkan kalimah keimanan sebagai pohon
yang berbuah sepanjang waktu, dimana terkandung tiga tanda-tanda di
dalamnya. Pertama adalah akarnya yang mengandung arti pemahaman hakiki
dari keimanan tertanam teguh dalam batin manusia. Naluri dan kesadaran
manusia telah mengakui kebenaran dan realitasnya secara sempurna.

Tanda kedua adalah cabang-cabang pohon yang menjangkau langit, dengan
pengertian bahwa kaliman keimanan tersebut haruslah logis dan sejalan
dengan kaidah hukum alam yang merupakan tindakan Tuhan. Argumentasi
yang mendukung kebenaran dan kesahihannya harus sejalan dengan hukum
alam dan bersifat demikian sempurna seolah-olah berada di langit di luar
jangkauan mereka yang mengkritiknya.



Tanda ketiga ialah adanya buah yang bersifat abadi dan tanpa akhir. Dengan
kata lain, berkat dan pengaruhnya harus bisa dilihat di segala zaman dan tidak
berakhir setelah suatu periode tertentu. Begitu juga dinyatakan dalam ayat:

‘Perumpamaan kalimah yang buruk adalah seperti halnya pohon
buruk yang telah dicabut dari tanah dan tidak menpunyai
kemantapan’ (S.14 Ibrahim:27).

Kalimah keimanan yang buruk tersebut mirip dengan pohon yang tidak
mengakar ke bumi, atau dengan kata lain, tidak bisa diterima oleh naluri
manusia dan tidak bisa ditegakkan secara mantap. Kalimah keimanan tersebut
tidak didukung dengan argumentasi yang masuk akal atau kaidah hukum alam
mau pun kesadaran manusia. Sifatnya lebih banyak merupakan kisah atau
dongeng belaka.

Sebagaimana Al-Quran mentamsilkan pohon keimanan di akhirat sebagai
pohon anggur, delima dan buah-buahan lezat lainnya, begitu pula dengan cara
yang sama Kitab ini menyebut pohon busuk dari kekafiran di akhirat dengan
nama Zaqqum seperti diungkapkan dalam ayat:

‘Lebih baikkah yang demikian itu sebagai jamuan, ataukah pohon
zaqqum? Sesungguhnya Kami menjadikannya suatu percobaan bagi
orang-orang yang aniaya. Sesungguhnya pohon itu sebuah pohon
yang tumbuh di dasar neraka. Buahnya seakan-akan seperti kepala
ular’ (S.37 Ash-Shaffat:63-66).


‘Sesungguhnya pohon zaqqum itu akan menjadi makanan orang
berdosa, seperti cairan tembaga, mendidih dalam perut mereka,
sebagai gelegak air mendidih’ (S.44 Ad-Dukhan:44-47).

Para pendosa akan ditanyakan mana yang lebih baik dari antara kebun-kebun
di surga dengan pohon Zaqqum yang merupakan percobaan bagi mereka.
Zaqqum adalah pohon yang bertunas dari dasar neraka, atau dengan kata lain
bersumber dari rasa takabur keangkuhan dan merasa diri tinggi. Buahnya
mirip dengan kepala Syaitan yang berarti siapa yang memakannya akan mati.
Buah ini menjadi makanan para penghuni neraka yang secara sengaja telah
memilih laku dosa. Memakannya sama dengan menelan cairan tembaga yang
menggelegak di perut seperti air mendidih.

Ia yang diputus masuk neraka diperintahkan memakan buahnya dan
diingatkan kepadanya bahwa kalau saja ia tidak berlaku takabur dan berpaling
dari kebenaran hanya karena merasa diri tinggi, tentunya ia tidak harus
menjalani azab tersebut:

‘Dia akan berkata kepadanya: “Rasakanlah! Sesungguhnya engkau
telah menganggap diri engkau yang perkasa, yang mulia’ (S.44 Ad-
Dukhan:50).

Demikian itulah Allah s.w.t. mentamsilkan kalimah keimanan di dunia ini
dengan pohon-pohon di surga. Dia mengibaratkan kalimah kekafiran di dunia
ini dengan pohon di neraka dan mengindikasikan bahwa sumber akar dari
surga atau neraka berasal dari kehidupan di dunia sekarang.

Di tempat lain dinyatakan bahwa:

‘Itulah api Allah yang dinyalakan yang naik sampai ke hati’ (S.104
Al-Humazah:7-8).

Dengan kata lain, yang dimaksud neraka adalah api yang bersumber pada
kemurkaan Tuhan. Neraka ini berhembus menyala dari dosa yang menyelimuti
keseluruhan hati nurani manusia. Di dasar dari api neraka tersebut adalah
kesedihan, nafsu dan azab yang membakar hati nurani tubuh keseluruhan.


Di tempat lain dinyatakan:

‘Peliharakanlah dirimu dari Api yang bahan bakarnya manusia dan
batu yang disediakan untuk orang-orang kafir’ (S.2 Al-Baqarah:25).

Yang dimaksud adalah, bahan bakar neraka yang menjadikannya tetap
membara sebenarnya adalah mereka yang berpaling menjauh dari Tuhan dan
menyembah benda-benda lainnya.

Sebagaimana dinyatakan:

‘Lalu kepada mereka akan dikatakan: “Sesungguhnya kamu dan apa
yang kamu sembah selain Allah adalah bahan bakar neraka
jahanam. Kepadanya kamu sekalian akan datang”’ (S.21 Al-
Anbiya:99).

Kedua, yang menjadi bahan bakar neraka adalah berhala sembahan manusia.
Makna daripada ini ialah jika tidak ada berhala maka tidak akan ada neraka.
Dalam kalam suci Ilahi, neraka dan surga tidak sama dengan keadaan di dunia
phisikal ini. Sumber dari keduanya adalah hal-hal yang berkaitan dengan
keruhanian. Memang benar bahwa di dunia lain tersebut semuanya terlihat
mewujud secara phisikal, tetapi keduanya bukan bagian dari dunia ini. (Islami
Usulki Philosophy, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 10, hal. 385-
393, London, 1984).










No comments:

Post a Comment